Opini

Gaya Hidup Pemuka Agama dan Psikologi Keuangan Umat

Rabu, 13 November 2024 | 18:00 WIB

Gaya Hidup Pemuka Agama dan Psikologi Keuangan Umat

Ilustrasi keuangan (Frepik)

Gaya hidup mewah pemuka agama sering menjadi topik kontroversial dan menimbulkan perdebatan tentang kesenjangan antara ajaran agama yang mengutamakan kesederhanaan dan pengamalan ajaran agama itu sendiri. Beberapa pemuka agama atau tokoh religius yang dikenal menjalani kehidupan mewah telah menjadi sorotan media, baik di kalangan umatnya maupun di luar kelompok mereka. 


Kadatangan Paus Fransiskus di Indonesia beberapa waktu lalu seakan menampar seluruh pejabat dan pemuka agama yang seringkali memperlihatkan gaya hidup hedonisme dan berlebihan. Beliau datang ke Indonesia dengan pesawat komersial. Menjalankan aktifitas kunjungan kenegaraan dengan menggunakan Toyota Kijang Innova Zenix. Alasannya sangat sederhana. Dia ingin menggunakan mobil yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia.


Ia juga tidak menginap di Hotel mewah sebagaimana dilakukan pejabat-pejabat negara lainnya. Ia memilih tidur di Kadutaan Besar Vatikan di Indonesia.


Selain itu, ada pidatonya yang sangat menarik. Bisa jadi ia bermaksud memberi nasehat kepada organisasi keagamaan di Indonesia soal konsesi tambang. “Kekayaan sejati dari sebuah negara bukan sumber daya alam, melainkan kehidupan yang harmonis dan bebas konflik di tengah keberagaman”, ungkapnya. 


"Jika benar kalian adalah tuan rumah tambang emas terbesar di dunia, ketahuilah bahwa harta yang paling berharga adalah kemauan agar perbedaan tidak menjadi alasan untuk bertikai, tetapi diselaraskan dalam kerukunan dan rasa saling menghormati," kata Paus Fransiskus dalam sambutannya.


Paus Fransiskus, yang dikenal dengan sikapnya yang sederhana dan penolakan terhadap kemewahan, sering mengkritik gaya hidup mewah yang dipraktikkan oleh beberapa pemimpin gereja sebagaimana dalam “Pope Francis's New Vatican, New Style: An Insider's Guide" oleh Robert Mickens, The Tablet” (2013). Dalam berbagai pernyataan dan doktrin, ia menyerukan gereja untuk lebih fokus pada pelayanan kepada orang miskin dan marjinal. Namun, meskipun Paus sendiri mempraktikkan kesederhanaan, beberapa tokoh gereja lainnya di Vatikan dan luar negeri tetap menunjukkan gaya hidup mewah yang kontras dengan ajaran ini.


Gaya Hidup Pemuka Agama
Buku "PreachersNSneakers: Authenticity in the Age of Influence" oleh Ben Kirby (2020) mengungkap skandal gereja dan kekayaan pemuka agama. Sejumlah pemuka agama dalam berbagai denominasi Kristen, Katolik, dan bahkan di luar agama Kristen, telah terlibat dalam skandal kekayaan dan gaya hidup mewah yang mencolok. 


Misalnya, di Amerika Serikat, beberapa pendeta televisi atau pemimpin gereja megachurch seperti Creflo Dollar dan Joel Osteen mendapat kritik karena memiliki rumah mewah, pesawat pribadi, dan gaya hidup yang dianggap bertentangan dengan ajaran Kristiani tentang kerendahan hati Ben Kirby (2020).


Skandal kekayaan beberapa tokoh tinggi dalam Gereja Katolik, seperti kardinal dan uskup, seringkali mendapat sorotan terkait gaya hidup mereka yang mewah. Misalnya, kardinal yang terlibat dalam kasus korupsi atau penyalahgunaan dana gereja, yang kemudian diketahui memiliki properti mewah atau koleksi barang berharga seperti yang dibeberkan dalam "The Vatican's Secret Archives" oleh Greg Burke, Vatican Insider (2015).


Gaya hidup mewah juga terjadi dalam beberapa kelompok Buddhis, terutama di negara-negara seperti Thailand dan Myanmar, di mana beberapa pemimpin agama memiliki rumah besar, mobil mewah, dan terlibat dalam aktivitas yang tidak sesuai dengan ajaran Buddha tentang detasemen dari materi dan hidup sederhana ungkap Michael Jerryson (2015) dalam "Buddhism and Materialism: The Influence of Consumer Culture on Buddhist Monasteries".


Pemuka Agama Islam juga tidak terlepas dari perbincangan gaya hidup mewah. Di beberapa negara mayoritas Muslim, terdapat pula pemuka agama atau tokoh keagamaan yang menjalani gaya hidup mewah. Beberapa ulama atau tokoh agama besar memiliki rumah mewah dan kendaraan yang mewah, yang seringkali dikritik oleh publik yang mengharapkan mereka menghidupi ajaran Islam yang lebih sederhana dan bersahaja hal tersebut dikritik oleh Dr. Muhammad al-Basha (2017) "The State of the Muslim Ummah".


Psikologi Keuangan Umat

Teknologi dan media sosial mengantarkan kita untuk mengetahui berbagai kehidupan seseorang. Mulai dari selebriti, pejabat negeri hingga pemuka agama. Media sosial tidak hanya dimanfaatkan oleh selebriti, pejabat negara dan politikus. Pemuka agama dalam menyampaikan dakwah dan ajaran agama memanfaatkan media sosial.


Oleh karenanya, pada saat yang sama. Tidak jarang ia mempertontonkan gaya hidupnya, mulai dari pakaian, aksesoris hingga kendaraan yang ia pakai. Saya garis bawahi, ada yang secara sadar ada juga yang tidak. Begitu pula kepada umat atau jamaahnya. Ada yang secara sadar mengikuti gaya hidup sang pemuka agama, ada juga yang tidak.


Fenomena ini, meskipun tidak banyak. Tapi mempengaruhi psikologi keuangan jamaah atau gaya hidup umat yang tidak bijak yang cenderung hedonisme. Psikologi keuangan ini, baik secara langsung atau tidak langsung bisa mempengaruhi tata keuangan jamaah yang lain.


Psikologi keuangan umat dan gaya hidup mewah pemuka agama adalah fenomena yang melibatkan faktor psikologis, sosial, dan ekonomi yang saling berkaitan, khususnya terkait dengan bagaimana umat memandang dan menanggapi gaya hidup pemuka agama yang mewah. 


Dalam banyak tradisi agama, termasuk Islam, ada ajaran tentang pentingnya hidup sederhana, menahan hawa nafsu, dan mengutamakan kesejahteraan sosial dan spiritual. Namun, kenyataannya, gaya hidup mewah sebagian pemuka agama seringkali bertentangan dengan ajaran ini, yang memunculkan berbagai reaksi psikologis dan perilaku dari umat.


Umat yang melihat gaya hidup mewah pemuka agama mungkin merasa bahwa jika mereka mengikuti pola hidup atau cara berpikir yang sama, mereka juga akan mendapatkan keberkahan yang setara. Ini menciptakan siklus positif reinforcement di mana umat mengasosiasikan keberhasilan duniawi dengan ketaatan agama jelas Charles Richards (2012) "The Psychology of Wealth: Understand Your Relationship with Money and Achieve Prosperity".


Tekanan sosial (social pressure) sangat kuat, di mana umat merasa bahwa mereka perlu menyesuaikan gaya hidup mereka dengan standar yang ditunjukkan oleh pemuka agama mereka ungkap Michael Argyle (2017) dalam "The Social Psychology of Religion". Hal ini mendorong mereka untuk mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak selalu mereka butuhkan, seperti membeli barang-barang mewah, sebagai cara untuk meningkatkan status sosial dan kedekatan dengan pemuka agama tersebut.


Kehidupan yang mewah sering kali dihubungkan dengan hedonisme—keinginan untuk menikmati kehidupan dan materi. Beberapa umat mungkin melihat gaya hidup mewah pemuka agama sebagai simbol dari kebebasan dan kenyamanan hidup yang mereka inginkan. Dalam masyarakat modern, di mana konsumerisme mendominasi, banyak individu yang terpapar pada iklan dan media yang menggambarkan kemewahan sebagai sesuatu yang harus dicapai untuk merasa puas atau bahagia.


Menurut Barry Schwartz (2004) dalam "The Paradox of Choice: Why More Is Less" bahwa terkadang, umat mungkin mengembangkan orientasi hedonistik yang membuat mereka fokus pada pencapaian kesenangan duniawi, dan dalam hal ini, mereka mungkin meniru gaya hidup pemuka agama yang hidup mewah. Perasaan bahwa "kebahagiaan" datang dari memiliki barang-barang mewah dan menikmati kenyamanan bisa mengarah pada pengeluaran berlebihan dan perilaku konsumtif.


Perlu direnungkan, bahwa pada saat bersamaan, dakwah dan gaya hidup pemuka agama akan mempengaruhi jamaah. Antara dakwah atau gaya hidup pemuka agama yang memiliki dominasi dalam mempengaruhi jamaah.


Gaya hidup pemuka agama yang berlebihan dan cenderung hedon perlu menjadi bahan renungan. Apakah itu ditangkap secara positif atau negatif oleh jamaah? Misalnya, karena melihat gaya hidup pemuka agamanya, jamaah mengambil jalan-jalan pintas demi untuk menyesuaikan dengan gaya hidup panutannya.


Jalan-jalan pintas ini bisa mengarah pada perbuatan melawan hukum dan merugikan orang lain. Bahkan terjerat pada pinjaman online (pinjol). Fenomena gaya hidup pemuka agama sedikit banyaknya mempengaruhi psikologi keuangan jamaah. Karena ada semacam keinginan untuk identik dengan panutannya. Termasuk dalam gaya hidup yang memiliki korelasi langsung dengan tata kelola keuangan.


Refleksi Gaya Hidup Gus Mus
Gus Mus atau KH Ahmad Mustofa Bisri (Mustasyar PBNU) adalah sosok yang dihormati di Indonesia bukan hanya karena ilmunya sebagai seorang ulama, tetapi juga karena kesederhanaan hidupnya dan cara pandangnya yang moderat, humanis, serta penuh kasih sayang.


Gus Mus tinggal di lingkungan pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, pesantren yang didirikan oleh ayahnya, KH Bisri Mustofa. Meskipun sebagai pengasuh pesantren yang terkenal, Gus Mus memilih hidup sederhana dan bersahaja. Rumahnya di pesantren bukanlah rumah besar yang megah, melainkan rumah sederhana seperti halnya rumah-rumah lainnya di lingkungan pesantren.


Beliau hidup seperti santri lainnya—makan bersama, berjalan kaki di sekitar lingkungan pesantren, dan berinteraksi dengan santri dengan cara yang sangat akrab dan bersahabat. Gus Mus sering terlihat duduk di warung sederhana di sekitar pesantren atau di serambi rumahnya, berbincang dengan santri, tamu, atau masyarakat setempat. Kesederhanaan ini menunjukkan bahwa ia lebih memilih gaya hidup yang tidak berjarak dengan umat dan santrinya, mencerminkan kerendahan hati dan keterbukaan.


Gus Mus menghindari segala bentuk kemewahan. Dalam kesehariannya, ia mengenakan pakaian sederhana berupa sarung dan baju koko atau kemeja biasa. Gus Mus tidak tertarik pada simbol-simbol kemewahan atau kemegahan yang sering diidentikkan dengan kedudukan seseorang, meskipun ia memiliki posisi yang sangat dihormati di dunia Islam Indonesia. Misalnya, mobil yang digunakannya pun sederhana, jauh dari kesan mewah yang mungkin diharapkan dari seorang ulama besar.


Di saat banyak ulama mempertontonkan kemewahan melalui kendaraannya. Gus Mus memilih dengan memberi teladan kesederhanaan kepada jamaahnya. Saya sebagai penulis, baru-baru ini mendengarkan cerita kesederhanaan Gus Mus soal kendaraan yang dimiliki.


Kabarnya, dibanding dengan ulama yang lain. Kendaraan Gus Mus lah yang paling sederhana jika menghadiri berbagai kegiatan di pesantren atau kegiatan Nahdlatul Ulama (NU). Padahal bukan karena beliau tidak mampu membelinya. Kabarnya, dari keluarga juga sempat ditawari agar kendaraan beliau diganti. Tetapi, beliau tetap dengan kesederhanaannya.


Perilaku kesederhanaan yang diteladankan oleh Gus Mus sangat penting untuk psikologi keuangan umat dan jamaah. Dalam psikologi keuangan, penting pengendalian diri yang diteladankan oleh Gus Mus. Kesuksesan finansial sering kali membutuhkan waktu dan kesabaran. Kesuksesan finansial seharusnya tidak hanya diukur dari jumlah uang yang dimiliki, tetapi juga dari kualitas hidup, hubungan, dan pencapaian pribadi.


Fenomena umat yang mengikuti gaya hidup mewah pemuka agama dapat dilihat melalui berbagai lensa psikologis, mulai dari kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan sosial hingga pengaruh materialisme dan hedonisme. Meskipun ajaran agama Islam secara tegas mengutamakan kesederhanaan, faktor-faktor psikologis seperti konformitas sosial, tekanan untuk meniru, dan pengelolaan keuangan yang buruk dapat membuat umat terpengaruh oleh gaya hidup mewah yang ditampilkan oleh pemuka agama mereka. Mengedukasi umat tentang pengelolaan keuangan yang bijak dan mengembalikan fokus pada nilai-nilai spiritual yang lebih dalam bisa membantu mengatasi fenomena ini.


Muhammad Aras Prabowo, Ketua Program Studi Akuntansi UNUSIA, Pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor