NU telah lama memperhatikan pentingnya film sebagai lahan dakwah. Usmar Ismail, salah satu tokoh perfilman Indonesia merupakan ketua pertama dari Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi).
Achmad Mukafi Niam
Penulis
Perkembangan teknologi dan media sosial memungkinkan produksi film bisa dilakukan oleh siapa saja. Kini, produksi film cukup dilakukan dengan peralatan yang bisa dibeli dengan harga terjangkau atau disewa dengan harta yang tidak terlalu mahal sedangkan media sosial menjadi sarana yang mudah dan efektif untuk menyebarkan konten-konten film tersebut.
Dengan demikian, film dapat dijadikan wahana dakwah bagi para santri terkait dengan nilai-nilai keagamaan dengan cara menghibur sekaligus memberi pesan keagamaan atau moral tanpa perlu terasa menggurui kepada penonton. Sejumlah karya santri dalam lomba film pendek menunjukkan kualitas yang cukup baik. Para santri dapat memerankan tokoh dalam cerita sesuai dengan karakter yang dibangun. Pengambilan gambar juga tak kalah dengan film-film pendek yang kini banyak diproduksi dan diunggah di media sosial seperti Youtube atau Facebook.
Kondisi sekarang ini merupakan disrupsi dalam produksi film yang harus dimanfaatkan kalangan pesantren. Pada zaman dahulu, produksi film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan besar mengingat hanya mereka yang mampu membeli peralatan canggih dan mahal. Para artis yang menjadi pemeran juga kalangan tertentu yang memang menekuni dunia seni dan hiburan.
Sejumlah film bernuansa Islami juga dihadirkan ke publik dan menuai sukses. Salah satunya adalah film Sang Kiai yang menggambarkan cerita sosok KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Ramadhan juga identik dengan tema-tema keislaman dan dakwah di televisi.
NU telah lama memperhatikan pentingnya film sebagai lahan dakwah. Usmar Ismail, salah satu tokoh perfilman Indonesia merupakan ketua pertama dari Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi). Usmar Ismail menjadi sutradara dari film Darah dan Doa yang merupakan film pertama yang diproduksi oleh orang Indonesia pascamerdeka.
Namun, terdapat periode penjang di mana NU berjarak dengan dunia perfilman. Kebanyakan pesantren melarang para santrinya untuk menonton film di bioskop. Film dipandang sebagai hiburan yang negatif karena sering dibumbui adegan seks atau bahkan seks menjadi jualan utama dari cerita filmnya. Tentunya hal ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ditambah lagi dengan adanya perilaku dari sebagian bintang film yang menganut gaya hidup bebas dan hedonis.
Seiring dengan berjalannya waktu, ketika daya beli Muslim meningkat dan adanya kebutuhan akan hiburan film-film bernuansa Islami, maka film-film dengan genre seperti itu pun diproduksi, baik untuk ditayangkan di bioskop atau di televisi. Para artisnya pun mulai banyak yang menunjukkan identitas keislaman yang kental seperti penggunaan jilbab pada artis perempuan. Hal ini akhirnya mempengaruhi citra industri film menjadi lebih positif.
Film kini telah menjadi bagian dari kebutuhan hiburan masyarakat kekinian. Pilihannya adalah, kita akan mengisi atau tidak karena jika kita tidak mengisinya, maka ruang tersebut akan diisi oleh pihak lain yang mungkin motivasinya sekadar mencari untung dengan mengabaikan nilai-nilai moral atau agama. Atau didasari dengan motivasi ideologi keagamaan tertentu yang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan dan Islam moderat yang diperjuangkan oleh NU.
Sekalipun kalangan santri kaya akan potensi bakat seni perfilman, namun untuk menghasilkan film yang berkualitas dan disukai masyarakat, butuh sumber daya manusia yang berkualitas pula. Untuk membikin naskah cerita yang menarik, menjadi pemeran yang berkarakter, pengambilan gambar, editing, dan lainnya merupakan pekerjaan teknis yang membutuhkan ketrampilan tinggi. Hal tersebut tidak bisa dilakukan sambil lalu, namun harus dipelajari secara serius.
Dalam hal ini, komunitas film dan jejaringnya harus dibangun dan diperluas di berbagai pesantren sebagai sarana untuk berbagi ilmu dan belajar bersama. Teknologi telah memudahkan interaksi antara pelaku produksi film tanpa harus bertemu secara fisik. Lesbumi sebagai lembaga yang membidangi seni dan budaya di lingkungan NU memiliki peran strategis untuk memfasilitasi dan mengembangkan hal tersebut.
Ada banyak sekali segmen penonton film yang dapat digarap, mulai dari film anak-anak, remaja, hingga dewasa atau beragam genre sesuai dengan selera penonton. Karena itu, ada banyak kebutuhan jenis film yang dapat diproduksi yang tentunya membutuhkan banyak rumah produksi yang masing-masing mengambil segmen tertentu.
Kita dapat belajar dari industri film di Korea Selatan yang memiliki visi jangka panjang. Beberapa puluh tahun lalu, mereka bukan siapa-siapa, tetapi kini drama Korea menjadi hiburan yang ditunggu-tunggu di seluruh dunia. Film Parasite menjadi bukti pencapaian prestasi dengan memenangkan empat kategori Oscar pada 2020. Ini tentu bukan sesuatu yang datangnya tiba-tiba atau keberuntungan, melainkan berkah dari kerja keras dan dukungan dari banyak pihak. Tak ada yang singkat dan instan guna mencapai prestasi.
Nahdlatul Ulama merupakan komunitas besar dengan warga berjumlah puluhan juta orang. Jangan sampai kita hanya menjadi konsumen dari produksi film pihak lain, jangan sampai bakat-bakat seni para santri tidak berkembang. NU Online juga telah memproduksi beberapa film pendek sebagai upaya untuk mengisi ruang dakwah lewat seni ini, namun masih dibutuhkan banyak film-film baru sebagai bagian dari bentuk inovasi dakwah. Komunitas film di lingkungan NU mesti terus dikembangkan untuk memproduksi film-film berkualitas dengan karakter religius dan mengembangkan nilai-nilai kebangsaan. (Achmad Mukafi Niam)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua