Kitab Tuntunan Dasar Islam Syekh Hasan Ma’shum, Mufti Kesultanan Deli
Ahad, 26 Februari 2017 | 08:00 WIB
Kitab ini mengaji tentang tuntunan dasar ajaran agama Islam (ushûl al-dîn), yang mencakup kajian tentang dasar-dasar tauhid, juga dasar-dasar hukum fiqih ibadah atas madzhab Syafi’I, mulai dari bersuci, sembahyang, zakat, puasa, hingga haji.
Dalam kata pengantarnya, Syekh Hasan Ma’shum Deli mengatakan bahwa para koleganya telah berkali-kali meminta dirinya untuk menuliskan sebuah risalah yang menghimpun penjelasan tentang tuntunan dasar ajaran agama Islam bagi kalangan pemula dalam bahasa Melayu, yang mencakup kajian tauhid dan fiqih ibadah.
Syekh Hasan Ma’shum Deli menulis;
(Amma Ba’du. Maka tatkala berulang-ulang permintaan setengah daripada al-ikhwan supaya hamba himpunkan bicara ‘Aqaid al-Iman dan yang bergantung dengan Furu’ Syari’ah daripada syarat-syarat dan rukun-rukun kadar yang tiada lebih dari pada Furudh al-A’yan karena hendak dihafalkan akandia bagi kanak-kanak yang baru belajar).
Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu beraksara Arab (Jawi). Dalam kolofon, disebutkan bahwa karya ini diselesaikan pada malam Selasa, 29 Ramadhan tahun 1341 Hijri (bertepatan dengan 15 Mei 1923 M). Mengacu pada titimangsa penulisan, besar kemungkinan karya ini ditulis dan diselesaikan di Deli. Tertulis pada kolofon di bagian akhir kitab;
Karya ini kemudian dicetak dan diterbitkan sebelas tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1934 M (1353 Hijri) di kota Kairo, oleh Maktabah Musthafâ al-Bâbî al-Halabî. Tebal naskah cetakan ini sebanyak 55 halaman.
Pada versi cetakan ini, dicetak-sertakan juga karya Syekh Hasan Ma’shum Deli lainnya, yang berjudul “Tadzkirah al-Murîdîn fî Sulûk Tharîqah al-Muhtadîn” setebal 21 halaman. Karya terakhir mengkaji bidang tasawuf, etika, serta seluk beluk ajaran tarekat.
Saya mendapatkan naskah kitab ini dalam versi cetakan di atas dari sahabat saya asal Medan, al-Fadhil al-Mufti Sayyid Zuhdi, seorang graduan Universitas Al-Azhar Kairo sekaligus Program Pendidikan Fatwa pada Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta al-Mashriyyah.
Tentang sosok pengarang karya ini, yaitu Syekh Hasan Ma’shum Deli, ia dilahirkan di kawasan Labuan, salah satu wilayah Kesultanan Deli Darus Salam di Sumatera, pada tahun 1882 M (1300 H). Pada masa itu, di daerah pesisir utara pulau Sumatra terdapat beberapa negara bersistem Kesultanan bercorak Melayu-Islam, seperti Kesultanan Deli, Kesultanan Riau-Lingga, Kesultanan Siak Inderapura, Kesultanan Asahan, Kesultanan Johor, Kesultanan Selangor, Kesultanan Jambi, dan lain-lain.
Sang ayah, yaitu Syekh Ma’shum ibn Abi Bakar Deli, tercatat sebagai ulama besar Kesultanan Deli pada masanya yang mengajar di madrasah kesultanan tersebut. Ketika berusia 10 tahun, Syekh Ma’shum membawa serta anaknya, yaitu Syekh Hasan yang kita bicarakan ini, pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Ketika sang ayah pulang kembali ke negaranya di Kesultanan Deli, sang anak tetap tinggal di Makkah untuk bermujawarah dan belajar di sana.
Di antara guru-guru Syekh Hasan Ma’shum Deli ketika berada di Makkah adalah Syekh Ahmad ibn Muhammad Zain al-Fathâni, Syekh Ahmad al-Khayyâth al-Makkî, Syekh Sa’îd Bâ-Bashîl, Syekh Muhammad Husain al-Habsyî, Syekh Abû Bakar Muhammad Syathâ, Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdul Salam Kampar, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, dan lain-lain.
Pada tahun 1907 M (1325 H), Syekh Hasan Ma’shum pun pulang ke Kesultanan Deli. Sosoknya dikenal sebagai seorang yang berilmu pengetahuan luas. Ia pun mulai mengajar di madrasah kesultanan. Karir dan reputasinya kian cemerlang, hingga akhirnya Sultan Deli saat itu, Sri Sultan Ma’moen al-Rasyid Perkasa Alamsyah (memerintah 1879-1924 M), melantiknya sebagai mufti dan qadi Kesultanan Deli.
Di sekitar tahun 1914 M (1332 H), Syekh Hasan Ma’shum terlibat polemik dengan salah satu sahabatnya ketika belajar di Makkah dulu dan saat itu telah menjadi ulama di Ranah Minang serta menjadi salah satu tokoh gerakan pembaharuan (Kaum Muda), yaitu Syekh Abdul Karim Amrullah (ayahanda HAMKA, w. 1945 M).
Saat itu, Syekh Abdul Karim Amrullah menulis risalah berjudul “al-Fawâid al-'Aliyyah fî Ikhtilâf al-'Ulamâ fî Hukm Talaffuzh al-Niyyah”. Di sana beliau mengatakan bahwa mengucapkan “usholli” sebelum takbiratul ihram saat hendak melaksanakan shalat adalah perbuatan bid’ah dhalalah.
Syekh Hasan Ma’shum kemudian menulis risalah lain sebagai tanggapan (radd) atas risalah yang ditulis oleh kawannya itu dan membantah beberapa pendapat Syekh Abdul Karim Amrullah yang membid’ahkan pengucapan “ushalli” sebelum takbiratul ihram. Risalah tersebut berjudul “al-Quthûfât al-Saniyyah fî Radd Ba’dh Kalâm al-Fawâid al-‘Aliyyah”.
Rupanya, polemik antardua sahabat yang berbeda haluan itu, yaitu antara Syekh Abdul Karim Amrullah yang berhaluan modernis (kaum muda) dengan Syekh Hasan Ma’shum Deli yang berhaluan tradisionalis (kaum tua), sampai juga pada guru keduanya di Makkah sana, yaitu pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1916 M). Sang guru pun pada akhirnya menulis sebuah risalah untuk menyudahi polemik kedua muridnya itu. Risalah tersebut berjudul “al-Khuthath al-Mardhiyyah fî Hukm al-Talaffuzh bi al-Niyyah”. Dalam risalah tersebut, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau mendukung pendapat Syekh Hasan Ma’shum Deli sekaligus meluruskan pendapat Syekh Abdul Karim Amrullah.
Syekh Hasan Ma’shum Deli terus berkhidmah sebagai pengajar sekaligus mufti Kesultanan Deli hingga wafat pada 24 Syawal 1355 Hijri (7 Januari 1937 M). (A. Ginanjar Sya’ban)