Opini

Timnas Garuda, Bahrain, dan Politik Timur Tengah

Kamis, 10 Oktober 2024 | 14:34 WIB

Timnas Garuda, Bahrain, dan Politik Timur Tengah

Ilustrasi Indonesia Vs Bahrain (Foto: Aceng Darta/NU Online)

Malam nanti (10/10/24), timnas sepakbola Indonesia menghadapi tuan rumah Bahrain dalam pertandingan lanjutan penyisihan babak ketiga piala dunia zona Asia. Laga ini memperoleh perhatian begitu luas dan emosional di Tanah Air. Demam menuju piala dunia, kira-kira begitulah suasana kebatinan masyarakat Indonesia. Informasi sekecil apa pun terkait perhelatan itu, baik tentang pemain ataupun hal lain akan disambar jadi berita yang tersebar luas dengan partisipasi penonton, like, dan comment yang banyak dan bergemuruh.


Jika dibaca dari sisi lain maka pertandingan ini mencerminkan pertandingan dua negara yang memiliki kesamaan dan perbedaan dalam banyak hal termasuk posisi dan sikapnya terhadap isu-isu besar di Timur Tengah. Bahrain adalah negara mikro yang memiliki wilayah sedikit lebih luas daripada Kabupaten Bantul di DIY atau lebih kecil dari Kabupaten Trenggalek di Jawa Timur. Sedangkan Indonesia memiliki wilayah yang begitu luas hampir mencapai dua juta kilometer persegi. Namun, kedua negara sama-sama negara kepulauan. Perbedaannya, kepulauan Bahrain hampir setengahnya adalah pulau buatan sedangkan kepulauan di Indonesia seluruhnya atau hampir seluruhnya pulau natural.


Kendati ukurannya mikro, Bahrain seperti negara Arab Teluk lain, sangat kaya terutama dari hasil minyak dan gas. Mereka adalah negara investor yang jadi rebutan kerja sama negara-negara di dunia meskipun masih kalah mentereng dari Qatar dan Uni Emirat Arab. Penghasilan lain yang khas negeri ini adalah mutiara yang konon punya kualitas tinggi dan tentu pariwisata pantai. 


Negara-negara Arab Teluk terdiri dari enam negara yaitu Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab dan Kesultanan Oman yang keenamnya tergabung dalam organisasi regional GCC (Gulf Cooperation Council atau Munadzamah al Ta’awun al-Khalijiy). Sebagaimana negara Arab Teluk yang lain, Bahrain merupakan negara monarki. Negara-negara ini selamat dari amuk Arab Spring meskipun Bahrain sempat mengalami tekanan sangat besar dari gelombang itu sekitar satu dekade lalu.


Dibandingkan negara Arab Teluk lain, kehidupan masyarakat Bahrain cenderung terbuka dan lebih permisif.  Ini bisa dipahami sebab masyarakat Bahrain pada dasarnya adalah masyarakat pelabuhan, persinggahan dan lalu lintas manusia dari beragam kebudayaan. Mereka juga jadi rebutan kekuatan-kekuatan politik besar dari masa ke masa. Atmosfir dan lingkungan pantai dan teluk dengan segala pernik dan masalahnya jadi inspirasi bagi penyair-penyair Bahrain seperti Qasim Haddad dan Alwy al-Hasyimi. 


Objek hiburan yang ada di negeri ini konon jadi destinasi “wisata” terutama dari muda-mudi Arab Saudi dan sekitarnya yang sebelumnya menerapkan aturan pergaulan ketat.  Julukan negeri pestanya Timur Tengah kadang terdengar. Kedua negara (Saudi-Bahrain) meskipun terpisah oleh laut terhubung secara intens berkat Jembatan Raja Fahd sepanjang 25 KM yang sudah dibangun sejak sekitar 40-an tahun lalu. Itu pun masih akan ditambah satu jembatan lagi yang lebih besar, yaitu jembatan Raja Hamad yang konon akan dilengkapi fasilitas moda kereta api. Diperhatikan dari namanya maka bisa dipahami bahwa jembatan pertama dibangun oleh Kerajaan Arab Saudi dan yang kedua oleh Kerajaan Bahrain. Upaya mengkoneksikan Bahrain dengan negara tetangga lain yaitu Qatar melalui jembatan serupa pernah ditentang oleh Arab Saudi. Hal ini menggambarkan konstelasi yang terbentuk dalam pergaulan para penguasa monarki-monarki di Teluk tersebut.


Isu Sektarian
Sekadar informasi sederhana, mayoritas penduduk Bahrain adalah Syiah yang terdiri dari suku Baharna dan Ajam sementara penguasanya berasal dari golongan Sunni yang minoritas yang terdiri dari Arab dan Huwala. Ini berbalikan dengan kondisi Suriah yang penguasanya minoritas Syiah Alawiyah sementara penduduknya mayoritas Sunni. Fakta itu jadi tekanan tambahan terhadap penguasa Bahrain di tengah gerakan protes yang melanda kawasan pada dekade lalu. Apalagi Iran tampak sangat aktif dalam mendukung gerakan-gerakan protes terhadap rezim Bahrain kala itu. Dukungan dari kekuatan militer dan keamanan negara-negara Teluk yang dipimpin Arab Saudi turut menyelamatkan penguasa negeri ini.  


Tensi sektarian yang meningkat di Timur Tengah pasca Arab spring tentu menjadi perhatian masyarakat dan penguasa negeri itu. Hal itu sangat berpengaruh terhadap situasi domestik Bahrain. Sebab, di samping gap sektarian antara mayoritas penduduk dan penguasanya, Bahrain juga dikelilingi oleh negara dengan penduduk mayoritas Syiah. Di Utara ada Irak terutama kota Bashrah yang merupakan wilayah berpenduduk Syiah, di sebelah Barat ada wilayah Arab Saudi Timur yang juga merupakan kawasan dengan jumlah penduduk Syiah sangat menonjol. Apalagi di sebelah Barat ada negara “pusat” Syiah, yaitu Iran. Bahrain bahkan seperti halaman belakang Iran, aktor besar kawasan yang membentangkan pengaruhnya di banyak wilayah di Timur tengah bahkan dunia Islam. Ini tentu jadi tekanan tersendiri bagi rezim Bahrain yang Sunni.


Catatan lain dari negeri ini dan perbandingannya dengan Indonesia adalah keputusan penguasa Bahrain untuk melakukan normalisasi dengan Israel. Sedangkan Indonesia dikenal sebagai pendukung militan dan lantang terhadap perjuangan Palestina. Pada 15 September 2020,  Menlu Abdullatif bin Rasyid al-Zayyan atas nama kerajaan Bahrain menandatangani perjanjian Abraham dengan Israel dan disaksikan oleh Presiden Trump di Gedung Putih. Ada tiga negara Arab lain yang sudah melakukan normalisasi dengan Israel, yaitu Uni Emirat Arab, Sudan, dan Maroko. Bahrain dan tiga negara tersebut tentu memiliki alasan masing-masing dengan sikap tersebut.


Langkah normalisasi negeri itu dengan Israel sebenarnya tidak didukung oleh mayoritas rakyatnya dan kalangan luas dunia Muslim yang menuduhnya egois dan tidak peduli Palestina. Bahrain pun berargumen langkah normalisasi dilakukan justru untuk membantu perjuangan Palestina. Adanya saluran diplomatik langsung dengan Israel memudahkan untuk turut memperjuangkan Palestina. Namun, faktanya di tengah tragedi Gaza yang memilukan setahun ini, Bahrain dan juga tiga negara itu tidak bisa berbuat apa-apa.


Dekat dengan Saudi
Hubungan Bahrain dengan dengan negara-negara Teluk itu sangat kuat khususnya Arab Saudi. Negeri mikro ini cenderung mengikuti arah kebijakan politik luar negeri Arab Saudi. Termasuk ketika kerajaan itu bersama Uni Emirat Arab dan Mesir memboikot tetangganya Qatar. Sikap itu juga tercermin dalam masalah-masalah krusial lain di Timur Tengah seperti  perang Suriah yang begitu ganas selama bertahun-tahun, perang Yaman yang mengakibatkan krisis kelaparan hebat, hubungan dengan IM dan Mesir, relasi dengan AS dan Barat, juga mengenai Palestina-Israel.  Apalagi dalam masalah dengan Iran di mana Bahrain memiliki kepentingan lebih besar dan langsung.


Timnas Indonesia kebetulan berada satu grup dengan kedua negara tersebut. Timnas Indonesia berhasil menahan imbang Tim Elang Hijau Saudi meskipun rangking FIFA kedua tim terpaut jauh. Kritik pedas dari publik Saudi terhadap pelatih dan federasi sepak bola negara itu mewarnai kegagalan Arab Saudi memperoleh skor maksimal. Si Merah, julukan timnas Bahrain, juga cukup sukses karena bisa mengambil poin penuh dari Australia meski dihajar timnas Jepang.


Perlu dicatat representasi Indonesia di kedua negeri itu kebanyakan adalah kawan-kawan pekerja kelas menengah ke bawah. Ini pasti berpengaruh terhadap cara pandang mereka terhadap Indonesia. Kini, berkat prestasi Timnas Garuda, Bahrain sepertinya jauh lebih berhati-hati dalam memandang kekuatan Timnas Indonesia. Dan semoga itu juga meluas pada pandangan masyarakat Bahrain dan negara-negara Arab Teluk pada umumnya terhadap bangsa Indonesia. Semoga Garuda berjaya!


Ibnu Burdah, Guru Besar Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga