Santriwati sedang mengaji kitab kuning di Pesantren Al-Hikamussalafiyah, Cipulus, Purwakarta, Jawa Barat (Foto: Suwitno/NU Online)
Virdika Rizky Utama
Kolomnis
Dalam setiap kebudayaan selalu ada wilayah yang tidak mudah dipahami oleh cara pandang yang lahir dari luar dirinya. Pesantren adalah salah satu wilayah semacam itu. Ia berdiri sebagai rumah panjang bagi makna yang tumbuh dari keheningan, dari disiplin yang dijaga tanpa pamer, dari relasi spiritual yang tidak tunduk kepada ukuran materi.Â
Ketika dunia modern yang bekerja dengan kecepatan informasi mencoba menatap dunia ini, sering kali yang muncul bukan pengertian melainkan salah baca.Â
Beberapa waktu lalu sebuah tayangan televisi menampilkan santri yang berjalan ngesot untuk mencium tangan kiai dengan narasi yang menyiratkan ironi tentang kekayaan dan kemewahan. Tayangan itu memicu gelombang protes dari masyarakat pesantren dan publik luas. Peristiwa ini tidak semata-mata soal kesalahan media, tetapi gejala yang lebih dalam tentang jarak pemahaman antara dua dunia yang berbeda cara mengenali kenyataan.
Dunia pesantren tumbuh dari keyakinan bahwa ilmu adalah cahaya yang diturunkan melalui keikhlasan. Di sana tubuh, kata, dan tindakan manusia menjadi jalan untuk mencari berkah. Seorang santri mencium tangan kiai bukan karena takut atau tunduk, melainkan karena ingin menghubungkan dirinya dengan sumber pengetahuan dan moral. Dalam tradisi itu gerak tubuh adalah bentuk doa, dan semua yang tampak di permukaan lahir dari keyakinan bahwa kehormatan kepada guru adalah jalan menuju kebijaksanaan.Â
Dunia modern yang menilai sesuatu dari efisiensi dan kesetaraan formal mungkin sulit membaca kedalaman simbol semacam ini. Di situlah sering muncul kesalahpahaman. Tindakan yang sakral diterjemahkan menjadi tontonan, penghormatan dianggap sebagai kepatuhan, dan kesederhanaan dibaca sebagai ketertinggalan.
Kesalahan representasi yang dilakukan media bukan sekadar kekeliruan editorial, melainkan cerminan dari cara kerja produksi makna yang lebih menghargai sensasi daripada kedalaman. Dalam logika industri penyiaran, yang terpenting bukan kebenaran, tetapi perhatian. Realitas diubah menjadi citra yang cepat dikonsumsi, tanpa memberi kesempatan bagi publik untuk merenung. Ketika simbol religius masuk ke ruang semacam itu, ia kehilangan kesuciannya dan berubah menjadi efek visual semata.Â
Di sinilah letak persoalan yang lebih serius. Bukan hanya satu program yang keliru, melainkan struktur kultural yang membentuk cara berpikir tentang kebudayaan. Dunia media, yang mestinya menjadi ruang pencerdasan, justru sering kali terjebak dalam pola produksi citra yang mengaburkan makna.
Gagasan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang pesantren sebagai subkultur memberi kunci penting untuk memahami kedalaman persoalan ini. Gus Dur memandang pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi sebagai dunia yang memiliki sistem nilai dan tata moral sendiri. Ia adalah ruang yang membentuk manusia dengan cara yang berbeda dari sekolah atau universitas modern. Di dalamnya ilmu tidak sekadar pengetahuan, melainkan laku hidup yang menuntut penghayatan. Santri tidak hanya belajar menghafal teks, tetapi belajar menundukkan diri di hadapan guru dan sesama. Di situlah pesantren membangun kekuatannya, yakni kekuatan moral yang tidak bersumber dari kekuasaan, melainkan dari keikhlasan dan adab.
