Islam dan Korelasinya dengan Ideologi Lain (1): Kapitalisme
Sabtu, 29 Januari 2022 | 22:00 WIB
Islam hampir selalu bersinggungan dengan ideologi-ideologi lain, termasuk kapitalisme dan sosialisme.
Suatu ketika saat berjalan di jalan Hussein Kairo, di depan kampus Universitas al-Azhar Mesir pada awal 1990-an, lewat truk penjara pengangkut tahanan politik. Keras terdengar teriakan dari dalam truk yel-yel: “la al-sharqiyyah wa la al-gharbiyyan” berkali-kali. Yang artinya: “tidak timur dan tidak barat”. Sebuah seruan agar tidak ikut ideologi atau memblok ke Timur: Uni Soviet, atau ke Barat: Amerika. Sebagai gantinya, mereka mengajak kepada Islam sebagai ideologi negara. Slogan ini acap dikumandangkan oleh kelompok Islam ideologis, apakah dari organisasi al-Ikhwan al-Muslimun atau dari lainnya. Tarik-menarik antarpenganut ideologi modern bahwa ajaran Islam berpihak pada dirinya tak ayal terjadi bahkan hingga kini saat komunisme telah resmi tumbang pada 1991.
Dalam hal ini, ada pandangan yang menggiring Islam pada blok Barat dan mengatakan bahwa ajaran Islam sebenarnya adalah akar kapitalisme Barat. Ini diawali dengan pengakuan dan penghargaan Islam atas kepemilikan individu dan banyaknya materi yang ada dalam fiqih muamalat, seperti qard (pinjaman/loan), wadi’ah (deposito), ijarah (sewa), hibah (hadiah/grant), hiwalah (transfer), mudharabah (bagi hasil), dan lainnya yang berlaku hingga kini. Suatu hal yang mendorong berkembangnya sektor swasta sebagai soko guru perekonomian kapitalis. Berbeda dari sistem sosialis yang menjadikan koperasi sebagai soko guru perekonomian.
Pengakuan Islam terhadap kepemilikan individu bahkan bagi perempuan, seperti tertuang dalam QS an-Nisa’: 7: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”, adalah nilai dasar yang dijunjung kapitalisme. Berbeda dari komunisme yang membatasi kepemilikan individu apalagi atas tanah, maka Islam mengakui dan membelanya.
Berkembangnya dunia usaha terutama oleh swasta, bukan negara, menciptakan sistem ekonomi pasar yang diagungkan kapitalisme. Sistem yang memberikan kepercayaan kepada pasar dalam menentukan harga komoditas tanpa intervensi pemerintah. Persediaan barang berlebih akan menjadikan harga turun. Sebaliknya, persediaan terbatas akan menjadikan harga naik manakala permintaan naik. Inilah hukum supply and demand yang dipercaya mampu mengendalikan harga secara alamiah. Tidak perlu intervensi pemerintah untuk menurunkan harga. Pemerintah cukup melarang monopoli dan mendukung iklim persaingan usaha.
Meningginya harga komoditas tertentu diharapkan mendorong pedagang lain untuk berjualan barang tersebut, mumpung harganya tinggi. Ketika pesaing masuk tentu dia akan menurunkan harga agar cepat laku. Yang berjualan mahal pun akan menurunkan harga karena takut tidak laku. Di sinilah muncul adagium: “persaingan sehat menyejahterakan rakyat”. Persaingan sehat akan menurunkan harga yang menguntungkan masyarakat.
Penolakan Rasulullah Muhammad untuk melakukan intervensi ketika ada keluhan tingginya harga, sontak memunculkan klaim bahwa Islam adalah kapitalisme. Hal ini diperkuat dengan hadits Anas bin Malik yang berkata: “Mahal harga di Madinah pada masa Rasulullah saw, maka berkata manusia, ‘Wahai Rasulullah, harga telah mahal maka tetapkanlah harga untuk kita!’ Rasulullah saw pun berkata, ‘Allahlah penentu harga, yang memegang (al-qabidl), yang melepas (al-basit), yang memberi rezeki. Dan sesungguhnya aku berharap berjumpa Allah tanpa ada seseorang yang menuntut kerugian kepadaku dalam masalah nyawa dan harta” (HR Lima selain an-Nasa’i). Sebagai pemimpin yang berhak mengambil kebijakan untuk kemaslahatan publik, Rasulullah menolak intervensi harga dan memasrahkannya kepada mekanisme pasar. Rasulullah tidak ingin pedagang dirugikan dengan kebijakan penurunan harga. Syekh Utsaimini dalam alathar.net menerangkan bahwa Rasulullah mengembalikan harga kepada Allah lantaran bahwa bisa jadi harga naik karena populasi penduduk bertambah (al-numuw) dan bisa jadi hasil panen atau produksi menurun sehingga harga naik. Siapakah yang menjadikan penduduk banyak dan menurunkan hasil panen? Adalah Allah yang maha menghidupkan, memberi dan menahan rezeki.
Pernyataan mengembalikan harga kepada Allah sama halnya dengan konsep invisible hand Adam Smith yang mengatakan bahwa kemakmuran bisa dicapai tanpa melalui intervensi pemerintah tapi melalui mekanisme pasar yang tidak tampak (invisible hand) tapi ada. Yaitu peluang keuntungan yang akan dimanfaatkan pedagang manakala terjadi kelangkaan barang yang dicari pembeli di pasar.
Dukungan Islam terhadap perdagangan yang merupakan soko guru perekonomian kapitalis tertuang dalam al-Baqarah: 275: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”; al-Nisa:29: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu..”. Juga hadits dari Nu’aim bin Abdirrahman bahwa Rasulullah berkata: “Hendaknya kamu sekalian berdagang karena 9/10 rezeki ada di sana”. Dalil-dalil ini mendorong berkembangnya perdagangan di kalangan umat Islam dari generasi sahabat hingga abad 12. Antara abad itu, pada masa kejayaan Islam, dinasti Umayyah dan Abbasiyah, terdapat banyak pedagang Muslim kelas dunia yang menguasai jalur sutra darat dan laut. Sistem transaksi jual beli jarak jauh pun sudah dikenal oleh pedagang Muslim.
Maraknya perdagangan saat itu mendorong munculnya konglomerat Muslim yang disebut karimi. Subhi Y. Labib (1969) dalam Capitalism in Medieval Islam seperti dikutip dari Wikipedia menyebut antara abad 11 – 13 terdapat sekitar 50 karimi yang menguasai perdagangan global. Mereka berpenghasilan dari 100 ribu hingga 10 juta dinar emas. Mereka berasal dari Yaman, Mesir, dan India. Tidak hanya mendominasi dunia bisnis, mereka juga terlibat dalam pendanaan untuk kepentingan politik. Mereka menguasai laut Mediteranian, laut Merah, samudera Hindia, hingga laut Cina. Mereka memburu emas di Sub Sahara Afrika; mendanai proyek bisnis untuk pengembangan modal; dan membangun bank untuk pinjaman dan simpanan. Demikianlah, aktivitas mereka sangat mirip dengan pengusaha besar saat ini. Banyak yang meyakini bahwa kemajuan ekonomi kapitalis saat ini adalah kelanjutan dari kemajuan perekonomian Islam pada masa jayanya.
Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya