Opini

Mahbub Djunaidi, Kota, dan Imajinasi

Ahad, 5 Oktober 2025 | 23:24 WIB

Mahbub Djunaidi, Kota, dan Imajinasi

H. Mahbub Djunaidi (Foto: Isfandiary)

Banyak pengarang dalam karyanya meletakkan kota sebagai bagian tulisan, baik ingatan kenangan atau membayangkan kemungkinan yang terjadi. Filsuf kelahiran Aljazair yang kemudian tumbuh di Prancis, Albert Camus (1913-1960) salah satunya. Namun, Camus justru mengenang kota sebagai hal tragis. Kisah itu dapat kita temukan dalam kumpulan esainya berjudul Kota-kota tanpa Masa Lalu (Circa, 2019) hasil terjemahan David Setiawan.


Di dalam buku itu kita dapat temukan esai berjudul “Sebuah Panduan Singkat ke Kota-Kota Masa Lalu”. Mula-mula ada kenangan sublim yang ditulis oleh Camus tatkala mengingat tanah kelahirannya, Aljazair. Tulisnya: “Ya, yang kucintai dari kota-kota di Aljazair bukanlah dengan memisahkan diri dari para penghuninya.” Kutipan itu berada pada bagian dua paragraf terakhir, setelah ia mengisahkan kota-kota di Italia dan Spanyol.


Sesudah mengenang Aljazair dari ingatan kota, pernyataan tragis kemudian ditulis Camus. Tulisannya begini: “Lalu malam akbar Afrika dimulai, tempat pembuangan nan megah, dan perayaan patah arang yang menanti pelancong kehidupan.” Kelihatannya Camus bermaksud memberikan gambaran pada kita tentang gejolak kolonialisme yang berdampak pada aspek ekonomi hingga politik.


Perlu Anda ketahui, esai di atas ditulis oleh Camus pada 1947. Entah kebetulan atau tidak, yang pasti tautan waktu itu dalam konteks Indonesia mengingatkan masa agresi militer. Upaya penguasaan kembali Indonesia oleh Belanda. Pada masa itu, terdapat kisah tentang kota dialami Mahbub Djunaidi (1933-1995), saat beserta keluarga harus berpindah dari Jakarta ke Solo. Mereka berada di Solo pada 1946-1949. Salah satu faktornya adalah karena ayah Mahbub Djunaidi, KH Muhammad Djunaidi yang bekerja di Mahkamah Islam Tinggi. Karena Jakarta bergejolak, kantornya sejak awal 1946 berpindah ke Solo.


Sejak kepindahan di Solo, Mahbub Djunaidi berada di usia 13 tahun, telah menempuh pendidikan kelas tiga. Di Kota Solo ia melanjutkan ke kelas empat. Mulanya di sebuah sekolah Muhammadiyah di dekat Masjid Mangkunegaran. Di sekolah itu hanya bertahan dua puluh lima hari, sebelum ia memutuskan keluar karena beberapa hal, kemudian pindah ke SD N 27 Kauman. Sekolah dasar yang terletak di Kelurahan Kauman, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo itu pada penerimaan siswa baru tahun 2025 adalah sekolah yang ramai dalam pemberitaan gegara hanya mendapatkan satu siswa.


Pengisahan kota dari Mahbub terlihat sublim melalui novelnya Dari Hari ke Hari (Pustaka Jaya, 1975). Novel itu pada mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di tahun 1974. Karya itu berhasil menceritakan peristiwa revolusi dari sudut pandang anak-anak. Bagaimana cara Mahbub dalam menyuguhkan kota? Imajinasi dibangun sejak awal perjalanan dari Jakarta menuju ke Solo. Kereta api misalkan menjadi subjek kemajuan pengetahuan yang mengantarkannya untuk mendefinisikan kota demi kota yang dilewati.


Di Solo, harus diakui menjadi kota yang begitu penting dalam membentuk sosok Mahbub Djunaidi. Dalam rancang pertumbuhan dan perkembangan sebagai bocah, ia mendapat asuhan pendidikan, keagamaan, kebudayaan, hingga politik. Selain bersekolah formal, ia juga menempuh pendidikan agama di Pondok Pesantren Mambaul Ulum. Mahbub menjalani di tengah ketidakpastian akan gejolak yang terjadi di republik, namun ia tetap menikmati.


Kota demi kota dalam novel yang ditulis Mahbub sedemikian rupa tentu berpengaruh dalam cakrawala pengetahuannya. Di novel misalkan Mahbub menggambarkan Kota Solo saat mengalami gejolak. Ia menulis: 


“Solo bagaikan kolam pemandian yang lagi dikuras: lengang tiada gerak. Pesta Agustusan, pameran dan pesta olahraga, tinggal dalam ingatan, karena sekarang bulan September, cerita kebakaran, tembak-menembak, tidak lagi diperbincangkan orang, melainkan dibisik-bisikkan.”


Hal itu mengingatkan pada buku garapan Michael Pearson, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Sori Siregar, Erwin Y. Salim, dan Ayu Utami berjudul Tempat-Tempat Imajiner (Yayasan Obor Indonesia, 1984). Michael Pearson melakukan eksplorasi terhadap sederet nama pengarang akan nama tempat di masa kecilnya. Ia menegaskan akan keterhubungannya pada buku yang semakin erat tatkala menelusur tempat demi tempat di masa kecil dari tiap pengarang.


Dalam daftar itu, Pearson menyigi kisah Mark Twain, Ernest Hemingway, William Faulkner, Flannery O’Connor, hingga John Ernst Steinbeck. Pearson mengungkapkan: 


“Si penulis dan tempat itu merupakan pasangan yang sempurna. Sempurna dalam hal reputasi artistiknya yang rada buruk dan berantakan.” 


Dimensi tempat bagi Pearson penting dalam kiprah perjalanan pengarang, yang kemudian membentuk masa keterhubungan secara berkelanjutan kepada para pembaca. Di sana terbesit bahwa kehadiran teks menyuguhkan beban tafsir yang begitu padat.


Ini pula yang kiranya terjadi pada Mahbub. Meski tak lama menjalani hidup di Solo, tapi kota itu telah berpengaruh dalam hidupnya. Novelnya yang membahas revolusi fisik dari sudut pandang anak. Buku yang dalam catatan Korrie Layun Rampan di Majalah Horison edisi Oktober 2006, “tokohnya semata-mata diambil dari sudut pandang kanak-kanak, akan tetapi pembaca tahu bahwa penulis sesungguhnya tengah menggali sebuah tema dewasa yang rumit dan kompleks.” Buku itu, dan karya-karya lainnya kiranya menegaskan bahwa membincang Mahbub Djunaidi tak akan lekang oleh waktu.


Joko Priyono, Fisikawan Partikelir dan Kader Muda Nahdlatul Ulama. Penulis Buku Alam Semesta dan Kebudayaan Berpengetahuan (2025).