KH Noer Muhammad Iskandar, atau akrab disapa Kiai Noer, adalah sosok yang, --hemat saya dan semua orang yang menyaksikan perjalanan hidupnya-- memiliki banyak kesan dan peran. Apalagi untuk dikisahkan dalam tulisan yang singkat ini, rasanya sungguh mustahil.
Dalam buku berjudul Saksi Kebajikan Sang Kiai, kita akan menemukan banyak kesaksian tentang sosok Kiai Noer dari orang-orang dengan berbeda latar belakang, status, juga pengalaman dengan Kiai Noer.
Buku ini memang disusun khusus untuk mengenang ‘Kiai Penakluk Ibu Kota’ itu. Mulai dari testimoni pihak keluarga, tokoh, maupun alumni. Buku ini menyajikan sederet kisah pandangan dan pengalaman tentang sang kiai.
Namun, sebelum menuliskan bagaimana orang-orang memandang Kiai Noer, terlebih dahulu penulis sampaikan bagaimana sosok sang kiai di mata penulis. Tentu, sebagai salah satu santrinya, saya juga memiliki pengalaman dan pandangan tentang beliau.
Meski penulis menyadari, tidak banyak pengalaman yang bisa saya kisahkan. Selain tulisan ini untuk memuat sebagian pandangan banyak orang tentang Kiai Noer, penulis juga hanya nyekseni Kiai Noer beberapa tahun sebelum wafat.
Dalam hemat saya, dan juga kebanyakan orang, Kiai Noer itu sosok kiai yang berpandangan luas dalam mengkader santri-santrinya. Ia tidak mengarahkan seluruh santri untuk menjadi ustadz atau kiai.
Bagi Kiai Noer, santri memiliki bakat masing-masing. Tidak mungkin, misalnya, santri yang lebih tertarik di bidang olah raga, tapi dipaksa untuk jadi penulis. Ibarat kata, tidak memaksakan seekor ikan untuk ikut lomba memanjat pohon.
Tidak heran, jika alumninya tersebar di mana-mana dengan profesi apa saja. Ada yang mendirikan dan mengasuh pesantren, ada yang terjun ke dunia politik, ada yang menjadi dokter, wartawan, dan beragam profesi lainnya. Sampai ada pula alumni yang menjadi pendongeng nasional. Sungguh, profesi-profesi yang di luar dugaan untuk sekelas alumnus pesantren. Tentu, ini semua tidak lepas dari tangan dingin Kiai Noer.
Sampai hari ini, Pesantren Asshiddiqiyah Pusat yang dulu diasuh Kiai Noer, tidak sebatas membekali santri tentang keilmuan. Tetapi, juga berbagai kemampuan lintas bidang.
Jika kita berkunjung ke Asshiddiqiyah, akan menyaksikan sendiri para santri yang latihan futsal, silat, paskibra, aneka cabang olah raga, drum band, akustik, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan itulah yang tidak saja membekali santri menguasai ilmu agama, tetapi juga berbagai bidang sesuai minat dan potensi masing-masing.
Kiai ahli tirakat
Dalam tradisi pesantren, untuk mencapai kesuksesan, baik lahir maupun batin, santri tidak hanya dituntut untuk sungguh-sungguh dalam belajar. Tetapi, juga harus menjalani laku-laku spiritual seperti berpuasa sunah, mudâwamah wirid-wirid tertentu, dan sederet praktik tirakat lainnya.
Antara satu pesantren dengan pesantren yang lainnya bisa berbeda laku tirakatnya. Tergantung ketentuan masing-masing kiai yang memberlakukan sesuai dari mana sanadnya.
Begitupun Kiai Noer, terkenal dengan tirakatnya yang kuat. Seperti puasa ngrowot (puasa dengan tidak mengkonsumsi beras putih, beras merah, beras ketan, termasuk nasi dan segla jenis olahannya) saat dulu menjadi santri. Bahkan, Kiai Noer juga istikamah menjalankan puasa Dawud (sehari puasa dan sehari tidak) hingga detik-detik menjelang kewafatannya. (hlm. 12)
Tirakat juga diberlakukan kepada santri-santrinya. Bagi santri yang sudah memasuki kelas akhir, wajib melaksanakan puasa Dawud selama satu tahun penuh. Tidak boleh putus. Jika putus di tengah, maka harus mulai dari awal lagi.
Jika sudah lulus puasa Dawud, santri biasanya mendapat ijazah shalawat masyisyiyyah yang disusun oleh Sayyid Abdussalam bin Masyisy, maha guru dari tiga wali quthub: Sayyid Ibrahim ad-Dasuqi, Sayyid Ahmad al-Badawi, dan Sayyid Abul Hasan asy-Syadzili.
Selain puasa, Kiai Noer juga selalu mengingatkan santri agar jangan pernah tinggalkan shalat berjamaah, shalat tahajjud, shalat dhuha.
Kiai cerdas nan cerdik
Orang cerdas memang banyak, pun orang cerdik; tidak sedikit. Tapi orang yang cerdas sekaligus cerdik bisa dikatakan langka. Salah satu sosok cerdas sekaligus cerdik itu adalah Kiai Noer.
Sejak nyantri di Pesantren Llirboyo, Jawa Timur, Kiai Noer dikenal sebagai santri yang cerdas. Menurut kesaksian KH Husein Muhammad (Pengasuh Pesantren Dar al-Tauhid, Cirebon), di Lirboyo dulu, Kiai Noer menjadi rais. Rais adalah pemimpin santri saat memusyawarahkan mata pelajaran.
Sebagai pemimpin, seorang rais tidak saja dituntut untuk paham pelajaran-pelajaran yang dimusyawarahkan, tapi juga bisa menjelaskan kapada teman-teman yang lain agar semua bisa memahami pelajaran dengan baik. (hlm. 23)
Terkait kecerdikan Kiai Noer, ada kisah menarik. Saat diamanahi menjadi menjadi panitia haflah di Lirboyo, anggaran yang dibutuhkan ternyata belum cukup. Akhirnya panitia mencoba melobi donatur dari manajemen rokok terkemuka. Tetapi panitia gagal, cara yang biasa digunakan belum berhasil.
Kiai Noer tidak kehabisan ide, ia menyarankan rekan panitianya, KH Ayik Muhammad Al-Hasni (Pengasuh Pesantren Al-Fatih, Yogyakarta), untuk menelpon donatur dengan pura-pura menjadi Kiai Mahrus (Pengasuh Pesantren Lirboyo saat itu).
Setelah latihan meniru suara Kiai Mahrus dan sudah mirip, segera Kiai Ayik menelpon donatur, “Tolong, nanti bantu santri saya. Namanya, Noer Muhammad. Tolong temui ya, dihormati ya, permintaannya dipenuhi ya.” Tidak butuh waktu lama, setelah mengikuti saran Kiai Noer tadi, caranya berhasil. (hlm. 30)
Penjaga gawang Aswaja
Sebagai santri berbasis pendidikan salaf dan besar di lingkungan pedesaan, menjadi sebuah prestasi besar bagi Kiai Noer dengan capaiannya mendirikan lembaga pendidikan berbasis alhusunnah wal jamâ’ah (Aswaja) di jantung di ibu kota. Ini sebuah bentuk keberhasilan migrasi seorang santri yang sukses mengarungi sekat kultur dan geografis.
Kendati hidup di ibu kota, Kiai Noer tetap kokoh menjaga prinsip Aswaja yang berbunyi al-muḫâfadzatu ‘alal qadîmish shâliḫ wal akhdzu bil jadîdil ashlaḫ, yaitu menjaga tradisi lama yang baik dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik. (hlm. 63)
Tak mau sukses sendiri
Kiai Noer dikenal sebagai sosok yang memliki solidaritas tinggi. Rasa solidaritasnya itu membuatnya tidak mau sukses sendiri. Ia selalu menggandeng sahabat-sahabatnya untuk sukses bareng.
Bahkan, Kiai Noer tidak segan memberi panggung kepada rekan-rekannya. Setiap ada acara di Asshiddiqiyah, Kiai Noer selalu mengundang teman-temannya -yang juga kiai- untuk mengisi ceramah. Tidak sebatas itu, setiap ada teman yang menghadiri acar di pesantrennya, pulangnya selalu beliau kasih pesangon. (hlm. 56)
Sebenarnya, masih banyak lagi kesan dan peran Kiai Noer. Semakin ditulis, rasanya semakin luas menyamudra saja. Tentu, sangat mustahil tulisan pendek ini memuat seutuhnya.
Data Buku
Judul : Saksi Kebajikan Sang Kiai
Penulis : Tim Literasi Pesantren Asshiddiqiyah
Penerbit : Pustakapedia
ISBN : 978-623-6117-16-3
Cetakan : Pertama
Terbit : 2021
Tebal : 278 halaman
Muhamad Abror,
Santri Pesantren Asshiddiqiyah, Jakarta