Kelompok bersenjata anti-rezim Bashar Al-Assad pada Sabtu (7/12/2024 ). (Foto: ANTARA/Anadolu/py/Anadolu)
Perkembangan krisis di Suriah memburuk dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Hanya dalam tempo 12 hari (27/11-08/12), kelompok oposisi bersenjata Suriah berhasil menaklukkan Damaskus, ibu kota Suriah. Sementara Presiden Bashar Al-Assad dan keluarganya melarikan diri ke Moskow, Rusia.
Sebagaimana dimaklumi, serangan mendadak yang dilakukan oleh kelompok oposisi bersenjata Suriah dimulai secara terbuka pada 27 November lalu; hanya beberapa jam setelah Gencatan Senjata Israel-Hizbullah diberlakukan (27 November, jam 04-00 pagi waktu setempat). Inilah yang membuat sebagian pihak di Timur Tengah menduga adanya keterlibatan pihak luar (khususnya Israel beserta sekutunya) dalam krisis politik mendadak di Suriah.
Di antara mereka yang menduga keterlibatan pihak luar dalam krisis Suriah adalah Iran. Secara terbuka dan berkali-kali, pejabat tinggi Iran menegaskan telah dan akan terus mendukung Suriah. Bagi Iran, krisis di Suriah sengaja diciptakan oleh Barat dan sekutunya agar kelompok perlawanan yang didukung Iran tidak bisa bernafas (Aawsat.com, 30/11). Tapi sampai Assad ambruk, bantuan tak terlihat di lapangan.
Turki sebagai tetangga Suriah sekaligus “teman dekat” Iran dalam menghadapi kebrutalan Israel di Gaza dan di Lebanon memiliki pandangan sedikit berbeda dengan Iran, tapi memiliki implikasi yang sangat tajam. Menurut Turki, apa yang saat ini terjadi di Suriah lebih disebabkan oleh faktor internal, dari pada faktor eksternal.
Faktor internal dimaksud adalah sikap pemerintahan Bashar al-Assad dalam menghadapi tuntutan rakyat sejak Arab Spring melanda dunia Arab pada tahun 2011 lalu, termasuk sikap Assad (terhadap kelompok revolusi) pada masa-masa kemenangannya dalam beberapa tahun terakhir.
Faktor eksternal adalah sikap negara-negara luar Suriah, khususnya Israel dan sekutunya. Namun sebagai salah satu tetangga, Turki juga bisa disebut sebagai faktor eksternal.
Sebagai pengingat, pada saat awal gerakan Arab Spring mengguncang Suriah (penulis menyebutnya Krisis Suriah jilid I), Turki memilih sikap mendukung kelompok revolusi. Karena pada masa-masa awal, gerakan Arab Spring bisa disebut seutuhnya sebagai gerakan rakyat Arab yang menginginkan negaranya menjadi lebih demokratis, tidak otoriter, menghormati kebebasan sipil dan seterusnya.
Gerakan ini berawal dari Tunisia pada akhir tahun 2010, menyebar ke Mesir pada awal 2011 (dikenal dengan revolusi 25 Januari), berlanjut ke Libya, Suriah (2012) dan seterusnya.
Arab Spring di Suriah atau Krisis Suriah jilid I tak mulus dan cepat seperti di Tunisia, Mesir dan Libya (pada beberapa bagian). Krisis Suriah jilid I penuh dengan dinamika, khususnya dengan kehadiran kelompok jihad global bernama ISIS.
Secara politik, keberadaan ISIS di Suriah menguntungkan rezim Assad. Karena dengan adanya ISIS, fokus kekuatan global lebih tertuju kepada ISIS dari pada rezim Assad. Hingga akhirnya ISIS dijadikan musuh bersama: sebagian kelompok revolusi yang lain pun memusuhi ISIS. Bahkan ada kelompok jihad lain yang juga memusuhi dan memerangi ISIS.
Di saat semua pihak memberi perhatian kepada ISIS, di saat seluruh kekuatan memusuhi ISIS, pemerintah rezim Assad justru secara perlahan menata tangga-tangga kemenangannya. Energi kemenangan utama Assad didapat dari keberadaan ISIS dan kelompok jihad lain di Suriah.
Dengan keberadaan ISIS dan kelompok jihad lain di Suriah, paling tidak rezim Assad bisa membuktikan kepada rakyatnya dan masyarakat dunia bahwa mereka memang diserang dan sedang berhadapan dengan kelompok teroris, bukan kekuatan rakyat yang dihadapi secara otoriter. Kemenangan Assad sempat membuat Suriah diterima kembali di Liga Arab.
Sebagai negeri tetangga, Turki mengembangkan sikap luar negeri yang cukup zig-zag dalam upaya mengikuti perkembangan yang terjadi di Suriah. Pada awalnya, Turki menyatakan sikap mendukung kelompok revolusi di masa-masa awal Arab Spring. Bahkan beberapa kelompok pejuang dari luar masuk ke Suriah melalui perbatasan Suriah dengan Turki.
