Ahmad Zainul Hamdi*
“Umat Islam sedang diadu. Di Timur Tengah
antarsesama negara Islam saling berperang. Bahkan, di dalam satu negara, antarsesama
umat Islam saling membunuh. Di Indonesia, antarsesama umat Islam saling
mengolok, bahkan saling serang. NU dan FPI saling berhadapan, Banser
dan HTI saling mengancam. Intinya, umat Islam Indonesia tidak bisa menjaga ukhuwah
Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam). Pedihnya lagi, saat umat Islam
sedang bertengkar, umat non-Muslim sorak-sorak bergembira. Mereka melakukan
pemurtadan massif saat umat Islam saling berperang dengan sesama saudaranya”.
Kita mungkin sangat sering mendapatkan kiriman
pesan seperti itu. Saking banjirnya pesan-pesan seperti itu yang masuk ke gadget
kita melalui berbagai layanan lini massa, nyaris setiap hari saat kita membuka gadget,
kita akan menemukannya, terutama jika kita berada dalam grup pertemuan di media
sosial.
Narasinya yang sangat halus dan persuasif itu
mengakibatkan nyaris tidak ada orang Islam yang memiliki kesetiaan atas
agamanya yang tak terpengaruh olehnya. Apalagi,kalau pesan-pesan semacam itu dikemas
dalam naras-narasi dakwah keislaman yang dibumbui dengan dalil-dalil, sentimen
keislaman siapa yang tidak cepat bangkit.
Yang terbangkitkan dari sentimen keislaman kita adalah perasaan bahwa
Islam sedang berada dalam ancaman kehancuran. Ancaman kehancuran Islam ini
tidak lain karena ada skenario pemusnahan Islam yang dikembangkan oleh umat
non-Muslim. Intinya, kita sedang berada dalam perang global antara Islam dengan
non-Islam. Karena ini perang agama, maka taruhannya tidak hanya harta, tapi
juga nyawa. Dalam situasi ini, maka setiap Muslim harus dipanggil untuk
memperkuat barisan Islam dalam menghadapi non-Muslim yang menjadi musuh Islam,
yang setiap saat siap untuk menghancurkan Islam, yang setiap detik
mengembangkan strategi untuk meluluhlantakkan Islam dan umat Islam. Di titik
ini, ukhuwah Islamiyah harus diperkuat. Tidak boleh ada pertentangan di
antara sesama Muslim. Perpecahan sesama Muslim hanya akan memberi jalan
kemenangan bagi non-Muslim dalam pertempuran hidup-mati ini.
Pernahkah Anda teraduk sentimen keislaman Anda
seperti itu karena broadcasting via media sosial yang bertemakan ukhuwah
Islamiyah? Saya sendiri mungkin ratusan kali mendapat kiriman pesan dengan
konten yang kurang lebih sama. Saya hafal logikanya, termasuk apa target hasil
yang diinginkan dari pesan-pesan seperti itu. Biasanya, pesan-pesan seperti itu
dengan sangat halus memojokkan NU sebagai kelompok Islam yang mengkhianati ukhuwah
Islamiyah karena NU getolnya NU menjaga keragaman Indonesia (termasuk
keragaman agama dan keyakinan), sambil menghadapi siapa saja (termasuk kelompkm
Islam tertentu) yang ingin melenyapkan kebhinnekaan Indonesia.
Ada tiga jenis ukhuwah: ukhuwah
Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah
(persaudaraan sesama bangsa [Indonesia]), dan ukhuwah basyariyah
(persaudaraan kemanusiaan-universal).Tiga jenis ukhuwah ini merupakan
rumusan KH. Achmad Sidiq, mantan Rais Am Syuriah NU (1984-1991), seorang kiai
kharismatik dari Jember Jawa Timur yang sangat mumpuni dalam keilmuan Islam,
dengan wawasan pemikiran yang sangat luas.
Pertanyaannya adalah apakah ukhuwah
Islamiyah boleh menghancurkan ukhuwah wathaniyah, ataukah
sebaliknya? Penjelasan dari pertanyaan ini harus menyertakan faktor lain, yaitu
tindakan adil. Marilah kita mengandaikan ukhuwah Islamiyah dengan persaudaraan
dalam keluarga, sedang ukhuwah wathaniyah dengan persaudaraan dalam
sebuah desa. Tidak ada seorang pun yang akan setuju jika ada pertengkaran
dengan sesama saudara di dalam satu keluarga. Setiap orang tua pasti menasihati
anak-anaknya untuk rukun dan saling membantu. Jika ada dua orang saudara yang
bertengkar, orang tualah pihak pertama yang hatinya akan terluka.
Sekalipun demikian, bayangkan jika kita
memiliki seorang saudara yang melakukan kejahatan (misalnya, membunuh atau
mencuri harta tetangga), apa yang akan kita lakukan? Apakah atas nama kerukunan
sesama saudara kita akan turut membantunya? Bersama-sama membunuh orang dan
kompak dalam melakukan pencurian? Sebagai orang yang memiliki aturan moral,
memahami mana tindakan baik dan buruk, menaati orang tua yang tak pernah henti
menasihati agar kita tidak melakukan tindakan kejahatan kepada orang lain,
serta terikat dalam tata aturan desa di mana kita hidup, kita tentu akan menasihati
dan menghalangi saudara kita sendiri agar tidak melakukan kejahtan. Bahkan,
tindakan kita bisa lebih jauh, jika kita tidak sanggup menghalangi saudara kita
sendiri dari tindakan kejahatan yang dilakukannya, kita akan melaporkannya ke
aparat keamanan agar dia mendapatkan hukuman.
Dalam titik ini, kita berhadap-hadapan dengan
saudara sendiri dan menjadi bagian
masyarakat desa untuk memastikan bahwa desa di mana kita tinggal aman dari
seluruh tindakan kejahatan. Jika ini yang kita lakukan, apakah kita sedang
mengkhianati ikatan persaudaran dengan saudara kita? Mungkin orang tua kita
akan sedih, namun bahkan terhadap saudara sendiri pun kita harus bertindak
adil. Jika pembunuhan dan pencurian adalah sebuah tindakan kejahatan, maka ia
tetap sebuah tindakan kejahatan sekalipun yang melakukan adalah saudara
sendiri. Kita akan jatuh ke dalam
tindakan kejahatan yang sama jika kita membiarkan saudara sendiri melakukan
kejahatan, apalagi jika sampai turut terlibat di dalamnya. Ada satu prinsip
moral penting, “Orang yang membiarkan terjadinya sebuah tindakan kejahatan,
pada dasarnya dia adalah pelaku kejahatan”.
Begitu juga dengan pesaudaraan sesama warga
desa, ia tidak boleh menjadi alasan untuk
menghancurkan persaudaraan dalam keluarga. Desa di mana kita hidup adalah
sebuah lingkungan sosial yang lebih luas dari ikatan keluarga. Di dalamnya ada
sekian banyak keluarga yang memiliki cara pandang dan keyakinan yang beragam.
Setiap cara pandang dan keyakinan di dalam masing-masing keluarga tidak boleh
memberi dampak destruktif bagi tatanan sosial di tingkat desa. Desa juga harus
dijalankan berdasarkan prinsip non-intenvensionis terhadap setiap cara pandang
dan keyakinan yang ada di masing-masing keluarga.
Pada dasarnya, desa dibangun untuk memastikan
agar setiap keluarga mendapatkan jaminan keamanan dan kedamaian dalam menjalani
hidup. Aparat desa boleh dan harus bertindak tegas berdasarkan aturan jika ada
warganya yang melakukan pelanggaran hukum yang mengancam kelangsungan kehidupan
sosial desa, tak peduli siapa dia dan dari dari keluarga mana. Keadilan harus
ditegakkan karena di atas prinsip inilah relasi antara persaudaran-keluarga
dengan persaudaran-warga-desa terbangun dengan sehat.
Jika ada pihak yang mengingkari prinsip ini,
maka sebetulnya diam-diam orang itu tidak menginginkan kedamaian kehidupan
sosial di desanya. Atau, diam-diam ia ingin menguasai desanya, di mana yang
lain harus tunduk di bawah kekuasaan keluarganya. Jika ini motifnya, maka
persaudaraan keluarga telah kehilangan maknanya, karena ia tidak lebih hanya
menjadi dalih dari tindakan ketidakadilan yang hendak dilakukannya.
Apakah kalau kita berantem dengan saudara
sendiri, tetangga pasti sorak-sorak bergembira? Jika Anda sedang bermusuhan
dengan tetangga, bisa dipastikan tetangga Anda akan bahagia melihat Anda
bertengkar dengan saudara. Tapi masalahnya adalah apakah Anda sedang bermusuhan
dengan tetanggap atau tidak. Kalapun ada tetangga yang memushi Anda, apakah
dengan sendirinya Anda bisa menyimpulkan bahwa semua orang di desa memusuhi
Anda sehingga mereka merasa gembira melihat Anda yang sedang ribut bertengkar
dengan sesama saudara.
Ada dua kemungkinan. Pertama, asumsi
Anda benar bahwa setiap ada petengkaran di internal keluarga, orang sedesa berbahagia. Jika semua
orang di desa saling merasa gembira melihat tetangganya yang tengah berduka,
maka desa itu pada dasarnya sudah tidak lagi layak menjadi tempat tinggal.
Semua orang sudah tidak lagi terikat dalam ikatan persaudaraan warga desa. Jika
ini yang terjadi, betapa malangnya tinggal di desa sepeti itu. Kedua,
Anda sendiri yang paranoid, menganggap semua orang memusuhi Anda. Anda selalu
merasa dalam situasi perang dengan semua orang di desa Anda. Keberadaan satu-dua
orang yang memusuhi Anda membuat Anda berkesimpulan bahwa semua tetangga sekampung sedang
diam-diam berkonspirasi untuk mencelakai Anda. Jika ini yang terjadi,
selesaikan diri Anda sendiri karena sesungguhnya diam kebencian telah menguasai
hati Anda. Akan lebih parah jika kebencian di hati Anda itu dibalut dengan
sentimen keagamaan seakan-akan Anda adalah wakil Tuhan, dan semua orang adalah
tentara setan.
Itulah analogi relasi antara ukhuwah
Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah. Lalu, di mana urgensinya ukhuwah
basyariah (persaudaraan kemanusiaan universal)? Setiap persaudaraan yang
berbasis kelompok (agama maupun negara) bisa jatuh ke dalam sikap chauvinistik.
Chauvinisme adalah bentuk kesetiaan ekstrem
terhadap superioritas dan keagungan kelompok. Sikap chauvinistik meletakkan kelompok sebagai
pemegang kebenaran mutlak, dan karenanya berhak untuk menguasai dan melenyapkan
siapa saja. Nasionalisme-chauvinistik akan jatuh pada sikap “right or wrong
is my country” (“benar atau salah, itu adalah negaraku”). Dalam sejarahnya,
nasionalisme chauvinistik telah menghasilkan kejahatan kemanusiaan yang tak teperikan
melalui orang-orang seperti Mussolini atau Hitler.
Sikap chauvinistik juga bisa menimpa pada
kelompok agama. Persaudaraan keagamaan chauvinistik akan jatuh pada
keangkaramurkaan dengan mengatasnamakan Tuhan. Meneriakkan slogan kebesaran
Tuhan sambil membunuh orang, menghancurkan peradaan, dan merusak apa saja yang
dianggap berbeda. Agama menjadi tipu daya untuk meluapkan nafsu
keangkaramurkaan. Berdalih membela Tuhan, tapi menista ciptaan-Nya. Berdalih
membela tauhid, tapi mengobarkan kebencian dan kerusakan di mana-mana.
Di sinilah pentingnya ukhuwah basyariah.
Karena pada akhirnya, di atas seluruh kesetiaan pada agama dan negara, ada
nilai tertinggi yang harus tetap dijaga: kemanusiaan. Ukhuwah Islamiyah
dan ukhuwah wathaniyah akan jatuh ke dalam tindakan immoral yang tidak manusiawi
jika kehilangan dasar kemanusiaannya.
Itulah mengapa dalam maqashid al-tasyri’
(tujuan dari diturunkannya syariat oleh Allah), mashlahah ‘ammah
(kebaikan bersama/bonum commune) menjadi prinsip paling utama. Kebaikan
bersama ini tidak mungkin akan tercapai jika di sana tidak ada mekanisme yang
memungkinkan untuk memblokade tindakan-tindakan destruktif, sebagamana yang ada
dalam kaidah fiqh “dar’ul mafsid muqaddamun ala jalbil mashalih”
(menolak tindakan destruktif didahulukan sebelum menindakkan kebaikan).
Seluruh uraian saya di atas, sama sekali tidak
hendak membenarkan tindakan main hakim sendiri. Tidak boleh ada satu kelompok
pun yang boleh melakukan tindakan di luar sistem hukum yang berlaku. Tidak ada
satu pun alasan pembenar perilaku main hakim sendiri, sekalipun dengan
mengatasnakan amar makruf nahi munkar maupun dar’ul mafasid.[]
* Dosen pada Departemen Studi Agama-agama, Fakultas Ushulkuddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya; Wakil Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Timur