Oleh Nabil Haroen
Hari Ahad kemarin (25 Maret 2018) saya diundang oleh PC Pagar Nusa Pamekasan dalam agenda “Ijazahan Pendekar”. Efek dari Ijazah Kubro yang diselenggarakan PP Pagar Nusa tempo hari di Cirebon ternyata telah merambah ke berbagai daerah yang juga ingin menggelar acara serupa. PC Pagar Nusa Pamekasan mengundang dua kiai besar sebagai mujiznya, KH R Mudatsir Badruddin (Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur) dan KH Badrul Huda Zainal Abidin -yang akrab disapa Gus Bidin (Dewan Khos PP Pagar Nusa/ Pengasuh PP Lirboyo Kediri).
Acara ijazahan kali ini luar biasa, banyak sekali hal-hal yang membuat saya sendiri maupun hadirin berdecak kagum. Antusias para peserta juga tidak kalah dahsyatnya. Dari ijazah kit yang disiapkan oleh panitia sejumlah 700 paket ludes. Bahkan pendaftar tercatat mencapai 1500 orang, dan panitia harus menyusulkan 800 paket sisanya bagi mereka yang belum mendapatkan.
Ketua Pagar Nusa, baik tingkat cabang dan wilayah menunjukkan etika yang luar biasa. Keduanya tidak menyampaikan sambutan di atas podium tapi di bawah menyatu dengan para pendekar. Keduanya merasa tidak pantas tampil di atas podium, karena itu adalah tempat bagi para kiai, maqam bagi ulama. Ini sungguh membuat saya berbangga, bahwa pimpinan Pagar Nusa tahu diri dan tahu posisi. Kami hanyalah pesuruh para kiai, yang harus siap setiap saat untuk diperintah dan menjalankan amanat.
Kekaguman berikutnya, membuat kami semakin yakin bahwa kedua mujiz (kiai yang memberikan ijazah) memang layak menjadi panutan kami. Dalam susunan acara, Kiai Mudatsir tertulis sebagai mujiz pertama, baru kemudian Gus Bidin. Namun karena sikap tawadlu’, Kiai Mudatsir meminta kepada pembawa acara untuk meminta kepada Gus Bidin yang terlebih dahulu menyampaikan ijazah.
Setelah pembawa acara mengundang Gus Bidin untuk naik ke panggung, Gus Bidin lantas memegang mikrofon dan berkata, “Saya memohon dengan hormat kepada Kiai Mudatsir untuk lebih dahulu, menyampaikan ijazah, baru kemudian saya. Karena beliau jauh lebih ‘alim.”
Lantas mikrofon diserahkan kepada Kiai Mudatsir. Beliau berkata, “Mohon maaf, saya tidak berani menyampaikan ijazah terlebih dahulu, karena materi ijazah Gus Bidin ada materi yang berasal dari almarhum Kiai Mahrus Aly (Lirboyo). Terlebih Gus Bidin ini adalah penerus almarhum Gus Maksum yang bisa terbang itu. Oleh karenanya saya memohon, Gus Bidin yang sudah selayaknya menyampaikan ijazah, baru nanti saya sisanya saja.”
Setelah itu, Gus Bidin tetap tidak berkenan menyampaikan ijazah terlebih dahulu. “Sekali lagi mohon maaf Kiai Mudatsir, kami yang muda ini, sangat berharap ijazah panjenengan terlebih dahulu. Kami mohon dengan sangat,” pinta Gus Bidin.
Sejurus kemudian, mikrofon kembali berpindah kepada Kiai Mudatsir. “Baiklah, saya akan memberi pengantar saja. Saya minta semuanya dalam keadaan suci. Yang belum atau sudah batal wudlunya, silakan mengambil air wudlu,” perintah Kiai Mudatsir kepada hadirin.
Sambil menunggu peserta berwudlu, Kiai Mudatsir mengisahkan soal wirid, amalan, dan lain sebagainya, dimulai sejak zaman Rasulullah. Beliau juga menceritakan bahwa sejak dahulu sudah ada pendekar wanita, yang juga sahabat Rasulullah, Khaulah binti Ja’far. Setelah semuanya berwudlu, ijazahan pun dimulai oleh Gus Bidin.
Saat selesai memberikan penjelasan tentang materi ijazah, tibalah saatnya “akad ijazah” yang ditandai dengan memegang ujung sorban oleh Gus Bidin dan ujung sorban oleh para peserta. Nampak Kiai Mudatsir juga ikut menerima ijazah. “Saya ijazahkan amalan dan wirid ini sebagaimana guru saya mengijazahkan kepada saya,” ucap Gus Bidin. Ribuan peserta menjawab dengan lantang, “Qabiltu!” Selesailah proses ijazah bagian pertama.
Berikutnya, giliran Kiai Mudatsir yang memberikan penjelasan materi ijazah dengan lengkap. Beliau juga menceritakan kisah-kisah kiai terdahulu yang salih. Setelah penjelasan paripurna, Kiai Mudatsir pun berkata, “Saya ijazahkan amalan dan wirid ini sebagaimana guru saya mengijazahkan kepada saya.” Serentak semua peserta menjawab, “Qabiltu!” Dan saya juga menyaksikan bahwa Gus Bidin juga turut serta menerima ijazah dengan memegang ujung sorban, tepat di samping saya. Saat Kiai Mudatsir menyampaikan penjelasan, Gus Bidin juga dengan seksama, mengikuti dan mendengarkan perintah mujiz.
Sungguh malam ini kami ditunjukkan, dipertontonkan pertunjukan etika, akhlaqul karimah tingkat tinggi oleh dua kiai kami. Belum lagi melihat sosok Gus Bidin yang sangat tawadlu’, tidak hanya kepada kiai, tapi kepada semuanya. Dengan sabar beliau meladeni permintaan hadirin satu persatu.
Tulisan ini hanyalah menceritakan kepingan kecil peristiwa besar ijazahan di Pamekasan. Masih banyak kisah luar biasa yang disaksikan langsung oleh ribuan peserta ijazahan. Sebagai bagian dari saksi hidup saat itu, saya merasa berkewajiban menceritakan ini sebagai bagian dari “tahadduts binni’mah” (cerita atas nikmat yang Allah berikan) kepada kami. Semoga ini menjadi jariyah yang pahalanya terus mengalir hingga akhir nanti.
Jakarta, 26 Maret 2018
Penulis adalah Ketum Pimpinan Pusat Pencak Silat NU Pagar Nusa