"Cinta adalah seni." Demikian kesimpulan Erich Fromm, seorang psikoanalisis dari Jerman dalam buku Seni Mencintai. Fromm menolak pandangan bahwa cinta merupakan anugerah yang hanya orang yang beruntung saja yang bisa jatuh cinta. Cinta, menurutnya, adalah seni yang itu berarti bahwa cinta membutuhkan pengetahuan dan usaha untuk memperolehnya. Seperti halnya seni-seni yang lain seperti melukis, menyanyi, menari, dan lain-lain, cinta itu bisa dipelajari.
Banyak orang salah mengidentifikasikan cinta. Niatnya mungkin mencintai, tapi nyatanya dia tidak sadar bahwa ia merusak orang yang dicintainya. Bisa juga dia mungkin tidak merusak orang yang dicintai, tapi justru menghancurkan dirinya sendiri.
Kesan seperti itulah yang saya tangkap dari film pendek Opor Ayam yang diunggah di kanal YouTube NU Online. Muhtadin dan Halimah merupakan pasangan suami istri yang baru menikah. Seperti layaknya kebanyakan pengantin baru, keduanya ingin saling menunjukkan cintanya.
Semangat cinta Halimah diekspresikan dengan cara memasak opor ayam untuk suaminya. Akan tetapi, Halimah tidak tahu bahwa suaminya ternyata tidak suka masakan yang berkuah santan. Jadilah opor ayam yang sudah dimasak Halimah dengan penuh cinta, hanya dicicipi dua sendok saja oleh Muhtadin. Halimah kecewa. Perasaan cintanya tidak berbalas sesuai harapannya.
Begitulah yang terjadi jika mencintai tanpa tahu bagaimana cara mencintai. Cinta kita tidak akan tersampaikan dengan benar, tetapi sebaliknya justru cinta kita akan disalah artikan oleh orang yang kita cintai. Karena itulah Erich Fromm mewanti-wanti bahwa yang terpenting dari mencintai adalah bagaimana cara mencintai, bukan apa yang kita cintai.
Jika kita hanya fokus kepada apa yang kita cintai, kita hanya akan menjadi pribadi yang egois yang lebih mementingkan dirinya sendiri daripada orang yang kita cintai. Kita akan menganggap apa yang kita suka, maka orang yang kita cintai juga harus suka. Seperti yang terjadi kepada Halimah. Opor ayam mungkin adalah makanan kesukaan Halimah. Tetapi, dia lupa bahwa bisa saja suaminya mempunyai selera yang berbeda dengan dirinya.
Hal yang saya suka dari film ini adalah bagaimana cara sutradara Anton Magaski menunjukan cinta antara Halimah dan Muhtadin. Dalam film berdurasi tidak sampai sembilan menit ini, cinta mereka berdua digambarkan dengan tidak lebay. Tidak ada rayuan-rayuan gombal. Tidak perlakuan posesif. Tidak ada unggah foto-foto pernikahan di sosial media dengan kuantitas over yang seakan-akan pamer kepada teman-temannya yang masih jomblo dan membuat jomblo semakin frustasi dengan status kejombloannya.
Cinta Muhtadin dan Halimah sangat elegan. Saat kebiasaan buruk Muhtadin menaruh handuk sembarangan setelah mandi yang menyebabkan handuk bau diingatkan oleh Halimah, Muhtadin menurut saja. Saat Muhtadin lupa sudah tiga malam tidak menciumnya sebelum tidur ditegur oleh Halimah, Muhtadin hanya diam. Saat Halimah menyindir Muhtadin yang fotonya baru di-like mantan, Muhtadin tidak marah. Saat Halimah menasihati Muhtadin ketika dipanggil agar menjawab, Muhtadin tidak marah. Begitu pula saat Muhtadin disuguhi opor ayam yang sebenarnya tidak ia suka tidak lantas naik pitam lalu memarahi Halimah. Ia hanya pergi meninggalkan meja makan agar tidak terjadi pertengkaran. Itu semua adalah cinta.
Film yang ditulis oleh Ahmad Faisol ini sebenarnya mengingatkan kembali kepada kita betapa pentingnya cara mencintai dengan benar. Tidak hanya kepada sesama manusia, bahkan mencintai Tuhan pun juga harus dilakukan dengan cara yang benar. Banyak orang mengaku mencintai-Nya, tapi tidak mau mengenal-Nya sehingga memperlakukan Tuhan sesuai ukuran dirinya sendiri-sendiri.
Subhan Abidin, mahasiswa Ilmu Agama Islam Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, mengabdi di Yayasan Al-Munawwir Gringsing, Batang, Jawa Tengah.