Opini

Kelompok Ekstremis dan Penistaan Hadits

Sabtu, 12 Mei 2018 | 12:00 WIB

Oleh Fathoni Ahmad

Perilaku dan tindakan ekstrem atas nama agama kerap menjadi stigma bagi masyarakat dunia untuk menjustifikasi bahwa Islam adalah agama teroris. Brand ini bukan tanpa alasan karena yang seringkali melakukan teror mematikan dengan menggunakan bom, dan lain-lain tidak lain adalah seorang Muslim.

Tentu tindakan tersebut hanya dilakukan oknum, baik dalam bentuk kelompok, organisasi, maupun individu. Namun, sebagian orang Barat nampaknya memmukul rata (generalisir) untuk menjustifikasi orang Islam sehingga mereka pun terkadang mengalami diskriminasi di negara-negara Barat atas perbuatan segelintir oknum yang nyata-nyata membuat wajah Islam tidak baik di mata dunia.

Pada prinsipnya, kelompok-kelompok ekstrem (tatharruf) kerap menggunakan ayat-ayat pedang (qital) untuk melegitimasi aksi kejinya atas nama jihad menegakkan agama Allah, perjuangan mendirikan negara Islam, dan sejumlah argumentasi utopia lainnya. 

Kelompok paling nyata yang sering mempropagandakan kekejaman teror atas nama agama adalah Islam State of Iraq and Syiria (ISIS) dengan mendeligitimasi ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. ISIS tidak lebih dari sekadar organisasi politik yang menggunakan dan menyajikan ayat-ayat pedang dengan dalih menegakkan agama Allah untuk tujuan pendirian Daulah Islamiyah. Gerakan ini secara berkelindan membuat ISIS sering memahami hadits secara politis atau dengan kata lain melakukan politisasi hadits.

Organisasi ekstremis yang didirikan oleh Abu Bakar Al-Baghdadi ini bukan hanya melenceng jauh dari konteks diturunkannya nash, tetapi juga tidak mampu memahami bahwa keberadaan Al-Qur’an maupun Hadits tidak berdiri sendiri melainkan saling bertautan. Tautan antara ayat satu dengan yang lain dan hadits satu dengan hadits lain mewujudkan pemahaman agama secara mendalam, tidak dangkal dan radikal seperti tampak dalam nalar kelompok ISIS.

ISIS merupakan kelompok takfiri radikal. Artinya mereka tidak hanya mudah mengafirkan dengan hadits-hadits yang dieksploitir secara politis, tetapi juga berlaku brutal dengan cara kekerasan, merampas, hingga membunuh orang lain yang dianggap kufur oleh mereka. Bahkan sampai menghalalkan seorang perempuan untuk dijadikan budak seks dan dijual bebas.

Di era teknologi informasi yang terbuka bebas dan serba cepat, ISIS memanfaatkan betul kecanggihan tersebut, utamanya melalui media sosial. Tercatat pada tahun 2014 lalu, mereka menciptakan sekitar 50.000 akun lebih di media sosial untuk melakukan propaganda radikalnya.

Nampaknya, mereka sengaja menciptakan keresahan dan ketakutan di tengah masyarakat dunia lewat aksi kejinya seperti memberondong dengan tembakan kepada sejumlah orang secara hidup-hidup, membakar, hingga menggorok secara tidak berperikemanusiaan dan diunggah di YouTube. 

Lebih keji lagi, korban mereka tidak hanya dari kalangan Muslim, tetapi juga dari agama dan kelompok-kelompok lain seperti Yahudi, Kristen, Katolik, Sunni, Syiah, dan kelompok serta suku-suku lainnya. Artinya, keberadaan mereka seperti tanda-tanda akhir zaman dengan hadirnya fitnah kubra (fitnah besar untuk seluruh manusia), seseorang atau sekelompok orang yang tidak sepaham dan tidak mau mengikuti ISIS, maka jaminannya adalah nyawa yang siap melayang dengan cara keji.

