Opini

Ketimpangan Ekonomi, Tantangan Presiden Selanjutnya

Kamis, 21 Februari 2019 | 14:30 WIB

Ketimpangan Ekonomi, Tantangan Presiden Selanjutnya

(ILLUSTRATION: DURANTELALLERA/SHUTTERSTOCK)

Ahmad Rozali


Dalam perdebatan Calon Presiden beberapa waktu lalu dua kandidat presiden, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, sama menyoal masalah ketimpangan ekonomi dan kepemilikan lahan. Prabowo mengatakan "salah satu masalah mendasar dalam perekonomian Indonesia, adalah disparitas, di mana segelintir orang kurang dari satu persen menguasai lebih setengah kekayaan kita". Jokowi juga mengiayakan dengan mencontohkan penguasaan lahan Prabowo yang cukup besar "220 ribu hektar di Kaltim dan 120 ribu hektar di Aceh Tengah". 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Terlepas dari konteks politiknya, perdebatan ini menarik karena relevansinya begitu tinggi dengan kondisi di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik Indonesia menunjukkan sejak tahun 1976 hingga 2018, tren ketimpangan ekonomi di tanah air cenderung meningkat. Laporan ini dipertajam oleh temuan World Bank pada tahun 2015 yang menunjukkan bahwa sekalipun sejak tahun 2000  pertumbuhan ekonomi terjadi sangat pesat, pertumbuhan tersebut lebih banyak dinikmati oleh 20 persen masyarakat terkaya saja. 

Melacak penyebab ketimpangan

Mengapa ketimpangan ekonomi terjadi demikian tinggi di Indonesia? Mantan menteri keuangan Muhamad Chatib Basri (2018), menganalisa dan mengumpulkan beberapa hal yang diduga menjadi penyebab peningkatan ketimpangan di Indonesia, yakni: 

  1. Peningkatan penggunaan teknologi yang membutuhkan keahlian khusus yang sayangnya hanya dimiliki oleh sedikit tenaga kerja Indonesia;
  2. Pengaruh UU ketenagakerjaan, seperti penetapan upah minimum, yang satu sisi bisa meningkatkan kesejahteraan pekerja, tetapi di sisi lain akan meningkatkan angka pengangguran, karena perusahaan ingin meringankan beban upah pekerja yang dilakukan dengan mengurangi jumlah pekerja
  3. Kemudahan mengakses pasar uang yang hanya dapat dimanfaatkan oleh  kelompok kaya dan pada akhirnya hanya  menguntungkan kelompok ini saja;
  4. Peningkatan harga komoditas utama seperti batu bara yang keuntungannya cuma dirasakan kelompok ekonomi teratas;
  5. Ketimpangan akses pada pendidikan, kesehatan, pelayanan financial dan infrastruktur;
  6. Kualitas infrastruktur yang buruk;
  7. Meningkatnya populasi penduduk berusia tua dalam demografi Indonesia; 
  8. Pengaruh korupsi yang hanya dinikmati oleh kelompok terkaya di Indonesia.

Jika disederhanakan kira-kira bunyinya begini; peningkatan ketimpangan disebabkan oleh karena peningkatan kesejahteraan masyarakat berpendapatan tinggi melesat jauh lebih cepat dibandingkan peningkatan kesejahteraan yang dinikmati oleh masyarakat kelompok pendapatan rendah. 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Kesimpulan itu didukung Data Survey Sosial Ekonomi Nasional sepanjang tahun 1990 hingga 2017 yang menunjukkan pertumbuhan konsumsi 10 persen kelompok terkaya meningkat 47 persen lebih tinggi dari pertumbuhan konsumsi 1 persen kelompok termiskin. Hal itu menunjukkan ‘kue’ ekonomi lebih banyak dinikmati oleh kelompok terkaya. 

Menurut Direktur Smeru Research Institute, Asep Suryahadi, peningkatan ketimpangan ekonomi di Indonesia dalam kurun 20 tahun belakangan ini merupakan dampak dari pembangunan struktural yang yang lebih banyak dinikmati oleh kelompok ekonomi teratas. Kesimpulan tersebut lahir dari studi dekomposisi peningkatan ketimpangan tahun 1992 hingga 2011. Menurutnya sebesar 84 persen peningkatan ketimpangan di Indonesia pada periode ini dipengaruhi oleh empat faktor struktural, yakni  ketimpangan capaian pendidikan, pergeseran sektor ekonomi dominan dari pertanian menjadi jasa, semakin banyak orang yang tinggal di perkotaan, dan ketidakmerataan kesempatan bekerja di sektor formal.

Konsekuensi dan solusi

Sebagai konsekuensi, ketimpangan ekonomi ini setidaknya melahirkan tiga hal buruk: Pertama peningkatan ketimpangan dalam kurun waktu tertentu akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Kedua, Ia juga dapat mengurangi kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan angka kemiskinan. Ketiga, ketimpangan juga dapat menyeret kita pada permasalahan sosial yang tinggi. Yang terakhir ini berarti jurang pendapatan dan kekayaan yang semakin lebar berpotensi melahirkan ketegangan sosial dan ketidakrukunan yang bisa menjadi ‘bahan bakar’ konflik sosial. 

Mengingat peningkatan ketimpangan diprediksikan masih akan terus terjadi dalam beberapa waktu ke depan, Asep menekankan perlunya percepatan proses transformasi sosial untuk mencapai tingkat ketimpangan yang rendah dengan pertumbuhan ekonomi yang tetap tinggi. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan pelayanan pendidikan, peningkatan pembangunan perindustrian, memfasilitasi  formalisasi aktivitas-aktivitas ekonomi dan pengembangan kesempatan ekonomi di desa untuk mengurangi disparitas dengan kota. 

Untuk itu, siapapun yang akan terpilih menjadi Presiden setelah pemilu 2019 harus memperhatikan masalah ketimpangan ini. Sebab sebagaimana prediksi di atas, trennya kemungkinan akan mengalami peningkatan. Sehingga apa bila tidak diantisipasi dengan pendekatan program yang tepat sasaran dikhawatirkan akan menimbulkan konflik sosial dalam skala besar. 


Redaktur NU Online 



Terkait