Rasulullah mendirikan masjid pertama kali di Quba, kota kecil berjarak sekitar tujuh kilometer dari kota Madinah, setelah misi revolusi memasuki usia tiga belas tahun kenabian. Masjid Quba dibangun di tengah perjalanan hijrah ke Yatsrib, kota yang Nabi kehendaki namanya berubah menjadi Madinah. Kata madînah secara bahasa bermakna tempat peradaban atau kota yang maju. Kemajuan Madinah ditandai dengan hadirnya konstitusi sebagai buah kontrak sosial untuk terwujudnya masyarakat yang tertib dan lebih beradab.
Karena itu, sejarah pendirian masjid adalah bagian dari sejarah peletakkan pancang-pancang peradaban. Secara umum, pendirian masjid pada masa-masa awal Islam menurut penulis menegaskan setidaknya dua poin. Pertama, penyediaan fasilitas publik ibadah bagi umat Islam. Dalam masjid mereka menunaikan shalat lima waktu secara berjamaah, sembahyang Jumat, i'tikaf, dan mengaji ilmu-ilmu agama. Masjid menjadi tempat yang sangat sakral karena di sini hamba-hamba diharapkan secara khusyuk "berjumpa" dengan Tuhannya.
Dalam Islam masjid dimuliakan lebih tinggi dibanding tempat-tempat lain. Bahkan, Al-Qur'an di banyak tempat mengenalkan istilah masâjida-Llâh (masjid-masjid Allah), bukan masâjidul muslimîn (masjid-masjid umat Islam). Penyandaran (idhafah) kata "masjid" kepada "Allah" merupakan bukti nyata bahwa masjid memiliki kedudukan yang spesial. Masjid secara bahasa juga berarti tempat sujud. Pengertian ini senada dengan posisinya sebagai simbol ketundukan diri dan kualitas kesalehan orang karena di sanalah para hamba membangun keintiman dengan Tuhan.
Poin kedua adalah prakarsa kelembagaan yang berhubungan dengan aktivitas sosial. Status masjid sebagai tempat yang demikian suci dan mulia bagi umat Islam, secara politis mengonsolidasikan mereka yang ketika itu minim—bila bukan tidak ada—unit sosial di luar sentimen kabilah atau ikatan kekerabatan ala masyarakat Arab. Kehadiran masjid merupakan sebentuk pengerahan umat Islam dalam satu lembaga baru yang lebih "netral", menyatukan, serta terbuka untuk semua orang dari berbagai suku, kelas sosial, dan identitas lainnya.
Dari sinilah kita temukan masjid pada zaman Nabi bukan hanya menjadi tempat shalat melainkan juga pusat kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat. Masjid berperan antara lain mewadahi forum-forum pendidikan, pengelolaan dana umat, tempat singgah, hingga penyusunan strategi perang dan pengobatan korban luka para mujahid. Masjid menjelma semacam "balai warga", sarana pertemuan dan pelayanan publik yang tidak melulu berkenaan dengan ritual ibadah.
Politik Keumatan
Kata kunci yang dapat disarikan dari penjelasan tentang fungsi sosial masjid di atas adalah "keumatan". Ia menerobos sekat-sekat kepentingan kelompok tertentu, menuju lembaga baru yang lebih inklusif mengakomodasi kemaslahatan bersama. Secara tidak langsung masjid menjadi bagian dari ikhtiar memecah fanatisme suku masyarakat Arab kala itu. Sekup yang ditanganinya pun melintasi beragam sektor, mulai dari urusan sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, sampai militer.
Fungsi-fungsi keumatan inilah yang di zaman sekarang diambil alih oleh lembaga pemerintah dan ormas. Persoalan keumatan tak lagi terpusat di masjid, sehingga masjid masa kini lebih banyak menjalankan fungsi sebagai tempat sembahyang atau ritus agama lainnya dibanding sebagai "balai warga". Pengambilalihan tugas oleh ormas dan pemerintah bukan hal yang sepenuhnya salah, sebagaimana pemosisian masjid hanya sebagai tempat shalat tak selalu bisa dibenarkan.
Adalah sebuah langkah progresif bila kini ada sejumlah gerakan yang hendak mengembalikan fungsi sosial-politik masjid sebagaimana era Rasulullah. Meskipun, sebagian masyarakat di Tanah Air akhir-akhir ini cemas dengan aktivitas kampanye politik di masjid dengan dalih bahwa masjid di zaman Nabi juga menjadi sarana membicarakan politik. Dalih tersebut umumnya dilontarkan tanpa membedakan antara high politics (politik tingkat tinggi/siyâsah sâmiyah) dan low politics (politik tingkat rendah/siyâsah sâfilah). Benar bahwa Nabi menggunakan masjid untuk kegiatan politik, tapi politik yang mana?
