Awal munculnya gagasan Kaligrafi Kontemporer masuk ke dalam MTQ, sebetulnya, bermula dari obrolan dengan Mas Syaiful Adnan saat nunggu pembukaan Pameran Lukisan Islami di Gedung Planetarium TIM Jakarta, akhir tahun 1980an.
"Mas Didin, apakah bisa memperjuangkan kaligrafi lukis ke MTQ, khusus untuk para pelukis biar mereka bisa ikut MTQ?" Rasanya waktu itu belum terdengar kata "kaligrafi kontemporer".
Yang banyak disebut justru "kaligrafi lukis" atau "lukisan kaligrafi" atau "lukisan kaligrafi Islami" atau "seni lukis kaligrafi Islam" yang mulai ngetren sejak diselenggarakannya Pameran Seni Lukis Islami pertama pada MTQNas XI/1979 di Semarang.
Pameran keduanya pada saat Muktamar Mediamasa Islam Sedunia tahun 1981 di Gedung JCC Senayan, Jakarta. Termasuk pemrakarsa kedua-duanya adalah Bapak Joop Ave, Dirjen/Mentri Parpostel yang luar biasa perhatian pada karya-karya lukisan bernuansa Islam.
Usulan Mas Syaiful itu mengusik pikiran saya. Rasanya betul juga karena sesungguhnya "perjalanan kaligrafi sendiri adalah perjalanan mencari gaya-gaya, perjalanan mencari mazhab-mazhab baru" seperti yang saya baca. Tapi yang terjadi di tahun '80an itu justru "permusuhan" yang sengit dan "peperangan" terbuka antara para khattat (kaligrafer) tradisional dengan pelukis kaligrafi.
Para khattat menuduh para pelukis telah "merusak tulisan", sebaliknya Syaiful yang mewakili para pelukis menyatakan bahwa "kaligrafi tidak hanya selesai pada huruf" tetapi harus dilukis. Ahmad Sadali sendiri yang kita anggap sebagai pelopor kehadiran Seni Lukis Kaligrafi Islami Indonesia malah bilang kepada saya, "Kaligrafi tidak boleh dipluntat-plintut-plentotkan yang menyebabkan kehilangan fungsi-fungsi keterbacaannya."
Rada aneh, saya yang seorang khattat murni tradisional waktu itu malah lebih senang membela pelukis. Saya katakan kepada kawan-kawan khattat yang keras ngototnya itu, "Kita justru harus belajar kepada pelukis."
Waktu itu saya terpencil sendirian karena mencoba sendirian dengan para pelukis Syaiful Adnan, A.D. Pirous, Amang Rahman Zubair, Amri Yahya (Pak Amang dan Pak Amri malah pernah malam-malam ke rumah saya saat Festival Istiqlal), Hendra Buana, Yetmon Amier, Sayid Akram, Abay D. Subarna, Firdaus Alamhudi, Pak Arsono dan lain-lain.
Maka 3 tahun sejak MTQNas XVI/1991 di Yogya, tepatnya saat MTQNas XVII/1994 di Pekanbaru, soal kaligrafi kontemporer tersebut mulai aktif saya diskusikan dengan teman-teman. Banyak yang menyambut. Tapi tidak sedikit yang mengecam dan menolak bahkan menyatakan penentangannya, yaitu tadi, karena "dianggap merusak". Tapi saya maju terus, "karena ini demi Allah sangat baik" meniru jawaban Umar saat usulannya untuk mengumpulkan Al-Qur'an ditolak Abu Bakar.
Waktu itu saya ingat juga kata-kata Amri Yahya, "Kalau ingin maju, tutup mata tutup telinga!" Sampai 20 tahun kemudian, tepatnya pada MTQNas XXV/2014 di Batam, Kaligrafi Kontemporer diterima untuk dimusabaqahkan. Selama 20 tahun diperjuangkan, itu baru dikabulkan. Penantian lumayan panjang ya.
Saat mau usul itu saya mencari-cari kosakata yang pas untuk nama jenis lomba ini. Sudah ada istilah "lukisan kaligrafi" dan lomba "kaligrafi alternatif" waktu itu yang jadi pertimbangan. Yang jelas, trending topic dan obyeknya harus kaligrafi tetapi "kaligrafi yang berbeda", "kaligrafi yang lain", bukan kaligrafi murni tradisional seperti Naskhi, Tsulus, Farisi, Diwani, Diwani Jali, Riq'ah, dan Kufi yang sudah ada dalam tiga golongan lomba (Naskah, Hiasan Mushaf, dan Dekorasi) sebelumnya.
Akhirnya, saya menemukan konsep 5 gaya Kaligrafi Kontemporer (خط معاصر/خط حديث) menurut Prof. Ismail R Al-Faruqi dalam kitabnya Tahune Cultural Atlas of Islam, yaitu 1) Kontemporer Tradisional \ (معاصرتقليدى), mengacu kpd karya tokohnya sepertt. Said Al-Saggar, Muh. Ali Syakir, Ilham Al-Said, Emin Berin, dan Adil Al-Saggar, 2) Kontemporer Figural (معاصرشكلى), mengacu kepada karya tokohnya spt. Sayid Naquib Al-Attas dan Sadequain, 3) Kontemporer Ekspresionis (معاصرتعبيري), mengacu kpd karya tokohnya spt. Hassan Massoudy, Qutaiba Al-Syeikh Noury, dan Dhiya Al-Azawi, 4) Kontemporer Simbolis (معاصررمزى), mengacu kpd karya pelopornya antara lain Qutaiba Al-Syeikh Noury, dan
5) Kontemporer Abstrak (معاصرتجريدى), mengacu kpd karya tokohnya spt. Muhammad Ghani, Naja Al-Mahdawi, Muhammad Saber Fauzi, Hossen Zenderoudi, Kamal Boullata, Rashid Qoreishi, dan Al-Said Hassan Shakir. Jadi, yang kontemporer itu gaya tulisannya: KALIGRAFI KONTEMPORER (yang bisa diartikan "kaligrafi masakini" atau "kaligrafi baru"), bukan Seni Lukis Kontemporer.
Nah, gaya-gaya semacam ini sebetulnya sudah diamalkan di Indonesia, terutama sejak geger kehadiran "kaligrafi lukis" tahun 1980an. Beberapa karya dengan "mazhab individual" yang benar-benar khas dan berbeda, waktu itu, saya namai khat Syaifuli (karya khas Syaiful Adnan), khat Akrami (Sayid Akram), khat Amani (Amang Rahman), dan khat Pirousi (A.D. Pirous).
Masuknya Kaligrafi Kontemporer ke dalam lingkup MTQ disyaratkan harus dengan kisi-kisinya sebagai aturan dan kriteria penjurian dalam buku Pedoman Musabaqah Al-Qur'an LPTQ Nasional. Untuk itu, saya pun tanya sana-sini dan banyak konsultasi dengan para ahli seni rupa seperti Dr H Wahidin Loekman, MSn (alumni ITB), dan H AMY Datuk Garang (alumni ASRI Yogya). Hasilnya: 3 kriteria penilaian Kaligrafi Kontemporer, yaitu:
1) Unsur kaligrafi (anatomi huruf) mencakup: tingkat keterbacaan dan kesahihan khat, khat kontemporer tentunya (dengan nilai max. 30),
2) Unsur seni rupa (kreativitas dan kekayaan imajinasi) mencakup: orisinalitas dan inovasi, kekayaan desain dan tatawarna (unity, balance, harmony), dan kesesuaian tema gambar dengan konteks ayat (dengan nilai max. 50), dan
3) Sentuhan akhir (kesan keseluruhan) mencakup: tingkat kerapian dan tingkat ketuntasan karya (dengan nilai max. 20).
Kaligrafi Kontemporer di MTQ kini sudah berusia enam tahun. Masih terlalu "balita" untuk ukuran sebuah mazhab. Tidak mengherankan bila mendapat banyak kritikan terutama dari kalangan pelukis kampus seni rupa, sebagai karya-karya tidak bermutu, jumud-stagnan, selalu seragam dan membelenggu, begitu-begitu saja, kurang kreatif dan inovatif, dan terkesan tidak mengikuti perkembangan seni rupa.
Pandangan-pandangan tersebut benar semata. Hanya perlu dimaklumi penyebab kualitas estetis karya-karya Kaligrafi Kontemporer di MTQ baru sampai ke batas "mulai melangkah" dan belum memenuhi seluruh cita-cita ideal musabaqah.
Pertama, karena hampir 100% peserta hanyalah santri, pelajar, atau mahasiswa bukan dari sekolah/kampus seni rupa sehingga mereka berkarya tanpa tahu hukum-hukum seni lukis.
Kedua, hampir tidak adanya pelukis dari sekolah/kampus seni rupa yang ikut lomba (kecuali 1-2 orang) sehingga tidak ada kalangan ahli yang diharap dapat "memberi warna" kepada peserta lomba keseluruhan. Bukankah "janji suci" di awal, Musabaqah Kaligrafi Kontemporer ini diperuntukkan bagi para pelukis yang tidak kebagian tarung kaligrafi murni tradisional? Mana mereka?
Jika saja mereka yang mengisi, ceritanya akan lain, lombanya bakal tambah semarak.
Ketiga, akibat dari semuanya mayoritas peserta hanya berkarya dari meniru, memodivikasi, atau mengembangkan karya kawannya dan pelomba terdahulu. Gaya pilihan pun hanya 1-2 (misalnya figural yang dianggap lebih mudah) dan berbau-bau realis. Padahal ada lima gaya ditawarkan.
Keempat, kurangnya pengetahuan dan info teknik melukis yang benar oleh kebanyakan peserta.
Kekurangan-kekurangan ini adalah pelajaran. Jadi, tanggung jawab para ahli untuk memperbaikinya. Memberikan pendidikan melukis kepada para peserta MTQ.
Didin Sirojuddin AR, penulis adalah pengasuh Lembaga Kaligrafi (Lemka) dan pengajar pada Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah.