UU JPH yang telah disahkan lima tahun lalu meninggalkan permasalah terkait dengan persyaratan auditor halal yang dibatasi dengan keharusan pendidikan paling rendah sarjana strata 1 di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi, namun harus memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam. Ketentuan kehalalan produk menurut syariat Islam memiliki keragaman sesuai dengan beragamnya mazhab fiqih yang ada dan diikuti umat Islam Indonesia.
Ketentuan halal dalam mazhab syafi‘i dapat diperbandingkan perbedaanya dengan hanafi, hanbali, dan maliki.
Adanya kekayaan mazhab ini justru harus diemban oleh para auditor yang turun di lapangan untuk melakukan pemeriksaan ke lapangan namun dibatasi latar pendidikannya hanya yang berasal dari disiplin sains sebagaimana disebut di atas tanpa didampingi auditor yang berlatar pendidikan Ilmu agama Islam.
Memang setiap auditor halal yang memeriksa halal di lapangan mesti memperoleh sertifikat kompetensi dari MUI, dan mempelajari standar halal yang dirumuskan MUI dengan menimbang kekayaan perbandingan mazhab dalam menentukan suatu kehalalan.
Munculnya gharar atau ketidakjelasan dimungkinkan karena personel yang memahami ilmu keagamaan tidak melihat langsung proses produk halal yang diatur UU JPH yang sesungguhnya dibuat untuk melindungi masyarakat Muslim.
Hal terkait sumber daya manusia dan perbedaan mazhab fiqih ini yang juga menjadi pemicu isu ketiga.
BPJPH diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan kerja sama saling pengakuan sertifikat halal dengan lembaga luar negeri. Faktanya saat ini akibat keragaman mazhab fiqih yang diikuti Muslim dunia maka belum adanya tersusun standar halal yang berlaku di dunia yang bersifat multilateral.
Kerja sama yang dimungkinkan oleh BPJPH saat ini mungkin hanya dapat dilakukan secara bilateral, itu pun jika standar halal yang digunakan oleh BPJPH adalah mengadopsi standar halal MUI yang telah diakui oleh beberapa negara setelah melewati proses 30 tahun pengembangan proses sertifikasi halal.
Terkait label halal, sebelum kewajiban UU JPH berlaku efektif, seluruh produk luar negeri yang beredar di Indonesia melewati proses pelabelan halal kembali dengan label halal MUI. Sementara pelabelan halal yang diamanatkan UU JPH ke BPJPH belum ditetapkan karena peraturan menteri agama yang mengatur hal tersebut belum disahkan.
Kesiapan infrastruktur halal lainnya dari BPJPH menunjukkan bahwa hingga kini auditor halal BPJPH belum memiliki sertifikat dari MUI sebagaimana yang disyaratkan undang-undang. Lainnya, peraturan Menteri Keuangan yang mengatur besaran atau nominal biaya sertifikasi halal sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah belum juga diundangkan.
Atas hal-hal di atas maka Peraturan Menteri Agama dan Peraturan Menteri Keuangan terkait sesungguhnya menjadi kunci dari mandatori UU JPH.
Akhir kata, dengan sekelumit permasalahan yang diutarakan di atas, maka perlu dipertimbangkan untuk UU JPH dilakukan amandemen di kemudian hari dengan menimbang catatan ini demi dipenuhi tujuan perlindungan masyarakat Muslim Indonesia yang menjadi asasnya. (selesai)