Jika kita mencermati sejarah masjid, kepentingan yang masjid atasi adalah kepentingan luas, bukan kepentingan sempit. Kebanyakan berkaitan dengan kemaslahatan jangka panjang, bukan semata jangka pendek. Sangat wajar kala Nabi mendapati orang berjualan di area masjid, Rasulullah mendoakan “Lâ arbahallâhu tijârataka (semoga Allah tidak menguntungkan usahamu) (HR at-Tirmidzi). Kalimat doa ini mengandung makna bahwa Rasulullah tidak menghendaki aktivitas duniawi yang jangkauan kepentingannya personal atau kelompok secara sempit, bukan kepentingan umat secara luas.
Jika politik kekuasaan atau kepartaian adalah low politics dan politik kenegaraan/keumatan adalah high politics, maka politik yang dijalankan Rasulullah adalah jenis politik yang kedua. Nabi tak berpretensi menjadikan masjid untuk melanggengkan kekuasaan beliau, apalagi sampai menyulut perpecahan di kalangan umat Islam. Justru sebaliknya, masjid menjelma pusat perjuangan rakyat yang saat itu sedang diperangi kaum musyrikin, dan tempat ibadah ini pula yang efektif menggalang persatuan umat yang masih terpolarisasi oleh sentimen kabilah. Situasi ini mirip dengan yang dialami para kiai di zaman penjajahan yang menggunakan masjid sebagai salah satu basis kekuatan pasukan Hizbullah berjuang merebut kemerdekaan.
Dengan demikian, ada yang janggal ketika politik kemasjidan yang dijalankan Rasulullah disetarakan dengan aktivitas sekelompok umat Islam kini dalam dukung-mendukung calon tertentu dalam perebutan jabatan politik, atau seruan untuk bergabung dengan partai-partai tertentu. Politik berkutat pada sekup kepentingan jangka pendek dan tak jarang malah menimbulkan gesekan dan perseteruan di internal umat Islam sendiri lantaran fanatisme. Jika sudah demikian, masjid tak hanya gagal menjalankan fungsi politik tingkat tinggi tapi justru mengembalikan era sebelum didirikannya masjid sama sekali, di mana masyarakat terbelah-belah dalam suasana sukuisme, atau dalam konteks kekinian “partaisme” dan “mazhabisme”. Gejala ini mengingatkan kita pada sejarah Masjid Dhirar yang dihancurkan Rasulullah lantaran menyimpang dari fungsi aslinya, yakni dibangun untuk mengoyak persatuan umat Islam.
Karena Indonesia bukan dalam suasana perang, alangkah eloknya ketika masjid sekarang—dalam hal politik—digunakan untuk kemanfaatan yang lebih umum dan mencerdaskan. Misalnya, untuk mengenalkan akhlak-akhlak berpolitik, hakikat kekuasaan, hak dan kewajiban rakyat, tanggung jawab kepemimpinan, mengalang solidaritas perang melawan korupsi, pengetasan kemiskinan dan kebodohan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, bukan hanya jadi tempat untuk menjalin keakraban secara intensif dengan Tuhan, masjid juga hadir memberikan kemaslahatan bagi masyarakat. Masjid tak sekadar bernuansa “langit” tapi juga bumi berikut jaminan kemakmuran dan kehidupan harmonis di dalamnya.
Rasulullah pernah menyebut “rajulun qalbuhu mu‘allaqun fil masâjid” (orang yang hatinya terpaut dengan masjid) sebagai salah satu dari tujuh golongan yang mendapat naungan di hari kiamat. Hadits ini amatlah relevan dipahami dalam konteks dua fungsi masjid di atas yang bersinggungan dengan hablum minallah (hubungan vertikal dengan Allah) dan hablum minan nas (hubungan sosial). Hati kaum mukmin yang terpaut dengan sifat-sifat masjid selain meningkatkan kedekatan dengan Tuhan juga mesti menumbuhkan cinta kemanusiaan antarsesama dan berorientasi pada kemaslahatan publik. Wallahu a’lam.
Mahbib Khoiron, alumni Madrasah Mu'allimin Islamiyah Pondok Pesantren at-Tanwir Sumberrejo, Bojonegoro.