Opini

Spirit 'Ukhuwah' KH Ahmad Shiddiq

Ahad, 1 April 2018 | 13:30 WIB

Oleh M. Arief Hakim

Ulama dari Jember, Jawa Timur yang pernah Rais Aam PBNU, KH Ahmad Shiddiq, mengemukakan konsep ukhuwah (persaudaraan). Menurutnya, ada tiga macam ukhuwah, yaitu ukhuwah islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwawathaniyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan umat manusia). Ukhuwah basyariyah bisa juga disebut ukhuwah insaniyah. Konsep ukhuwah merupakan “warisan” sekaligus “spirit” KH Ahmad Shiddiq yang sangat penting bagi bangsa kita, bahkan secara luas umat manusia.

Pada konsep ukhuwah islamiyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena sama-sama memeluk agama Islam. Umat Islam yang dimaksudkan bisa berada di belahan dunia mana pun. Dalam konsep ukhuwah wathaniyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari bangsa yang satu, misalnya bangsa Indonesia. Ukhuwah model ini tidak dibatasi oleh sekat-sekat primordial seperti agama, suku, jenis kelamin, dan sebagainya.

Adapun, dalam konsep ukhuwah basyariyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari umat manusia yang satu yang menyebar di berbagai penjuru dunia. Dalam konteks ini, semua umat manusia sama-sama merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Hampir sama dengan ukhuwah wathaniyah, ukhuwah basyariyah juga tidak dibatasi oleh baju luar dan sekat-sekat primordial seperti agama, suku, ras, bahasa, jenis kelamin, dan sebagainya.


Spirit Al-Quran dan Level Ukhuwah Tertinggi

Menurut hemat saya, ukhuwah basyariyah merupakan level ukhuwah yang tertinggi dan mengatasi dua ukhuwah lainnya: islamiyah dan wathaniyah. Artinya, setelah menapaki ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathaniyah, sudah sepatutnya seseorang menggapai ukhuwah yang lebih tinggi, lebih mendalam, dan lebih mendasar, yaitu ukhuwah basyariyah.

Dengan semangat ukhuwah basyariyah, seseorang melihat orang lain terutama sebagai sesama manusia, bukan apa agamanya, sukunya, bangsanya, golongannya, identitasnya, dan baju-baju luar lainnya. Kita mau menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan bukan karena dia seagama, sesuku, atau sebangsa dengan kita misalnya, melainkan karena memang dia seorang manusia yang berada dalam kesulitan dan sudah seharusnya kita tolong, apa pun agama, suku, dan bangsanya.

Dalam ukhuwah basyariyah, seseorang merasa menjadi bagian dari umat manusia yang satu; jika seorang manusia “dilukai”, maka lukalah seluruh umat manusia. Hal ini sesuai dengan pesan Al-Quran dalam surah Al-Mâ’idah [5] ayat 32, “Barangsiapa membunuh seorang manusia tanpa alasan yang kuat, maka dia bagaikan telah membunuh seluruh umat manusia. Sebaliknya, barangsiapa menolong seseorang, maka ia telah menolong seluruh manusia.”

Betapa sangat indah, kuat, dan mendalamnya pesan sekaligus spirit yang disampaikan ayat Al-Quran di atas.

 

Fanatisme dan Dogmatisme yang Berbahaya

Kemudian, apakah ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathaniyah—yang masih mempertimbangkan dan mementingkan identitas formal dan baju luar seseorang—lantas tidak diperlukan lagi? Tentu saja keduanya masih dibutuhkan. Tetapi, seseorang perlu berhati-hati, jangan sampai ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathaniyah yang diekspresikannya terjatuh pada apa yang bisa diistilahkan sebagai fanatisme (juga “nasionalisme”) yang sempit dan picik.

Dalam konteks itu, misalnya, seseorang mau menolong dan mau berteman dengan orang lain karena faktor agamanya dan kebangsaannya belaka. Seseorang yang beragama Islam hanya mau “bersentuhan” dengan seseorang yang beragama Islam juga. Atau lebih sempit lagi hanya mau “bersentuhan” dengan seseorang yang sealiran/semazhab dan segolongan belaka. Seseorang juga hanya mau “bersentuhan” dan bekerjasama dengan seseorang yang secara formal diidentifikasi sebagai bangsa Indonesia.

Ukhuwah wathaniyah yang sempit juga bisa terjatuh pada apologi dan pembelaan seseorang yang tidak proporsional bagi bangsanya. Padahal, kalau bangsa kita salah dan berbuat jahat (misalnya mangagresi dan menjajah negara lain), maka menjadi kewajiban dari warganyalah untuk mengkritik, menyalahkan, dan meluruskannya. Meskipun agama, mazhab, dan kebangsaannya sama dengan kita, jika seseorang berbuat salah dan zalim, harus kita kritik dan tunjukkan kesalahannya secara lugas, jujur, dan tegas.

Dalam kasus lain, kadang ada ukhuwah islamiyah yang dipahami secara sempit dan picik yang lantas menggerakkan seseorang untuk menempatkan para pemeluk agama di luar Islam sebagai saingan bahkan musuh yang layak diserang dan dibinasakan. Ukhuwah islamiyah yang seperti ini tentu saja kontraproduktif karena diekspresikan secara fanatik dan dogmatik. Sebagaimana kita simak dalam lembar-lembar sejarah umat manusia, fanatisme dan dogmatisme atas nama apa pun (misalnya atas nama agama dan ideologi tertentu) bisa sangat membahayakan karena memunculkan kekerasan dan destruktivitas.

Yang terpenting dalam kehidupan seseorang bukanlah identitas formal semisal agama, suku, bangsa, dan seterusnya, melainkan apa yang dilakukannya. Hal yang dilakukan seseorang ini secara sederhana mungkin bisa diidentifikasi sebagai moralitas dan tindakan sosialnya. Seseorang (meskipun agama, keyakinan, suku, dan bangsanya sama dengan kita) sudah sepatutnya kita ingatkan, kita kritik, bahkan  kita lawan jika apa yang diperbuatnya merugikan, menindas, dan menggerus hak orang lain. Dalam konteks Indonesia, yang paling marak adalah tindak korupsi.

Dalam bahasa yang lain, apa yang merugikan, menindas, dan menggerus hak orang lain itu bisa diistilahkan sebagai tindakan jahat dan kriminal. Lawan kita bukanlah orang yang beragama lain, melainkan orang yang bertindak zalim dan tidak adil, apa pun agamanya. Orang kafir, menurut cendekiawan Muslim bereputasi internasional Asghar Ali Engineer, bukanlah orang yang tidak beragama Islam, melainkan orang yang melakukan kezaliman, diskriminasi, penindasan, ketidakadilan, korupsi, dan semacamnya, apa pun agamanya.

Dengan semangat ukhuwah basyariyah/insaniyah, marilah kita tebarkan semangat “bersaudara” antarsesama manusia untuk mewujudkan kehidupan yang semakin baik, indah, adil, dan maslahah. Hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim mengatakan, “Tidaklah beriman seseorang dari kamu sehingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri.”

Kata “saudara” dalam hadis di atas bukanlah sekadar sesama Muslim, melainkan sesama umat manusia. Wallahu A’lam Bisshawab

 

Penulis adalah pemerhati agama dan (ke)budaya(an), Ketua Yayasan Hati Nurani Bangsa (YHNB)


Terkait