Seperti yang pernah dilontarkan salah seorang juru bicara ISIS Abu Muhammad al-‘Adnani, Nabi Muhammad adalah seorang yang diutus untuk mengemban pedang sebagai Rahmat bagi alam semesta. 

Ia mendasarkan pendapatnya itu pada sebuah hadits berikut: Nabi SAW bersabda, “Aku diutus dengan pedang, menjelang datangnya hari kiamat, sampai Allah disembah secara esa bayang-bayang busurku dan akan ditimpakkan kehinaan dan kerendahan atas orang yang menyalahi aturanku, dan barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia merupakan bagian dari mereka.” (HR Ahmad dalam al-Musnad dari Ibnu Umar dan dijadikan Shahid oleh al-Bukhori)

Hadits di atas bukan hanya dieksploitir untuk melegalkan aksi keji mereka, tetapi mereka juga tidak berupaya memahami konteks diturunkannya (asbabul wurud) hadits tersebut. Di titik ini, ISIS atau kelompok ekstrem sejenis hanya menghadirkan ayat-ayat pedang atau perang, padahal ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang menyatakan bahwa Islam adalah agama kedamaian, rahmat, dan toleran tidak kalah banyaknya. Lantas, mengapa mereka hanya memilih ayat-ayat perang dalam memanifestasikan keagamaan mereka?

Berikut penggalan sebuah hadits yang juga digunakan sebagai dasar pendirian khilafah: Ismail ibn Ja’far al-Madini bercerita kepada kami, Abdullah ibn Dinar bercerita kepada kami, dari Ibnu Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “...setiap kalian adalah pemimpin dan setiap akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”

Najih Ramadhan dalam bukunya Bid’ah Ideologi ISIS (2017) mengungkapkan, dalam memahami hadits tersebut, ISIS menyatakan bahwa konstruksi kepemimpinan (ra’i) yang dimaksud dalam hadits tersebut yang pemakaannya terkait dengan QS Al-Baqarah ayat 124 dan QS An-Nur ayat 55 tentang janji Allah yang akan menyerahkan kepemimpinan kepada hambanya yang shaleh, adalah mencakup kepemimpinan politik dan agama. Konsekwensinya, hadits ini berisi kewajiban dan tanggung jawab untuk mendirikan khilafah (imamah al-kubra) bagi pihak yang mampu menjalankan syariat.

Lalu hadits tentang jihad. ISIS menyitir hadits dengan pemahaman yang sangat politis tentang jihad: Muhammad ibn Abdurrahman ibn Sahm al-Antaki bercerita kepada saya, Abdullah ibn al-Mubarok bercerita kepada saya, dari Wahab al-Makki, dari Umar ibn Muhammad al-Munkadir, dari Sumayya, dari Abi Salih, dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang yang mati tanpa berjihad dan tidak pernah bernita untuk berjihad sama sekali, maka dia mati dalam cabang kemunafikan.” 

Jelas sekali ISIS memahami makna jihad dalam hadits di atas sebagai perang, penaklukkan, dan penguasaan secara politis. ISIS tidak melakukan rekonstruksi pemahaman hadits sesuai kontekstualisasi zaman. Padahal, prinsip Islam ialah kebermanfaatan bagi seluruh umat sehingga keliru jika memaknai jihad sebagai perang fisik (qital). Sebab setiap upaya menebarkan kebaikan sesama manusia itulah jihad dalam beragama.

ISIS merupakan salah satu kelompok yang mewujudkan ekstrem radikalnya melalui tindakan langsung secara keji yang berawal dari radikalisme. Jika digambarkan secara jelas, radikalisme bisa dibagi menjadi tiga, bertindak secara radikal (melakukan teror), radikalisme pemikiran, dan radikalisme secara pemahaman. Konteks Indonesia sendiri, saat eskalasi penguatan radikalisme ada pada aspek pemikiran dan pemahaman. Yang jelas, muara dari semua itu adalah tindakan teror.


Penulis mengajar di Fakultas Agama Islam UNU Indonesia (Unusia) Jakarta