Untuk menuntaskan kurikulum itu, saya belajar dari pagi sampai sore di sekolah. Akibatnya, pikiran menjadi tidak fokus.
Peraturan pendidikan, apalagi yang dikeluarkan negara, sangat berpengaruh terhadap kualitas siswa yang dididik. Semakin bagus aturan yang dibuat, sesuai dengan kondisi masyarakat, kemungkinan besar akan menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Saya contohkan pengalaman ketika sekolah dulu. Waktu di pesantren, saya berhadapan dengan tiga kurikulum sekaligus: kurikulum Kementerian Pendidikan, kurikulum Kementerian Agama, dan kurikulum Pesantren. Untuk menuntaskan kurikulum itu, saya belajar dari pagi sampai sore di sekolah. Akibatnya, pikiran menjadi tidak fokus.
Melahap beragam disiplin ilmu dalam waktu yang singkat memang tidak mudah. Kalaupun bisa dihafal materi pelajarannya, itu pun hanya sebatas hafalan buat menjawab ujian, tidak ada pendalaman lebih lanjut. Pada waktu itu, tidak ada kata pilihan. Saya tidak dapat memilih materi mana yang harus didalami. Lagi-lagi penyebabnya karena aturan sekolah yang mengharuskan peserta didik untuk menyelesaikan tiga kurikulum sekaligus. Kalau tidak, yang menjadi taruhannya adalah kelulusan.
Misalnya, saya tidak menyukai pelajaran Matematika. Saya merasa bakat dan pilihan saya bukan di situ. Tapi karena harus menuntaskan semua kurikulum itu, mau tidak mau saya harus belajar itu, dan mengorbankan materi lain yang harusnya dapat didalami. Akhirnya yang terjadi, ilmu yang diperoleh menjadi serba tanggung. Ilmu yang disukai pun tidak dalam, tidak menguasai, dan nilainya pun kadang pas-pasan. Kalaupun siswa harus “dipaksa”mempelajari materi yang tidak terlalu disukainya, mestinya dibuat kurikulum yang lebih sederhana, fleksibel, dan kontekstual, sehingga mudah dipahami peserta didik.
Kementerian Pendidikan sebetulnya sudah menyadari betapa padat dan tidak efesiennya kurikulum di sekolah. Dalam sebuah modul yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan disebutkan materi yang ada dalam rancangan kurikulum saat ini sangat padat, sehingga tidak cukup waktu untuk melakukan pembelajaran yang mendalam dan sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Apalagi di masa pandemi seperti ini.
Dalam data yang dikeluarkan OECD tahun 2018, krisis pembelajaran di Indonesia semakin menguat di masa pandemi, dan belum mengarah pada perbaikan. Ada banyak siswa yang tidak mampu memahami bacaan sederhana ataupun menerapkan konsep matematika dasar.
Berangkat dari krisis pembelajaran tersebut, Kemendikbudristek di masa Nadiem Anwar Makarim mengeluarkan kebijakan untuk menyederhanakan kurikulum pendidikan yang terlalu padat tidak efesien. Kurikulum sebelumnya yang kurang fleksibel diubah menjadi lebih fleksibel. Kurikulum yang baru itu diistilahkan dengan Kurikulum Merdeka.
Dalam rilis yang disiarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem menyebutkan beberapa keunggulan Kurikulum Merdeka. Pertama, lebih sederhana dan mendalam, karena kurikulum ini akan fokus pada materi yang esensial dan pengembangan kompetensi peserta didik pada fasenya.
Kemudian, tenaga pendidik dan peserta didik akan lebih merdeka karena bagi peserta didik, tidak ada program peminatan di SMA, peserta didik memilih mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan aspirasinya. Sedangkan bagi guru, mereka akan mengajar sesuai tahapan capaian dan perkembangan peserta didik. Lalu sekolah memiliki wewenang untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik.
Keunggulan lain dari penerapan Kurikulum Merdeka ini adalah lebih relevan dan interaktif di mana pembelajaran melalui kegiatan proyek akan memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta didik untuk secara aktif mengeksplorasi isu-isu aktual, misalnya isu lingkungan, kesehatan, dan lainnya untuk mendukung pengembangan karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila.
Implementasi Kurikulum Merdeka ini didukung melalui penyediaan berbagai macam fasilitas. Seperti penyediaan perangkat ajar: buku teks dan bahan ajar pendukung. Pelatihan dan penyediaan sumber belajar guru, kepala sekolah, dan lain-lain. Misalnya, guru membentuk komunitas belajar untuk saling berbagi praktik baik dalam menerapkan Kurikulum Merdeka, baik di sekolah maupun di komunitasnya. Ada pula jaminan jam mengajar dan tunjangan profesi guru.
Kemudian, pada masa sebelumnya, teknologi digital belum digunakan secara sistematis untuk mendukung proses belajar guru melalui berbagai praktik baik. Saat ini, pemerintah meluncurkan aplikasi yang menyediakan berbagai referensi bagi guru untuk dapat terus mengembangkan praktik mengajar secara mandiri dan berbagi praktik baik.
Melalui platform Merdeka Mengajar, guru bisa mendapatkan pelatihan mandiri dan berkualitas, serta dapat mengaksesnya secara mandiri, kapan dan di manapun. Guru juga bisa berbagi karya kepada yang lain melalui platform ini.
Kebijakan pada mulanya dibuat untuk kebaikan bersama. Pembuat kebijakan di negara ini pasti mendiskusikan dengan banyak pakar sebelum membuat keputusan. Dalam konteks pendidikan, tentu kebijakan yang diputuskan sudah dipikirkan matang-matang. Kurikulum Merdeka memang tidaklah sempurna. Tapi paling tidak, kurikulum ini dapat menjawab beberapa masalah yang menjadi kendala sebelumnya, apalagi pada masa pandemi seperti ini.
Tantangan berikutnya adalah sejauh mana kurikulum merdeka bisa diterapkan di level bawah. Sering kali kebijakan yang bagus tidak berujung baik, karena ketidakmampuan sekolah untuk menerapkan kebijakan itu. Dengan kurikulum baru ini, sosialisasinya harus sampai pada akar rumput. Perlu dipastikan semua sekolah memahami inti dari aturan ini, sehingga mereka mampu menerapkannya dalam proses pembelajaran.
Hengki Ferdiansyah, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.