Baca Juga
Pesantren sebagai Subkultur Pendidikan
Ketika media menilai dunia pesantren dengan ukuran rasional modern, ia sebenarnya melakukan kekeliruan epistemologis. Ia membaca pesantren dengan bahasa yang bukan miliknya. Clifford Geertz pernah memperingatkan bahwa memahami tindakan manusia dalam kebudayaan membutuhkan deskripsi yang tebal, bukan sekadar laporan atas apa yang tampak di permukaan. Tindakan santri yang berjalan pelan untuk mencium tangan gurunya tidak dapat dipahami hanya dari bentuknya. Ia adalah bagian dari jaringan makna yang melibatkan sejarah, ajaran, dan pengalaman spiritual. Membaca tanpa memahami jaringannya berarti kehilangan makna. Inilah yang terjadi ketika dunia media melihat pesantren sebagai peristiwa visual semata, padahal pesantren adalah ruang simbol yang hidup dalam kesadaran batin dan kontinuitas tradisi.
Kesalahan semacam ini mungkin bisa dimaafkan, tetapi tidak seharusnya dibiarkan. Permintaan maaf dari media adalah langkah awal yang penting. Namun tanggung jawab sejati terletak pada kesediaan untuk mengubah cara pandang, bukan sekadar mengubah program. Media tidak cukup hanya menayangkan permohonan maaf atau memproduksi tayangan baru bertema pesantren. Ia perlu melakukan refleksi lebih mendalam tentang perannya dalam membentuk persepsi publik. Keadilan kultural hanya dapat lahir bila lembaga penyiaran menyadari bahwa setiap simbol yang ditayangkan membawa konsekuensi sosial. Kesadaran ini menuntut empati, pengetahuan, dan kesediaan untuk mendengar sebelum berbicara.
Namun refleksi tidak hanya diperlukan oleh media. Pesantren pun perlu bertanya pada dirinya sendiri. Apakah simbol-simbol yang kini tampil di ruang digital masih membawa makna, atau hanya menjadi dekorasi yang kehilangan ruh. Di banyak tempat pesantren kini aktif di media sosial dan menghasilkan konten dakwah yang menarik perhatian. Ini perkembangan yang positif sekaligus ujian berat. Keterlibatan di ruang digital tidak boleh menghilangkan kesadaran bahwa makna tidak lahir dari popularitas, melainkan dari ketulusan dan konsistensi moral. Dunia pesantren perlu memastikan bahwa adaptasi terhadap teknologi tidak mengorbankan kedalaman spiritual yang menjadi sumber kekuatannya.
Dalam masyarakat modern, media sering kali menjadi perantara tunggal antara publik dan realitas. Apa yang tidak tampil di layar dianggap tidak ada, dan apa yang tampil dianggap benar. Akibatnya dunia yang hidup dari keheningan seperti pesantren menjadi rentan disalahpahami. Namun kesalahan ini bukan takdir. Dunia media dapat berubah apabila ia mau memandang pesantren bukan sebagai objek eksotik, tetapi sebagai mitra dialog kebudayaan. Dunia pesantren pun dapat membantu dengan membuka pintu pengetahuan bagi mereka yang ingin belajar dari dalam. Pertemuan dua dunia ini akan melahirkan bentuk komunikasi baru yang lebih menghargai konteks dan kedalaman.
Baca Juga
Tarsan Melawak di Pesantren Lirboyo
Peristiwa yang melibatkan Trans7 dapat dibaca sebagai momen penting untuk memulai percakapan semacam itu. Permintaan maaf dan tabayyun yang dilakukan pihak televisi ke Pondok Pesantren Lirboyo merupakan langkah yang patut diapresiasi. Namun peristiwa ini juga harus menjadi pengingat bahwa tanggung jawab moral tidak berhenti pada kata maaf. Dunia media memikul kewajiban untuk membangun kebijakan penyiaran yang berpihak pada keberagaman budaya, sementara dunia pesantren memiliki tanggung jawab untuk terus menghadirkan wajah Islam yang teduh, terbuka, dan mendidik. Keduanya adalah bagian dari proyek kebangsaan yang sama, yakni membangun masyarakat yang berpengetahuan sekaligus beradab.
Di tengah perubahan sosial yang cepat, kedua dunia ini sebenarnya saling membutuhkan. Media memerlukan kedalaman moral agar tidak terjebak dalam dangkalnya sensasi, sedangkan pesantren memerlukan ruang komunikasi yang lebih luas agar nilai-nilainya dapat menjangkau masyarakat yang kian beragam. Keduanya dapat bertemu pada satu titik yang sama, yaitu keinginan untuk menjaga kemanusiaan. Media yang peka terhadap kebudayaan tidak akan memelintir simbol keagamaan menjadi bahan hiburan, sementara pesantren yang terbuka terhadap modernitas tidak akan melihat teknologi sebagai ancaman, melainkan sebagai sarana dakwah baru yang memperkaya cara menyampaikan kebaikan.
Sejarah Indonesia membuktikan bahwa kemampuan untuk menjembatani perbedaan merupakan kekuatan terbesar bangsa ini. Pesantren telah memainkan peran itu sejak lama, menjadi jembatan antara tradisi Islam dan kehidupan modern, antara kesalehan dan nasionalisme, antara dunia lokal dan nilai universal. Kini, di era digital, jembatan itu perlu diperluas ke ruang baru yang dikuasai oleh media dan teknologi. Tidak dengan memusuhi, tetapi dengan memahami. Tidak dengan menolak, tetapi dengan mengarahkan.
Krisis representasi yang muncul dari tayangan televisi tersebut pada akhirnya membuka kesempatan untuk membangun kesadaran baru tentang pentingnya literasi kultural. Masyarakat Indonesia memerlukan ruang percakapan yang lebih dalam antara tradisi dan modernitas. Pesantren dapat menjadi salah satu pusat percakapan itu karena ia memelihara moralitas yang sudah teruji waktu. Media pun dapat berperan sebagai fasilitator yang mempertemukan berbagai cara pandang tanpa kehilangan objektivitasnya. Dengan begitu, peristiwa yang semula tampak sebagai luka dapat berubah menjadi jembatan.
Dunia yang kehilangan makna membutuhkan tempat untuk kembali belajar tentang kedalaman. Pesantren mengajarkan bahwa ilmu memerlukan adab, dan adab memerlukan kesabaran. Dunia media dapat belajar dari prinsip itu. Tidak semua yang menarik perlu disiarkan, dan tidak semua yang viral bernilai. Dalam keheningan pesantren terdapat pelajaran tentang bagaimana menghormati kehidupan manusia. Dalam kecepatan dunia digital terdapat potensi untuk memperluas kebaikan apabila digunakan dengan bijak.
Apa yang terjadi antara pesantren dan Trans7 memperlihatkan bahwa perbedaan bukan halangan, melainkan undangan untuk saling memahami. Dalam dunia yang terpecah oleh polarisasi dan prasangka, kemampuan untuk menjembatani makna menjadi bentuk kebijaksanaan baru. Kebijaksanaan itu tumbuh dari kerendahan hati untuk mendengar, baik dari pihak media yang ingin memahami dunia spiritual maupun dari pesantren yang ingin menjangkau dunia modern.
Pada akhirnya yang dibutuhkan bukan sekadar aturan penyiaran yang lebih ketat, melainkan kesadaran bersama bahwa setiap simbol budaya memiliki kehidupan batin yang harus dihormati. Media yang berani memperlambat diri untuk memahami akan menemukan kedalaman baru dalam jurnalisme. Pesantren yang mau membuka diri untuk berdialog akan menemukan kekuatan baru dalam menyebarkan nilai-nilai kebijaksanaan. Dari pertemuan dua dunia itu kita dapat membangun jembatan yang tidak hanya menghubungkan informasi, tetapi juga menyatukan hati.
Ketika seorang santri menundukkan kepala untuk mencium tangan gurunya, ia tidak sedang kehilangan martabat, ia sedang belajar menghargai pengetahuan. Ketika dunia modern mampu melihat gerak itu dengan pengertian, bukan dengan ejekan, maka sesungguhnya kita telah melangkah satu tahap lebih maju sebagai bangsa yang menghormati perbedaan cara hidup. Dalam penghormatan yang sederhana itu tersimpan pelajaran besar tentang bagaimana manusia seharusnya memandang sesamanya dengan hormat, dengan empati, dan dengan kesadaran bahwa setiap kebudayaan menyimpan cahaya yang tidak selalu tampak di permukaan.
Virdika Rizky Utama, Direktur Eksekutif PARA Syndicate
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua