Opini

Bagaimana Jika Dam Jamaah Haji Disembelih di Tanah Air?

Sabtu, 6 Desember 2025 | 16:16 WIB

Bagaimana Jika Dam Jamaah Haji Disembelih di Tanah Air?

Hewan sebagai dam haji (Foto: Freepik)

Menarik sekali saat membaca berita di "Detikfinance" Rabu, 03 Desember 2025 13:23 WIB dengan judul "Pelaksanaan Dam Haji Diusulkan Dilakukan di RI, Selamatkan Hampir Rp 1 T". 


Dalam berita itu disebutkan bahwa, dengan pertimbangan potensi ekonomi yang sedemikian besar, efisiensi waktu dan anggaran, serta pertimbangan kemaslahatan warga kurang mampu di Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Pangan akan segera minta fatwa ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang hukum penyembelihan hewan dam di RI sebagai legalitas syar'i-nya. 


Penulis kemudian teringat dengan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU Tahun 2023 Komisi Waqi'iyah yang membahas tentang masalah ini. Kebetulan penulis menjadi salah satu perumus dalam pembahasannya.


Dengan suasana musyawarah yang sangat intens setelah mendengar narasumber dan pemilik KBIH atau travel haji dan umrah, puluhan kiai yang hadir menyimpulkan hukum penyembelihan dam dan sekaligus pendistribusiannya  di Tanah Air. Berikut kutipan asli keputusannya:


"a. Penyembelihan dam Tamattu' di Tanah Haram dan distribusinya di Indonesia, menurut Mazhab Syafi'i tidak diperbolehkan, sedangkan menurut Mazhab Hanafi diperbolehkan dengan syarat tidak disembelih sebelum ayyamun nahr (10, 11,12 Dzulhijjah). 


b. Penyembelihan dam Tamattu' sekaligus distribusinya di Indonesia hukumnya tidak diperbolehkan menurut jumhur (mayoritas) ulama mazhab empat, sedangkan menurut sebagian ulama diperbolehkan." 


Lebih lanjut dalam penjelasan keputusannya peserta Munas menyimpulkan bahwa, intiqal mazhab (berpindah mazhab) diperbolehkan apalagi dalam kondisi maslahah dan atau hajat. 


Dengan demikian, hukum menyembelih dam di luar Tanah Haram adalah boleh menurut muqabil adlhar Mazhab Syafi'i. Sedangkan mendistribusikan di luar Tanah Haram juga diperbolehkan menurut Mazhab Hanafi. Lebih lanjut dalam penjelasan disebutkan, talfiq (menggabung 2 pendapat) dalam masalah ibadah diperbolehkan menurut sebagian Mazhab Syafi'i dan pendapat kuat dari Mazhab Maliki. Sehingga diperbolehkankanya menyembelih dan mendistribusikan dam di luar Tanah Haram termasuk Indonesia, mendapatkan legitimasi dari syariat yang bisa dipertanggungjawabkan. 


Namun demikian, tidak berselang lama, tepatnya di awal tahun 2024, PBNU melakukan i'adatun nadzar (peninjauan ulang) terhadap hasil Munas ini. Sekalipun penulis dapat undangan, namun tidak bisa hadir karena suatu hal. Infonya salah satu pertimbangan perlu adanya i'adatun nadlar dalam masalah ini adalah, hasil Munas tahun 2023 dasar turats-nya dianggap lemah untuk menjadi dasar diperbolehkannya menyembelih dan mendistribusikan di luar Tanah Haram secara langsung, tanpa tahapan-tahapan tertentu. Sebab salah satu dasar yang digunakan adalah talfiq yang menurut mayoritas ulama memang tidak diperbolehkan. 


Berikut sebagian kutipan asli hasil keputusan Munas NU tahun 2024:


c. Jika penyembelihan dan pendistribusian dam tamattu' di Tanah Haram terdapat kendala yang sehingga tidak mungkin dilakukan (udzur syar'i atau hissi), maka penyembelihan dan pendistribusiannya boleh dilakukan di luar Tanah Haram seperti Indonesia dengan mengikuti Mazhab Hambali yang membolehkan pelaksanaan penyembelihan dan distribusi di luar Tanah Haram. Adapun penetapan uzur dilakukan oleh Pemerintah."


Kutipan sub (c) ini, setelah rumusan sebelumnya di bagian sub (a) memutuskan penyembelihan dan distribusi harus di Tanah Haram. 


Lalu pada bagian sub (b) dijelaskan bahwa bila ada hajat atau maslahah dam boleh disembelih di Tanah Haram, dan didistribusikan di luar Tanah Haram termasuk Indonesia. 


Lebih lanjut dalam sub d ditegaskan bahwa penggunaan keputusan a, b dan c ini harus secara berurutan sesuai situasi dan kondisi seperti tertulis dalam keputusan. Tidak boleh loncat. Bahkan untuk berpindah dari sub b ke sub c tidak cukup dengan alasan maslahah. Sehingga secara tersirat, Munas NU 2024 menyimpulkan saat ini belum diperbolehkan menyembelih dan mendistribusikan dam di Tanah Air. 


Lalu apa sesungguhnya perbedaan antara hasil Munas NU tahun 2023 dengan Munas tahun 2024 yang paling mendasar?


Sesungguhnya secara esensi hemat penulis sama. Bedanya hanya dalam masalah timing penggunaan pendapat yang memperbolehkan penyembelihan dan pendistribusian dam di luar Tanah Haram. Munas 2023 lebih bersifat solutif karena berbagai macam pertimbangan. Salah satunya menggunakan dasar jawaz talfiq fil ibadah. Sementara Munas 2024 lebih bersifat konseptual dan ihtiyath (hati-hati) dalam menggunakan referensi. 


Keputusan Munas NU pada 2023 musyawirin menjawab masalah waqi'iyah, aktual, dan faktual yang perlu ada solusi terbaik, dan tentu setelah mempertimbangkan fakta di lapangan, situasi dan kondisi riil yang ada. Bukan lagi merumuskan konsep secara umum.  Fakta-fakta itu di antaranya adalah:


1. Sudah bertahun-tahun Pemerintah Arab Saudi selalu mendistribuskan dam di luar Tanah Haram termasuk Indonesia.


2. Mayoritas jamaah haji Indonesia membayar dam lewat KBIH-nya. Lalu KBIH mencari relasi masing-masing ke jasa pengadaan dan penyembelihan dam. Di sinilah mayoritas jamaah haji tidak mendapatkan laporan satu per satu secara memadai tentang pelaksanaan damnya. Sehingga disamping relatif mahal karena ia harus memberi upah beberapa perantaranya, keabsahan damnya juga tidak terjamin. 


3. Di tahun yang sama, Baznas pernah mengkoordinasi sekitar 3000 ekor dam disembelih sendiri di sana, dan didistribusikan ke Indonesia. Ternyata biaya total operasional dan pengiriman tidak kurang dari 2 M. Belum lagi fiqih harus mempertanyakan dari kas yang mana Baznas menggunakan uang itu. Itu pun berbulan-bulan baru bisa didistribusikan ke masyarakat karena banyaknya kendala.

 

4. Dan lain-lain. 


Secara aturan dan etika, keputusan Munas NU tahun 2024 memang yang seharusnya dipedomani oleh Nahdliyin. Namun demikian, secara otoritas kajian keilmuan tentu hasil Munas 2023 tidak mungkin di-naskh begitu saja. Meminjam istilah Qaul Jadid dan Qaul Qadim-nya Imam Syafi'i, secara pribadi ketika beliau menyampaikan Qaul Jadid tentu otomatis menganulir (naskh) terhadap Qaul Qadim-nya. 

 

Namun pada perkembangannya eksistensi Qaul Qadim beliau, tidak sedikit yang justru malah digunakan dan diamalkan oleh Syafi'iyah (pengikut Mazhab Syafi'i), karena dipilih atau dikuatkan oleh ashab beliau sehingga banyak yang masih eksis. 


Sebagai tambahan, dalam Munas 2023 juga diperbincangkan mekanisme pembayaran dam jika dilaksanakan di Tanah Air. Di antara usulan yang muncul adalah bahwa masyarakat diberi keleluasaan dalam pelaksanaanya, bisa mandiri dilakukan oleh keluarga di rumah, dikoordinasi oleh KBIH/ormas, maupun dibayarkan lewat Baznas atau lembaga baru semacamnya. 


Sebab jika pembayaran dam itu diharuskan lewat Baznas atau lembaga tertentu, tidak menutup kemungkinan memunculkan masalah baru bila tidak disiapkan dengan matang. 


Harapan penulis, ada keberanian untuk mengambil langkah strategis untuk menyepakati keputusan bahwa dam boleh disembelih dan didistribusikan di RI. Tentu hal ini setelah dimusyawarahkan kembali antara pemerintah, para ulama, dan pakar di bidangnya. 

 

Bagi kita uang 1 Triliun itu sangat banyak. Bila itu berputar di RI, ribuan orang akan mengambil manfaatnya: mulai peternak, pedagang, juru sembelih halal (juleha), masyarakat miskin dengan daging segarnya, dan lain-lain. Dan yang paling penting, hewan dam nyata-nyata diyakini keabsahannya, karena ditangani sendiri. 


KH Zahro Wardi, alumnus Pondok Pesantrn Lirboyo, Dosen Fiqh Kebangsaan Program S2 Lirboyo, Tinggal di Trenggalek