Kita semua sepakat dan mengerti, pendidikan karakter sangat penting dalam keluarga. Saat lahir, bayi diperkenalkan orang tuanya tentang konsep beragama. Begitu keluar dari rahim ibunya, telinga kanan dikumandangkan adzan dan telinga kiri dibacakan iqamah.
Apa maknanya? Bayi diperkenalkan terhadap nama Tuhan. Kebesaran Tuhan. Persaksian kepada Tuhan dan rasul-Nya. Pesan agar bergegas melaksanakan shalat saat dipanggil, dan lain-lain. Sebuah proses spiritual paling awal di alam dunia yang dialami si jabang bayi.
Meski memiliki jiwa yang suci (fitrah), bayi tetap membutuhkan input dan pengalaman-pengalaman positif (positive experiences) dari orang tua dan lingkungan. Input pengetahuan dan praktik kebaikan (best practices) orang tua akan sangat mempengaruhi saat dewasa kelak. Bukankah usia anak dari 0-5 tahun adalah golden age (usia emas)? Jika saat usia tersebut salah input, maka akan melukai keseluruhan jiwa yang dapat mengganggu normalitas psikologisnya.
Banyak teori dari psikolog Barat tentang perkembangan anak. Namun kebanyakan teori itu tercipta dari hasil uji coba empirik. Hasil dari rangkaian hipotesa yang tidak holistik. Manusia hanya dilihat dari penggalan-penggalan jiwa, bahkan perilaku, sehingga belum mendefinisikan tugas dan fungsi manusia seutuhnya.
Adakah yang salah dari hasil riset-riset tersebut? Secara parsialitas teori tentu tidak. Mereka memiliki standar positivisme sendiri yang disebut “pijakan ilmiah”. Terukur (measurable), konstan hasilnya saat diuji berulang kali, dan memiliki sandaran empiristik (dapat dibuktikan). Akan tetapi jika dilihat dari konteks manusia secara holistik menjadi bermasalah.
Untuk membincang hal tersebut memang tidak cukup dalam ruang ini. Apalagi tema artikel ini adalah pendidikan karakter dalam keluarga. Sehingga cukuplah disinggung sedikit bahwa ada “part-part” psikologis manusia yang tidak disentuh oleh kajian psikologi mainstream.
Karena itu, penting disinggung sekadar memberikan gambaran bahwa ada aspek psikologis manusia yang tidak dicover oleh psikolog Barat. Apa itu? Yaitu stimulasi untuk mengembangkan transendensi diri manusia sehingga memiliki konektivitas ketuhanan sebagai sumber pembentukan karakter.
Transendensi diri manusia akan membentuk kesempurnaan akhlak. Akhlak kepada sesama. Akhlak kepada lingkungan. Akhlak kepada Sang Pencipta. Di sinilah peran pendidikan agama dan pengalaman keagamaaan (religious experiences) dalam keluarga menjadi sangat dibutuhkan. Bagaimana dengan pendidikan budi pekerti yang menjadi keunggulan budaya bangsa kita?
Dalam banyak hal, pendidikan budi pekerti inline dengan pendidikan karakter yang dituju agama. Hanya saja, budi pekerti kadang berhenti pada level afektif semata yang tak terhubung langsung dengan Tuhan. Ini bertentangan dengan main goal dalam beragama. Banyak orang yang berprinsip, lebih baik berbudi pekerti meski tanpa agama dari pada beragama tapi tidak berbudi pekerti.
Nah ini titik krusialnya. Jika kita beragama dengan benar, maka seharusnya inline dengan pembentukan akhlaq al-karimah (karakter mulia). Karena misi utama agama adalah pembentukan akhlak. Rasulullah bersabda: sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Artinya, orang yang beragama seharusnya seia sekata dan seperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Namun jika kita salah dalam memahami dan mempraktikkan ajaran agama akan menjadi kontraproduktif. Apa yang dilakukan dalam ritual-ritual agama berbeda dengan praktik sikap dan perilaku sehari-hari. Nilai-nilai agama hanya berada dalam menara gading, dan ini justru bertentangan dengan misi dari agama itu sendiri.
Karena itu, untuk membentuk anak yang berkarakter dibutuhkan pendidikan agama di rumah (keluarga). Ingat, di sini menggunakan istilah pendidikan, bukan pembelajaran. Pendidikan menyangkut totalitas penyampaian wawasan, internalisasi, dan pengalaman kehidupan keagamaan. Bukan sebatas transfer of knowledge yang hanya sebatas pada wilayah kognitif seperti kebanyakan yang terjadi di sekolah-sekolah.
Kemudian model pendidikan agama seperti apa yang dibutuhkan dalam keluarga agar sejalan dengan prinsip-prinsip kemuliaan akhlak?
Thobib Al-Asyhar, Dosen Psikologi Islam pada Kajian Timteng dan Islam, SKSG Universitas Indonesia