Oleh Agus Wibowo
--Jika tidak ada aral melintang, Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) akan dihelat di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Agustus 2015. Paling tidak, ada hal penting yang perlu dipertegas kembali dalam muktamar tersebut, yaitu komitmen edukasi pada masyarakat kelas bawah. Sejak didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari 89 lalu, NU telah menjadi bagian pencerah masyarakat khususnya melalui jalur pendidikan tradisional. <>
Menurut Zuhairini (1997), ketika kita membaca kiprah NU di bidang pendidikan, seperti halnya membaca sejarah tumbuh dan tegaknya pendidikan bagi bangsa ini. Itu karena cikal bakal pendidikan rakyat dirintis oleh pesantren milik para kyai NU. Pesantren, lanjut Zuhairini, merupakan cikal-bakal model pendidikan yang memberi kesempatan rakyat miskin membuka tabir kebodohan menuju pencerahan. Didikan pesantren mula-mula, melahirkan banyak pejuang kemerdekaan, serta para pemimpin bangsa dengan ketinggian budi dan karakter. Singkatnya, pesantren milik NU mampu memberikan model pendidikan alternatif bagi masyarakat bawah, yang kala itu tidak bisa mengakses pendidikan di sekolah-sekolah milik pemerintah Kolonial Belanda.
Pemihakan Kelas Bawah
Banyak sejarawan mencatat betapa gerakan NU untuk pendidikan bangsa terutama masyarakat kelas bawah, telah dimulai sejak rintisan awal berdirinya ormas keagamaan ini. Dimulai dengan gerakan ekonomi kerakyatan melalui Nadlatut Tujjar (1918), disusul dengan Tashwirul Afkar (1922) sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan, hingga Nahdlatul Wathan (1924) yang merupakan gerakan politik di bidang pendidikan. Sementara menurut Didik Supriyanto (2010), kiprah NU di bidang pendidikan telah dimulai sejak Muktamar ke-2 NU tahun 1927. Dalam muktamar itu, sebagian besar pesertanya melakukan terobosan yang luar biasa, yaitu dengan mengadakan penggalangan dana secara nasional untuk mendirikan madrasah/sekolah.
Pada Muktamar NU berikutnya, muncul gerakan serupa yaitu gerakan peduli pendidikan dan membentuk sebuah organisasi khusus yang diharapkan konsen mengurusi bidang pendidikan. salah satu organisasi khusus di bidang pendidikan itu adalah Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO). Pada perkembangan selanjutnya, terbentuklah Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama (LPMNU), tepatnya tercetus pada Muktamar ke-20 NU (1959) di Jakarta.
Menurut data Kementrian Agama (Kemenag, 2013), sampai saat ini Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif NU sudah memiliki tidak kurang dari 6000 lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air; mulai dari TK, SD, SLTP, SMU/SMK, MI, MTs, MA, dan 73 perguruan tinggi (PT). Sementara untuk pondok pensantren NU, sampai saat ini belum ada data yang akurat mengingat jumlahnya yang banyak dan terus bertambah.
Sepanjang sejarahnya, NU lebih banyak berpihak pada pendidikan masyarakat bawah, seperti petani desa, pedagang, buruh, nelayan dan sebagainya. Itu bisa dilihat pada lembaga pendidikan NU, baik berbentuk pesantren, madrasah, dan sekolah-sekolah, umumnya menampung kelas bawah ini. Lembaga pendidikan NU itu tidak memasang tarif yang mahal, bahkan sebagian memberikan pendidikan secara cuma-cuma alias gratis.
Sementara untuk madrasah dan sekolah NU, memiliki karakter yang khas yaitu diakui sebagai milik masyarakat, selalu bersatu dengan masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Guru-guru madrasah adalah juga guru-guru masyarakat, yang tingkah lakunya dinilai, diawasi, dan ditiru oleh masyarakat. Pendek kata, sepanjang sejarahnya, madrasah/sekolah NU menjadi role of model bagi masyarakat di sekitarnya. Madrasah NU juga merupakan pusat kegiatan masyarakat pada beberapa bidang tertentu, khususnya pada bidang keagamaan.
Oleh karena besarnya peran serta masyarakat dalam membesarkan madrasah dan sekolah NU ini, konon pada zaman penjajahan, ormas keagamaan terbesar pertama ini tegas-tegas menolak bantuan pemerintah Belanda baik bagi madrasah, maupun segala bidang kegiatannya.
Dipertahankan?
Sebagaimana ditulis Zuhairini, pondok pesantren NU sejak lama dikenal sebagai pendidikan alternatif. Pendidikan pesantren yang dirintis, dikelola, dan dikembangkan secara individual oleh para ulama dan tokoh NU, telah memberikan sumbangsih besar pada masyaratat, pemerintah, dan bangsa Indonesia ini.
Pendidikan pesantren kental dengan pembentukan karakter mulia yang disebut sebagai akhlakhul karimah atau akhlak mulia. Pesantren misalnya, mengajarkan agar peserta didiknya yang disebut santri, memiliki dan melaksanakan karakter mulia seperti tawadhu, ta’at, ridho, barakah, hurmah, dan sebagainya dalam kehidupan sehari-hari. Jauh sebelum pendidikan nasional kita menganjurkan pendidikan karakter, pesantren sudah mendahului dengan tindakan nyata.
Pendidikan NU yang dilaksanakan oleh para kiai, diarahkan untuk mencapai tingkatan ideal, yaitu santri dengan ketinggian akhlakhul karimah. Pendidikan bagi kyai, bukan sebatas menstransfer ilmu pengetahuan, tetapi tetapi juga transfer kepribadian. Berbeda dengan sekolah umum, para santri di pesantren bertempat tinggal bersama kyai atau pengasuh sepanjang waktu.
Pendidikan di pesantren dikatakan berhasil, jika melahirkan orang yang penuh tawadhu’ tha’at, dan hurmah dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang mampu menjadi sosok ideal itu, akan mendapatkan ridha dan barakah dalam kehidupannya. Ketika seseorang mendapat ridha dan barakah, ia akan merasakan ketentraman dalam hidup. Pribadi bersangkutan tidak akan melakukan tindakan tercela, apalagi sampai melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kita berharap isu pendidikan kelas bawah tetap diangkat dalam muktamar NU. Apakah ke depan NU akan tetap berada pada jalur pendidikan tradisionalnya atau ada upaya memodernisasi lembaga-lembaga pendidikannnya. Modernisasi lembaga pendidikan di bawah NU menjadi penting, tetapi jangan sampai terjebak pada komersialisasi pendidikan. Jika sudah demikian, maka siapa lagi yang akan mengurus pendidikan rakyat miskin?
Agus Wibowo, Pengurus Lajnah Ta’lif Wan Nasr Nahdlatul Ulama (LTNNU), Dosen Universitas Negeri Jakarta.
Ilustrasi: Suasana di pintu gerbang Pondok Pesantren Babussalam, Mojoagung, Jombang (Red: Anam)