Pada pertengahan Februari 2021, saluran YouTube NU Online merilis film pendek berjudul Doa Suto. Film pendek adaptasi dari esai Mohammad Sobary ini, hingga Senin (15/3) pagi ini, sudah menyedot perhatian lebih dari 49 ribu viewers. Film pendek ini pun mendapatkan banyak apresiasi positif dari warganet melaui kolom komentar.
Film diawali dengan adegan Kang Suto yang sedang menerima telepon dari anaknya. Rupanya hari itu adalah hari ulang tahunnya dan anaknya menelepon untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Kang Suto, sebagaimana kebanyakan orang tua Jawa zaman dahulu, malah tidak sadar bahwa itu adalah hari ulang tahunnya. Kang Suto kemudian mulai berdoa seraya membaca al-Patekah.
Selain memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada Kang Suto, tujuan anaknya menelepon adalah untuk membujuk Kang Suto agar mau pulang dan tinggal di kampung bersamanya. Tetapi, Kang Suto menolak karena merasa masih punya tempat tinggal, masih sehat dan masih dapat bekerja.
Sebenarnya, Kang Suto bukannya tidak ingin pulang. Tapi pulang yang diharapkannya bukanlah pulang ke kampung dan tinggal dengan anaknya. Pulang yang diinginkan Kang Suto adalah saat 'pulang' kepada Gusti, shalatnya diterima dan doanya dikabulkan. Di sinilah inti permasalahan dalam keseluruhan film pendek ini. Kang Suto baru saja belajar ngaji dengan seorang ustad. Selama belajar dengan ustadz tersebut, Kang Suto selalu saja disalahkan dan dibentak-bentak oleh ustadz yang digambarkan di sini memakai surban dan suka marah-marah.
"Alkam dulillahi robbilalamin" Kang Suto mencoba membaca.
"Alhamdulillahirabbilalamin. Coba liat bibir ana. Yang benar seperti ini," kata si ustadz meluruskan.
"Alkamdu..."
"Kha, bukan ka"
"Alkamdu..."
"Kham, bukan kam"
"Lakamdu..."
Si ustadz yang mungkin baru saja mengikuti diklat 'Tata Cara Membaca Surat Al-Fatihah yang baik dan benar' ini masih saja tidak bisa menerima bacaan Kang Suto yang tidak bisa fasih karena memang berlidah Jawa yang medok. Bagi si ustadz ini, membaca Fatihah yang benar adalah membaca dengan bacaan yang sesuai dengan juknis dari yang ia pelajari, sesuai dengan tajwid dan makhraj huruf orang Arab. Bahkan, si ustad ini balik menyalahkan bibir dan lidah Kang Suto yang notabene sudah 'diseting' seperti itu.
"Ini nih, lidah Indonesianya ditinggal sebentar! Kham, bukan kam!"
"Bibir ini yang jadi masalah besar!"
Wah,lidah dan bibir yang memang diciptakan Tuhan seperti itu berani dipersalahkan.
Bagi si ustad mungkin tidak salah. Membaca Fatihah memang tidak boleh serampangan. Harus benar. Karena seperti yang ia katakan bahwa Fatihah itu adalah "Rukun bacaan wajib. Kalau Bapak salah pengucapannya, sia-sia shalat Bapak. Enggak sah shalat Bapak!"
Bahwa Fatihah merupakan bagian dari rukun shalat dan bila tidak benar membacanya dapat menyebabkan shalat tidak sah itu memang benar. Kita bisa mengeceknya dalam beberapa kitab fiqih, seperti dalam kitab Safinah al-Najah. Dalam kitab Safinah disebutkan bahwa syarat Fatihah itu ada sepuluh, salah satunya adalah harus مراعة حروفها ومراعة تشديداتها yang artinya adalah harus menjaga huruf-huruf dan tasydid-tasydid yang ada dalam surat Fatihah. Dan, yang paling penting lagi ketika membaca Fatihah adalah عدم اللحن المخل بالمعنى tidak boleh membaca Fatihah secara keliru yang dapat menyebabkan perubahan makna.
Kang Suto dalam film tersebut membaca الحمد yang seharusnya dibaca dengan huruf kha yang artinya segala puji dibaca dengan الكمد dengan kaf yang berarti kesedihan. Jelas ini merupakan kesalahan fatal yang tidak hanya dari segi lafalnya saja yang berubah, tetapi juga maknanya.
Masalahnya, lidah Kang Suto memang tidak bisa mengucapkan kha dengan benar. Mau dipaksa bagaimanapun juga, yang keluar dari tenggorokannya tetap saja kaf, bukan kha. Orang Jawa memang dari lahir ada yang tidak bisa melafalkan huruf Arab secara benar. Tidak hanya kha, tapi juga huruf lain seperti ain. Dipaksapun dan dicoba terus-terusan tetap masih sulit. Seperti halnya sebagian Orang Sunda yang ada yang tidak bisa melafalkan fa tetapi yang keluar malah pa.
Dalam melihat fakta ini, seharusnya si ustadz lebih arif dalam mengajari Kang Suto. Tidak bisa lidah dia disamakan dengan lidah Kang Suto dan lidah orang lain yang memang bawaan lahir tidak bisa mengucapkan huruf-huruf tertentu, seperti yang dikatakan Wito. Tapi yang terjadi, si ustadz malah menyalahkan lidah dan bibir Kang Suto. Secara tidak langsung, si ustad kita ini juga menyalahkan Tuhan yang telah menciptakan lidah dan bibir Kang Suto. Wah!
Siapa pun yang sudah berani menyandang gelar ustad, seharusnya bisa lebih arif lagi dalam menghadapi umat yang bermacam-macam. Tidak cukup dengan satu ilmu saja, tetapi juga harus melihat dari prespektif keilmuan lainnya. Tidak perlu jauh-jauh, dalam kasus ini, cukup lihat saja kitab fiqih yang lebih banyak keterangannya.
Dalam kitab Fatkh al-Mu’in misalnya, di situ sudah diterangkan secara mendetai tentang bacaan Fatihah. Di situ disebutkan, bagi orang yang memang tidak mampu belajar melafalkan Fatihah dengan benar seperti dalam kasus Kang Suto maka bacaanya tidak batal dan secara otomatis shalatnya pun sah. أما عاجِزٌ لم يُمْكِنهُ التَّعَلُّمَ فلا تَبْطَلْ قِراءَتُهُ مُطْلقاً (Adapun orang yang tidak mampu, yang tidak mungkin belajar membaca dengan benar, maka bacaannya tidak batal secara mutlak). Untungnya, Kang Suto bertemu dengan Wito yang menyampaikan nasehat yang khas disampaikan oleh ulama-ulama Aswaja, yaitu yang dinilai dari sebuah ibadah adalah hatinya, bukan lisannya.
Sebagai penutup, film pendek ini patut mendapatkan apresiasi yang tinggi karena sudah berhasil menggambarkan bagaimana kegamangan orang-orang awam yang hanya ingin dapat beribadah dengan benar sesuai dengan ketentuan Islam, akan tetapi terbentur oleh oknum-oknum pemuka agama yang memiliki pemahaman yang saklek tentang Islam. Akting yang ditampilkan oleh pemain-pemain dalam film ini juga sangat bagus. Film penuh pesan moral seperti inilah yang seharusnya lebih viral dan lebih mendapat perhatian di kalangan anak muda.
Subhan Abidin, warga NU, penikmat film.