Pada masa yang lain, Turki juga memerangi ISIS. Bahkan sebelum terjadinya krisis Suriah jilid II seperti sekarang, Presiden Assad sempat diberitakan melakukan pertemuan dengan Erdogan sebagai Presiden Turki (Tempo, 25/07).
Kembali ke perkembangan terkini dari krisis Suriah jilid II; apakah ini murni faktor internal seperti disampaikan Turki? Atau ini lebih karena faktor eksternal seperti disampaikan Iran? Dalam hemat penulis, melihat perkembangan yang terjadi dalam 12 hari terakhir dan memerhatikan mudahnya kota-kota Suriah ditaklukkan oleh kelompok oposisi bersenjata (khususnya Damaskus), tampaknya faktor internal dan eksternal sedang terjadi dalam waktu yang bersamaan.
Secara internal Assad selama ini gagal memerhatikan aspirasi rakyatnya untuk menjalankan pemerintahan secara lebih terbuka dan demokratis. Assad juga tidak mengakomodir kelompok-kelompok oposisi untuk membangun pemerintahan bersama. Dan pada akhirnya Assad gagal memanfaatkan kesempatan yang ada dalam beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan membangun sistem negara kuat yang dibela oleh rakyatnya, khususnya Angkatan Bersenjata Suriah.
Runtuhnya Suriah tidak terlepas dari pasukan bersenjata Suriah yang diberitakan banyak melarikan diri. Padahal pasukan Suriah sempat menjadi salah satu pasukan yang paling disegani di kalangan negara-negara Timur Tengah.
Sementara secara eksternal terlalu banyak faktor yang membuat Suriah mudah ambruk tak ubahnya kisah istana pasir. Faktor eksternal bagian paling dalam yang selama ini menjadi tumpuan pemerintahan Assad, yaitu keberadaan dan dukungan dari para sekutu, mulai dari pasukan Hizbullah, Iran dan Rusia. Terjadinya perang di Ukraina melawan Rusia, perang di Lebanon dan keterlibatan Iran secara terbatas dalam perang melawan Israel membuat faktor “eksternal bagian dalam” di Suriah “terkelupas”.
Sepanjang perang-perang ini berkobar, Assad mungkin merasa tenang dan nyaman di istananya. Tak ada dugaan bahwa kelompok oposisi bersenjata akan bergerak kembali secara cepat di saat pendukung-pendukung Assad berjuang mati-matian di negeri masing-masing.
Menurut penulis, inilah faktor utama yang membuat penaklukkan kota-kota Suriah dalam beberapa hari terakhir berlangsung begitu mudah, cepat dan kilat.
Sementara di sisi lain, ada juga peran faktor “eksternal jauh” yang juga berperan dalam kehancuran Suriah secara sangat dramatis. Faktor luar jauh ini bisa dimulai dari Turki sebagai tetangga yang tidak ingin terdampak oleh “krisis tetangga” hingga Israel yang berambisi menang total terhadap kelompok perlawanan, paling tidak Hizbullah di Lebanon. Bahkan juga mungkin Amerika Serikat (AS) yang menginginkan fokus Rusia terpecah dan terbelah.
Dalam hemat penulis, krisis Suriah berperan sentral bagi kemenangan strategis Israel dan sekutunya, khususnya AS. Hancurnya rezim Assad di Suriah bisa berdampak pada kehancuran ekosistem kelompok perlawanan yang dikomando oleh Iran. Bahkan hancurnya Suriah bisa berdampak sangat fatal terhadap citra Rusia yang sedang galak-galaknya membangun aliansi alternatif yang bisa dipahami untuk menyaingi AS dan sekutunya.
Hancurnya rezim Bashar Al-Assad menjadi cerita penaklukkan sebuah negara paling cepat di era modern ini (hanya dalam hitungan hari atau 12 hari). Padahal Hamas yang hanya sekadar milisi kecil di Gaza dan telah diserang dengan pelbagai macam senjata canggih Israel belum takluk sampai 14 bulan berlalu.
Dalam hemat penulis, ambruknya Suriah bisa menimbulkan dampak yang sangat besar. Tak hanya di wilayah Syam (Suriah, Israel dan sekitarnya), tapi bisa melebar hingga ke dunia Arab dan Timur Tengah secara umum. Bahkan ambruknya Suriah bisa mengilhami munculnya Arab Spring Jilid II. Terlebih lagi bila kemenangan kelompok oposisi bersenjata di Suriah sekarang dicitrakan sebagai kemenangan rakyat melawan penguasa. Ini adalah semangat dan cerita Arab Spring jilid I yang belum tuntas.
Hasibullah Satrawi adalah pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam