Opini

Membayangkan Mahbub Djunaidi di Kongres PMII 2024

Kamis, 27 Juni 2024 | 15:00 WIB

Membayangkan Mahbub Djunaidi di Kongres PMII 2024

H Mahbub Djunaidi. (Foto: arsip magungdym via FB H. Mahbub Djunaidi)

Kalau saja Mahbub Djunaidi anak muda berusia di bawah 30 tahun yang hidup di tahun 2024, penulis pastikan ia tidak akan mau mencalonkan diri menjadi Ketua Umum PB PMII. Apa pasal? Mahbub tidak pernah lulus kuliah alias DO (drop out) dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia mesti bekerja membantu biaya hidup adik-adiknya. Ia korbankan mimpinya untuk bisa menjadi educated person jika menggunakan istilah yang trend sekarang. Lulus S1 saja tidak, apalagi harus sedang atau sudah lulus S2 untuk bisa memenuhi syarat Calon Ketua Umum.


Ini tentu berbeda dengan sebagian anak PMII sekarang yang melihat jenjang pendidikan sebagai life style. Lupa mengukur diri. Tidak mau paham soal hak kader lainnya yang lebih potensial. Terlalu tamak karena bisa mengakses jaringan bermodal jabatan hasil dukungan teman sejawat. Keluar dari cita-cita para perekayasa sosial di PMII macam Bang Muhyidin Arubusman yang menekankan pentingnya peningkatan jenjang pendidikan bagi kader potensial dan spesialisasi keahlian akademik.


Mau bukti? Berkali-kali Kongres, terdapat beberapa kandidat yang baru saja mendaftar program pascasarjana. Peduli setan kuliah serius, yang penting syarat terpenuhi. Syukur jika memang benar niatnya serius. Ada juga yang kuliah hanya bermodal kehadiran. Tugas dan lainnya dikerjakan pasukan hantu alias ghost writer. Lalu apa gunanya syarat sedang atau telah lulus kuliah pasca sarjana jika hanya untuk ngakali persyaratan? Pemimpin model apa yang sedang kita ciptakan?


Mahbub juga tidak akan mampu membayar biaya pendaftaran. Mengambil formulir dibebankan biaya 5 juta. Pengembaliannya 30 juta. Ini jelas melebihi jumlah uang palak partai di tingkat DPC yang mengambil dan mengembalikan formulir untuk calon Bupati/Walikota di kisaran 25 juta. Itupun masih banyak yang gratis. Bagi Mahbub, uang sebesar itu bukan perkara kecil. Ia tidak akan sudi mengeluarkan barang sepersen pun untuk gaya-gayaan unjuk kekuatan saldo pencalonan.


Apa yang kemudian dilihat kader dan Pengurus Cabang? Para Calon Ketua Umum ini pandai merayu senior dan para pejabat untuk berinvestasi. Tentu ini adalah investasi politik. Kalau biaya daftarnya sudah sedemikian besar, apalagi bekal yang diberikan untuk beli seperangkat oleh-oleh yang bukan lagi khas daerah karena hanya ada di konter gadget. Begitu kira-kira bayangan sebagian pemilik suara. Tentu ini adalah mimpi buruk. 


Mimpi buruk yang bisa dilihat dari praktik aji mumpung pengurus inti PB PMII secara berjamaah. Entah manajemen organisasi model apa yang sedang dijalankan. Penulis tidak kunjung paham.


Lalu, jangan pula salahkan jika kelak Pengurus Cabang menjadi ikutan aji mumpung. Mumpung di Kongres dan punya suara. Mumpung bisa tawar-menawar banyak hal. Toh cibiran paling hanya sekali dan semuanya cepat dilupakan. Begitulah kultur kita. 


Pembaca perlu tahu, Mahbub bukan tipikal orang aji mumpung. Dekat dengan Bung Karno, ia tidak minta jabatan. Tidak pula sibuk mengeruk untuk kekayaan pribadi. Ia lebih senang menjadi teman diskusi dan mengkritiknya. Menjadi jembatan pikiran idealis para aktivis kepada si “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. 


Apa lagi? Kalau yang dicari hanya pengalaman dan social prestige, buat apa pula mencalonkan diri menjadi Ketua Umum PB PMII, toh pengalaman menjadi Ketua Departemen Pendidikan PB HMI di zaman Ismail Hasan Metarium sudah lebih dari cukup. Jejaring sudah banyak didapat. Tinggal kemampuan diri yang menentukan di fase hidup berikutnya. 


Sayangnya, ia merasa perlu punya tantangan lain. Membangun organisasi kemahasiswaan berlatar Nahdlatul Ulama (NU).


Mahbub adalah Ketua Umum yang ditunjuk. Tidak hadir di deklarasi pendirian PMII. Menurut Chalid Mawardi, salah satu pendiri PMII, dipilihnya Mahbub karena pintar dan dianggap punya pandangan modern. Merujuk pada berbagai dokumen organisasi yang dibuat selama Mahbub menjabat, jelas sekali terlihat dominasi pikirannya. Menggali konsepsi teologis nasionalisme dan sosialisme ala NU dengan kaca mata pengetahuan modern.


PMII sebagai organisasi yang baru lahir sanggup berdiri tegap dengan kemegahan ide. 


Masa itu, karakteristik organisasi yang baik tergambar dari kualitas isi dokumen yang ditetapkan. Kuat dengan pikiran ideologis dan posisi politik yang jelas. Soal ini, mungkin pembaca perlu melihat catatan yang dibuat oleh Herbert Feith mengenai lima aliran politik di Indonesia era Orde Lama di mana aliran Islam tradisionalis diwakili oleh NU. Disebutnya, kurang-lebih, hanya aliran politik ini yang nyaris susah untuk dimengerti karena minimnya dokumen pemikiran yang ada di partai NU. 


Mahbub, di mata penulis, menutup celah tadi dengan baik. Dia memberi pijakan ideologi sehingga berada sejajar dengan organisasi sejenis yang telah lebih dulu lahir, sebut saja HMI, GMNI, CGMI, PMKRI, GMKI, dan Gemsos. Mampu menjadi komunikator ulung di antara berbagai pihak. Fenomena ini terlihat nyata saat merebak isu pembubaran HMI.


Ia membayar lunas amanah yang diberikan oleh para sahabatnya. Meski sibuk sebagai wartawan dan anggota DPR-GR, ia tetap berkonsentrasi membangun fondasi dasar organisasi hingga berhasil dibentuknya dengan kokoh. Di mata Chalid Mawardi, apa yang telah dilakukan Mahbub dapat terjadi karena, “Dia (Mahbub) itu orangnya lurus, rasional, bersih, dan paling ga suka korupsi-korupsian.”


Tentu penulis juga sejalan dengan pandangan Ridwan Saidi, mantan Ketua Umum PB HMI 1974-1976 dan kawan akrab Mahbub, yang mengatakan tidak akan ada lagi orang seperti Mahbub. “Sosoknya hanya ada sekali,” ujarnya. Mahbub berhasil menjadi pemimpin yang berjalan tepat di zamannya. 


Apa yang bisa dipelajari? Mekanisme pemilihannya bisa sangat sederhana tapi hasilnya sangat istimewa. Cukup sosok yang tepat di tempat dan waktu yang sesuai. Tidak perlu membuat rumit diri hanya untuk terlihat mentereng sementara hasilnya sering mengecewakan!


Terakhir, apakah penulis salah jika punya kerinduan hadirnya pemimpin PMII yang agile (kemampuan berpikir cepat dan cerdas) di zaman yang terus bergerak? Mampu menyiapkan kader dalam menghadapi tantangan kini dan mendatang dengan aksi-aksi programatik? Entahlah, penulis dalam hal ini pun punya tanggungan atas dosa sejarah, bukan?  


Dwi Winarno, Ketua Bidang Kaderisasi Nasional PB PMII 2011-2014, Wakil Rektor Unusia