Nasional

Penulis Media Keislaman Mesti Punya Gaya, Ini 3 Tokoh NU yang Dapat Dijadikan Acuan

Senin, 14 Oktober 2024 | 14:30 WIB

Penulis Media Keislaman Mesti Punya Gaya, Ini 3 Tokoh NU yang Dapat Dijadikan Acuan

Ketua PBNU Gus Ulil Abshar Abdalla saat menghadiri kegiatan Upgrading Kepenulisan Populer dan Konsolidasi Pengelola Media Keislaman Moderat di Hotel Luminor, Jakarta, pada Jumat (11/10/2024) malam. (Foto: NU Online/Aceng Darta)

Jakarta, NU Online

Media dan para penulis di media online keislaman perlu membuktikan kepedulian terhadap pengembangan dan peningkatan bahasa. Salah satu pembuktikan kepedulian terhadap bahasa tersebut yaitu pencarian gaya atau ciri khas dalam tulisannya.


Ketua PBNU H Ulil Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menyampaikan hal itu saat menghadiri kegiatan Upgrading Kepenulisan Populer dan Konsolidasi Pengelola Media Keislaman Moderat di Hotel Luminor, Jakarta, pada Jumat (11/10/2024) malam.


“Pencarian gaya ini tidak mudah dicapai dalam waktu singkat, tapi saya kepengin ada usaha bareng-bareng untuk merumuskan suatu gaya menulis yang khas,” kata Gus Ulil, sapaan akrabnya pada kegiatan yang dikuti penulis berbagai media keislaman dan media perguruan tinggi Islam itu.


Gus Ulil mengakui bahwa cara paling mudah untuk menemukan gaya penulisan adalah mengungkapkan sesuatu sebagaimana orang-orang lain mengungkapkannya.


“Itu mudah sekali karena kita hanya mengikuti tren. Yang paling susah adalah kita menemukan gaya ungkapan yang memang mewakili kita sendiri,” tegasnya.


Menurut Gus Ulil, ada beberapa sosok di lingkungan NU yang memiliki semangat tersebut dan ingin serta membuktikan dalam tulisannya berhasil mengungkapkan pikirannya dalam gayanya yang khas.


“Di lingkungan NU, dan harus dibaca oleh teman-teman dan kita kampanyekan kepada generasi penulis baru untuk membacanya. Orang yang saya suka dari dulu adaalah Mahbub Djunaidi dengan esai-esainya seperti di Asal Usul,” ungkapnya.


"Bagi saya Mahbub sadar betul bahwa ketika menulis dia ingin menulis yang esuai dengan ungkapan hatinya,” tambahnya.


Tokoh kedua, kata Gus Ulil, adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurutnya, Gus Dur menulis sebagai kolumnis.


“Akan tetapi, apa pun niatnya, apa pun orientasi dan pretensinya bahwa merumuskan gaya yang khas itu sangat penting sekali,” kata Gus Ulil.


Selanjutnya, penulis dari kalangan NU yang juga tampak menyadari pentingnya gaya dan ingin menciptakan efek yang khas adalah KH Cholil Bisri.


"Anda baca tulisan Mbah Cholil itu terlihat sekali di sana bahwa penulisnya ingin memiliki gaya sendiri,” lanjutnya.


Salah satu ciri atau gaya khas Kiai Cholil Bisiri adalah menggunakan istilah Jawa yang khas pesantren yang sesekali diselipkan dalam tulisannya.


“Tentu tidak semuanya berbahasa Jawa. Beberapa istilah yang khas pesantren, jadi dia benar mengulas bola tapi ada istilah dari kalangan pesantren itu bikin segar tulisan. Kadang-kadang hal seperti ini perlu dilakukan yaitu memasukkan sesuatu yang tidak lazim,” imbuh Gus Ulil.


Sebelumnya, Gus Ulil menekankan perjuangan awal media sebelum menggarap level isi dan prespektif, adalah dengan perjuangan bahasa.


"Bagi saya kesadaran atau pemahaman seperti ini perlu ditanamkan kepada kita semua termasuk kepada saya sendiri," kata Gus Ulil.


Ia menyoroti kemerosotan penggunaan bahasa di kalangan penulis dan pembaca akhir-akhir ini. Hal ini karena makin jarangnya penerbitan cetak maupun media online yang menunjukkan kepedulian besar pada aspek bahasa.


Pada kesempatan ini, hadir juga  Ketua LTN PBNU Ishaq Zubaedi Raqib, Direktur Diktis Kemenag RI Prof Ahmad Zainul Hamdi (Prof Inung), dan Staf Khusus Menteri Agama Wibowo Prasetyo.