Istilah penista agama akhir-akhir ini “naik daun” sejak momen pilgub DKI Jakarta dan boleh jadi makin bising sampai hajatan pilpres digelar pada 2019 mendatang. Konotasinya sangat negatif dan orang-orang yang terlanjur kena label ini biasanya otomatis akan dikerubungi hujatan dan caci-maki. Publik umumnya lebih suka menelan begitu saja kesan buruk itu ketimbang secara kritis mempertanyakan apakah predikat sebagai penista tersebut sudah pas atau tidak disematkan.
Secara yuridis, aspirasi warga yang memperkarakan secara hukum individu atau kelompok tertentu atas tuduhan penistaan agama mendapat landasan legal dari UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal undang-undang itu memuat larangan menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia. Jika penyimpangan tersebut dilakukan oleh organisasi atau aliran, presiden dapat membubarkannya sebagai organisasi/aliran yang terlarang.
Peraturan ini pula yang belakangan menjadi instrumen sebagian orang untuk mengintimidasi, mempersekusi, hingga menjebloskan ke penjara orang-orang yang dianggap melecehkan agama, terutama lawan-lawan politiknya. Jika dicermati, undang-undang tersebut menggunakan istilah “pokok-pokok ajaran agama” yang kerapkali justru absen dari perdebatan publik karena bias kepentingan politik dan mayoritarianisme.
Apakah pernyataan semisal “dibohongi (orang) dengan surat al-Maidah (ayat) 51”, “suara kidung lebih merdu dari alunan azan”, dan “kitab suci adalah fiksi” termasuk menodai pokok-pokok ajaran agama? Atau sebenarnya cuma pikiran bebas biasa yang cukup direspons dengan argumentasi dan pikiran juga? Bagaimana pula dengan ceramah Habib Rizieq yang menyinggung umat Kristiani, “Kalau Tuhan beranak, bidannya siapa”; atau Felix Siaw yang mengejek patung Buddha Maitreya sebagai tuhan “yang tertawa terus dan makan terus”?
Dominasi Kepentingan Politik
Dalam demokrasi terdapat segitiga hubungan antara etika, hukum, dan politik. Secara filosofis, etika demokratis, berupa prinsip kebebasan dan kesetaraan, menjadi jangkar nurani yang menjustifikasi demokrasi sebagai gagasan politik yang baik untuk diterima. Basis etis ini selanjutnya diterjemahkan ke dalam serangkaian hukum dengan melibatkan proses-proses politik.
Pada level politik, ekspresi negatif kekuasaan kerap kali memanfaatkan dimensi koersivitas (pemaksaan) hukum positif untuk melakukan kekerasan dan dominasi yang mengatasnamakan hukum. Tepat di sinilah letak vulnerability (kerentanan) dan paradoks demokrasi, yaitu ketika etika demokrasi terlepas dari dan dikuasai oleh menifestasi yuridis dan politiknya.
Terlepas dari menista atau tidak beberapa pernyataan di atas, kita bisa amati bagaimana narasi tuduhan “menista agama” berjalan dan dialamatkan oleh sekelompok orang kepada orang satu tapi tidak kepada orang lainnya—padahal isunya sama. Pilihan sasaran tembak yang melulu kepada orang-orang di luar afiliasi mereka menunjukkan bahwa aspek politik lebih kental daripada motivasi murni melindungi agama dari penodaan.
Dengan bahasa lain, narasi penistaan agama lebih tampak sebagai alat politik untuk menjatuhkan lawan dalam pertarungan kekuasaan. Kenyataan ini makin menonjol ketika kasus-kasus belakangan ini nyaris selalu beriringan dengan momen strategis pemilihan kepala daerah. Targetnya adalah mendelegitimasi rival politik sebagai (calon) pemimpin yang baik dan ideal bagi rakyat. Kala narasi ini berhasil, rusaklah reputasi sang politisi, apalagi label sebagai penista agama boleh jadi lebih dibenci masyarakat ketimbang label sebagai pelaku tindak kejahatan lain seperti koruptor, pelanggar HAM, nepotis, dan sebagainya.
Tentu saja politik penistaan ini tak selalu berurusan dengan kontestasi jabatan politik semacam pilkada (atau pilpres). Dalam praktiknya, narasi tersebut juga bisa digunakan dalam konteks perebutan pengaruh antarkelompok yang berbeda pemahaman. Kelompok mayoritas seringkali tak rela bila dominasinya digerogoti oleh apa yang biasa disebut sekte sempalan, aliran sesat, atau sejenisnya. Buktinya, dalam beberapa dekade terakhir, UU No.1/PNPS/1965 berhasil mengkriminalisasi sejumlah penganut kepercayaan lokal, sekte-sekte “aneh”, dan minoritas-minoritas baru yang kerap mendapat label “sesat” atau “melakukan penodaan agama”.
UU No.1/PNPS/1965 memang menyimpan kelemahan. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersama beberapa lembaga swadaya masyarakat pernah terlibat dalam upaya uji materi UU ini di Mahkamah Konstitusi (MK), tapi mayoritas hakim MK menolak mencabut UU yang bias agama-agama resmi itu.
Peraturan tersebut rancu, apakah sungguh-sungguh melindungi kesucian tiap-tiap agama dan menjaga ketertiban, atau justru memberi justifikasi kebencian dan permusuhan terhadap kelompok lain yang dianggap menyimpang. Apalagi, ketika kerusuhan sudah terjadi, negara biasanya lebih suka memihak tafsir mayoritas atas nama stabilitas dan keamanan, daripada mengayomi seluruh warga terlepas dari perbedaan keyakinannya. Jika betul-betul hendak melindungi pemeluk agama, undang-undang yang hadir semestinya adalah yang mencegah agitasi kekerasan/permusuhan terhadap mereka, bukan pemberangusan perbedaan yang kebanyakan berkisar pada wilayah tafsir agama yang masih bisa didialogkan.
Utamakan Perdebatan Sehat
Sejarah kritik terhadap agama sebenarnya bermula sejak sejarah agama-agama itu didakwahkan para rasul. Para utusan Allah memikul beban tak hanya beratnya menyadarkan orang-orang musyrik tapi juga hinaan-hinaan berat, hingga sampai pada teror fisik. Sering kita dengar, betapa Nabi Muhammad menghadapi tuduhan keji bahwa ayat-ayat suci yang beliau bawa tak ubahnya dusta yang dibuat-buat (QS al-Furqan:4-6), mantera sihir (QS al-Anbiya’:2-5), atau cuma dongeng-dongeng purbakala (QS al-Anfal:30-31).
Nabi ketika itu tak gentar, tidak pula melakukan serangan serupa. Yang beliau lakukan adalah menjelaskan dan menyuguhkan argumentasi (burhân), atau menantang mereka unjuk kompetensi. Al-Qur’an sendiri menjawab orang-orang itu dengan perkataan, “jika kalian ragu atas apa yang diturunkan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat saja yang sepadan” (al-Baqarah:23).
Apa yang ditunjukkan Rasulullah dan Al-Qur’an adalah teladan bagaimana kita menghadapi serangan narasi dari luar. Islam menunjukkan derajat luhurnya dengan menekankan pada diskursus atau pertarungan gagasan. Tradisi ini pula yang dikembangkan sebagian besar ulama abad pertengahan ketika agama mereka “terancam” sehingga melahirkan ribuan karya ilmiah.
Imam al-Ghazali, misalnya, yang prihatin dengan maraknya “penyimpangan akidah” oleh para pemikir Muslim yang terpengaruh filsafat Yunani merespons mereka dengan menampilkan sejumlah cacat dalam struktur argumentasi para filsuf itu. Diskursus akademik ini lalu melahiran karya monumental sang imam berjudul Tahâfutul Falâsifah (kerancuan para filsuf). Di kemudian hari, intelektual raksasa lainnya, Ibnu Rusyd membatah balik dengan karya yang tak kalah argumentatif. Maka lahirlah kitab Tahâfut at-Tahâfut (kerancuan kitab Tahâfutul Falâsifah).
Bagi Islam, kultur keilmuan bisa dirangsang melalui perdebatan-perdebatan sarat nalar atau mujâdalah bil latî hiya ahsan. Dalam Kitab Suci, tradisi ini masuk kategori pelaksanaan dakwah ke arah jalan Tuhan (ud‘û ilâ sabîli rabbika), di samping cara-cara konvensional berupa ceramah-ceramah nasihat (mau’idhah hasanah).
Umat Islam bisa mengikuti jejak sejarah mereka sendiri, yakni ketika “penistaan agama” justru membuat mereka berpikir, produktif, dewasa, dan mencerahkan. Itulah salah satu alasan bangunan mazhab fiqih dan ilmu kalam susah dirobohkan meski berusia ratusan tahun karena memang dibangun di atas fondasi dan susunan hujjah yang rinci sekaligus bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam negara demokratis, perbedaan pendapat adalah sesuatu yang sangat wajar, bahkan ketika pendapat itu sampai pada level kritik atas hal-hal prinsipil dari pemahaman kita. Seseorang boleh berdebat keras soal apa saja asalkan masih dalam koridor menjunjung tinggi kewarasan. Ketimbang menghabiskan energi untuk kemarahan dan kebencian yang berlebihan, alangkah lebih sehat bila energi itu ditumpahkan lewat pertarungan diskursif yang mencerahkan. Jika demikian, alih-alih bakal ternista, agama justru kian moncer dan menyumbang bagi kekayaan peradaban.
Imam al-Ghazali dalam Tahâfutul Falâsifah pernah mengatakan:
ضَرَرُ الشَّرْعِ مِمَّنْ يَنْصُرُهُ لَا بِطَرِيْقِهِ أَكْـــثَرُ مِنْ ضَـرَرِهِ مِمَّنْ يَطْعَنُ فِيْـهِ
“Bahaya terhadap agama yang datang dari para pembelanya yang menggunakan cara-cara menyimpang lebih besar daripada bahaya yang datang dari para pencelanya yang memakai cara-cara yang benar.”
Wallahu a’lam.
Penulis adalah alumni Madrasah Mu'allimin Islamiyah Pondok Pesantren at-Tanwir Sumberrejo, Bojonegoro.