Kewajiban yang hingga kini mengundang ramainya komentar bernada miring di media sosial saluran pandangan masyarakat, seperti apakah dengan kewajiban UU JPH ini maka seluruh rumah makan padang, warung tegal, pedagang gorengan, dan sebagainya yang beredar di seluruh Indonesia wajib bersertifikat halal?
Penulis juga kerap menemukan komentar miring lain terkait adanya barang-barang nonmakanan dan minuman yang bersertifikat halal seperti kerudung bersertifikat halal.
Bagaimana pun komentar warga net di era kini dapat berpengaruh pada sukses tidaknya amanah implementasi UU JPH yang telah disahkan dengan tujuan melindungi masyarakat muslim dan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
Pandangan negatif dari masyarakat, meski banyak juga yang memberi apresiasi positif pada kewajiban sertifikat halal, menunjukkan bahwa UU JPH beserta peraturan perundang-undangan terkait sebagai pelaksanaannya memang belum tersosialisasikan dengan memadai.
Apalagi wacana sertifikasi halal ini juga dibumbui dinamika yang terjadi antara kementerian dan lembaga pemerintah dengan Majelis Ulama Indonesia serta Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI mengenai kewenangan pelaksanaan sertifikasi halal, pembagian tanggung jawab terkait infrastruktur halal termasuk pembagian peran dalam implementasi JPH yang terkait dengan pihak luar negeri.
Jika dikaji secara seksama, UU JPH beserta peraturan pelaksana yang telah disahkan, maka dapat diperoleh beberapa catatan yang perlu diperhatikan terkait kewajiban UU JPH ini.
Pertama, arus utama diseminasi materi UU JPH memang kerap menyampaikan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Pengertian ‘produk yang masuk’, mengarah ke produk luar negeri yang masuk ke Indonesia, baik yang sudah bersertifikat halal dari lembaga halal luar negeri yang harus melewati proses pengakuan oleh pemerintah berupa perjanjian keberterimaan sertifikat halal yang berlaku timbal balik, maupun produk yang dari negara asalnya belum memiliki sertifikat halal.
Peraturan Pemerintah nomor 31 tahun 2019 telah memberi batasan mengenai produk yang wajib bersertifikat halal hanya pada empat jenis barang yaitu makanan, minuman, obat, dan kosmetik.
Kewajiban sertifikat halal juga dibebankan pada produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik, serta jasa berupa layanan usaha penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian, yang hanya jika terkait dengan empat jenis barang di atas.
Batasan lain yang telah diberikan pemerintah untuk kewajiban sertifikat halal yaitu hanya pada barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat, yang berasal dari dan atau mengandung unsur hewan. Karena itu adanya jilbab atau pakaian yang jelas menggunakan bahan polimer atau katun tentu seharusnya tidak terbeban kewajiban halal.
Batasan jenis barang lain yang diwajibkan halal oleh pemerintah seperti penutup kepala, aksesoris, perbekalan kesehatan rumah tangga, peralatan rumah tangga; perlengkapan peribadatan bagi umat Islam, kemasan makanan dan minuman, dan alat tulis dan perlengkapan kantor, alat kesehatan, tentu seharusnya juga tidak memerlukan sertifikasi halal sejauh tidak berasal dan atau mengandung unsur hewan, yang pembuktiannya cukup secara pengamatan fisik atau informasi secukupnya mengenai material atau bahan pada barang-barang tersebut.
Jika sertifikat halal tetap diraih oleh produsen pakaian atau barang gunaan lain, mungkin dapat dianggap sebagai bagian dari upaya produsen pada aspek pemasaran, dan bukan berasal dari aspek kewajiban hukum.
Mengenai kewajiban hukum, umum norma kewajiban dalam undang-undang selalui disertai dengan adanya sanksi yang mengancam dan memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang melanggarnya.
Secara umum UU JPH memberikan sanksi pada pelaku usaha yang melanggar norma-norma pada undang-undang tersebut berupa sanksi peringatan lisan, peringatan tertulis, atau denda administratif. Pencabutan sertifikat halal beserta ancaman pidana memang diberikan pada pelaku usaha yang telah peroleh sertifikat halal tapi tidak menjaga kehalalan produk.
Yang perlu digarisbawahi adalah UU JPH hanya mengatur penarikan barang dari peredaran pada produk yang diimpor dan diedarkan pelaku usaha tanpa sebelumnya diregistrasi ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), meski produk impor tersebut telah memperoleh sertifikat halal yang diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan oleh pemerintah.
Dengan ini, kehawatiran berlebih dari masyarakat mengenai makanan dan minuman produk UMKM, termasuk restoran padang dan warung tegal, yang akan ditarik dari peredaran atau dibredel oleh aparat penegak hukum bila tak memiliki sertifikat halal adalah hal yang dapat dihindarkan.
Dengan berlaku efektifnya undang-undang ini, masyarakat sungguh dapat tetap terus berproduksi untuk menggerakkan perekonomian. Apalagi umumnya umat Islam Indonesia sudah memiliki kesadaran yang cukup tinggi mengenai mana barang yang halal dan haram.
Aparat penegak hukum pun mesti memahami bahwa perhatian lebih justru mesti diberikan kepada produk-produk impor yang bila beredar di tengah masyarakat tanpa label halal yang ditetapkan oleh BPJPH maka produk impor tersebut mesti dihentikan peredarannya dan ditarik dari masyarakat.
Perhatian lebih penegak hukum dan masyarakat juga bisa diberikan kepada produk-produk yang belum mencantumkan keterangan tidak halal pada kemasan produk pada produk berbahan yang berasal dari yang diharamkan.
Hukum positif kita memberi ruang untuk hal itu dibawa ke ranah perdata sebagai bagian dari perbuatan melawan hukum. Implikasinya, pelaku usaha tersebut dapat dituntut untuk mengganti kerugian kepada individu Muslim sebagai konsumen yang dilindungi oleh UU JPH. (bersambung)
Penulis adalah Wakil Ketua Lakpesdam NU DKI Jakarta. Aktivitas sehari-hari sebagai advokat dan konsultan hukum industri