Sejarah peradaban Islam juga mengenal dunia hiburan sejak lama, mulai dari musik, syair, dan unsur kesenian lainnya. (Ilustrasi: artzest.org)
Dunia seni dipandang sebelah mata oleh banyak ulama. Tidak sedikit dari mereka yang mengharamkannya dan ada pula yang membolehkannya. Yang terakhir mengibaratkan seni dengan sebuah wadah. Kalau isinya baik, bisa dikonsumsi. Kalau isinya bahaya, jangan.
Pada Juli 2021, Hala Shiha artis Mesir dalam Instagramnya mempermasalahkan film yang dibintanginya, “Mush Ana” (bukan saya).
Dia menyatakan bertaubat dan meminta agar yang terlibat dalam film itu bertaubat karena bahaya fitnah yang diakibatkan. Pernyataan sang artis mengundang respons seputar hukum film, apakah haram sehingga dia harus bertaubat. Majelis Fatwa Mesir mengatakan bahwa dunia akting adalah profesi seperti profesi pada umumnya. Ia bisa untuk kebajikan atau keburukan. Bisa untuk menyampaikan pesan yang baik dengan cara yang baik atau sebaliknya. Materi drama bukanlah kebohongan karena ia adalah cerita (karya sastra). Dunia akting pada dasarnya halal. Hukum asal ini berubah manakala pesan atau materi drama mengandung pesan yang buruk dan tampilan yang mengumbar sensualitas.
Demikian halnya dengan lagu dan musik, Majelis Fatwa Mesir mengatakan bahwa keduanya mengandung lirik dan arti. Jika keduanya baik, maka tidak masalah. Jika sebaliknya, terlarang. Jika ia berisi ungkapan dan ekspresi yang baik, tidak masalah mendengarkannya. Jika sebaliknya, mendorong orang untuk berbuat dosa (mengeksplorasi syahwat), maka terlarang. Atau mengandung perkataan yang hanya layak diucapkan oleh pasangan suami-istri (porno), maka tertolak (m.elwatannews.com).
Dunia seni dan hiburan telah ada pada zaman Rasulullah. Ada beberapa hadits yang menunjukkannya, seperti hadits riwayat Imam al-Bukhari bahwa ‘Aisyah berkata, “Abu Bakar masuk dan bersama saya 2 pelayan perempuan (jariyah) Anshar yang sedang menyanyikan apa yang beredar di kalangan Anshar pada hari Bu’at (perang terakhir antara suku Auz dan Khazraj).” ‘Aisyah berkata, “Keduanya bukan penyanyi,” dan berkata Abu Bakar, “Apakah ada seruling setan di rumah Rasulullah saw?” (Abu Bakar menyamakan nyanyian dengan suara seruling Setan yang seharusnya dilarang). Rasulullah berkata, “(Biarkan) wahai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya dan sekarang hari raya kita.”
Dalam hadits lain riwayat Tirmidzi, Baridah berkata, “Sepulangnya Rasulullah dari salah satu perang, datang seorang budak perempuan hitam dan berkata, “Ya Rasulullah aku bernazar jika engkau dipulangkan oleh Allah dalam keadaan selamat, maka aku akan menabuh rebana dan bernyanyi”. Rasulullah berkata, “Jika itu nazarmu, tabuhlah. Jika tidak, jangan!” Maka dia menabuhnya dan masuklah Abu Bakar sedang dia sedang menabuh, masuklah Ali sedang dia menabuh, masuklah Utsman sedang dia menabuh, hingga datang Umar dan dia pun langsung menarik rebana ke bawahnya dan mendudukinya. Rasulullah berkata, “Setan takut padamu ya Umar. Saya tadi duduk dan dia menabuh rebana. Abu Bakar masuk sedang dia demikian. Demikian pula saat Ali dan Utsman masuk hingga kamu masuk dan dia langsung menjauhkan rebana”. Kedua hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah tidak masalah dengan lantunan lagu dan tabuhan alat musik.
Dalam Channel Youtube al-mukhtalaf alaih, Ibrahim Isa, jurnalis senior Mesir yang banyak mengundang budayawan Arab, menyebutkan banyak riwayat tentang keberadaan seni hiburan dan musik dalam sejarah peradaban Islam. Di antaranya hadits riwayat Ibn Majah dengan sanad sahih yang mengatakan bahwa para pelayan wanita menabuh rebana di depan lelaki di gang-gang kota Madinah di masa Nabi dan Nabi mendukungnya (aqarra); juga hadits Sirin, pelayan wanita Hasan bin Thabit, saudari Maria al-Qibtiyyah, menyanyikan lagu dengan kecapi (‘awd) di hadapan para sahabat di mana Rasulullah lewat di depannya dan Nabi pun tersenyum dan berkata “tidak apa-apa InsyaAllah”; pada saat penaklukan Khurasan (Afganistan dan sekitarnya) pada masa khalifah Usman bin Affan, Abdullah bin ‘Amir bin Kariz, sang panglima, mengirim para pelayan wanita (budak/jawari) ke Madinah. Mereka bermain gong (sanuj) di hari Jumat dan disaksikan oleh banyak orang. Pada zaman dahulu pernah suara pertunjukan musik sampai ke majelis ilmu para ulama sehingga al-Hafidz bin Tahir meriwayatkannya dalam bahasan tentang mendengarkan musik (sima’) kisah pelayan-pelayan wanita yang nyanyian dan suara musiknya terdengar oleh Sa’id bin Jabir. Juga kisah Mu’awiyah (pendiri dinasti Umayyah) yang datang kepadanya Badih, budak Ibn Ja’far, yang bernyanyi dengan kecapi hingga Mu’awiyah sangat terhibur hingga muncul adagium “setiap ada orang mulia ada hiburan” (kull karimin tarub). Pada masa dinasti Abbasiyyah, dunia lagu dan musik maju pesat. Majlis Harun al-Rashid dipenuhi dengan aneka gelaran seni.
Harun al-Rasyid bahkan memerintahkan Abu al-Faraj al-Ishfahani untuk mendokumentasikan aneka lagu dan musik pada kitabnya al-Aghani. Dunia musik juga maju pesat pada masa pemerintahan Sultan Otoman ‘Abd al-Hamid. Saat terdapat pelbagai genre musik untuk militer, agama, rakyat umum dan kaum sufi. Saat itu bertebaran sekolah musik seperti Maulawy Hana untuk pendidikan musik sufi.
Dunia musik tidak pernah sepi mengisi perjalanan peradaban Islam. Ia adalah karya budaya yang tidak terpisah dari kehidupan umat Islam di mana pun. Para filsuf muslim seperti al-Kindi (801-873M), al-Farabi (872-950M) dan Ibn Sina (980-1037M) juga adalah musisi dan pelestari lagu. Tidak heran jika di negara kita pun tokoh nasional dan agama, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat memimpin NU mendukung Setiawan Djodi untuk menggelar pentas musik sebagai media dakwah dan transformasi sosial. Djodi, Iwan Fals, WS Rendra, dan kampiun seni lainnya pun menggelar konser Kantata Taqwa pada 23 Juni 1990. Diawali kumandang Isya oleh Muammar ZA di atas panggung, konser pun berjalan. Gus Maksum, pendiri perguruan pencak silat Pagar Nusa hadir dan mendampingi para seniman tampil di hadapan massa yang berjubel. Demikianlah, musik dan lagu akrab menyertai kehidupan manusia di mana pun dan kapan pun.
Achmad Murtafi Haris, DosenUIN Sunan Ampel Surabaya