Cerita Pendek: Samudera Dwija
Malam itu, kilat menyambar menghiasai langit malam di kampung Wates. Dari salah satu rumah yang nyaris roboh, terdengar suara tangisan lirih seorang wanita. Suliyem, seorang ibu muda berusia dua puluhan tahun, duduk di sudut kamar yang gelap. Dengan tubuh kurus dan wajah pucat, ia berusaha menenangkan kedua anaknya yang menangis kelaparan.
"Bu, aku lapar..." rintih anak sulungnya yang baru berusia tiga tahun, memegang perutnya yang kosong.
Suliyem mengusap kepalanya dengan lembut, lalu mengambil gelas berisi air putih. "Minum dulu, Nak. Nanti tidur, ya. Besok kita cari makan lagi."
Anak itu menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, tapi akhirnya menuruti perintah ibunya dan meneguk air yang tak bisa mengenyangkan perutnya. Sementara itu, bayi di pelukannya terus menangis. Dengan napas tersengal akibat penyakit yang dideritanya, Suliyem hanya bisa memeluknya erat, mencoba memberikan sedikit kehangatan.
Beberapa hari sebelumnya, Pak RW telah membawa Suliyem ke Puskesmas untuk memeriksakan kesehatannya. Seorang petugas kesehatan, Bu Nani, dengan sabar memeriksa tubuh Suliyem yang lemah.
"Bu Suliyem, kondisi Ibu semakin parah. Tubuh Ibu sudah sangat kurus dan paru-paru Ibu harus segera diobati," kata Bu Nani dengan nada prihatin.
Suliyem hanya tersenyum lemah. "Saya tidak apa-apa, Bu. Ini hanya batuk biasa."
Bu Nani menghela napas panjang. "Jangan anggap remeh, Bu. Ini TBC. Ibu harus rutin minum obat ini setiap hari agar sembuh. Saya akan berikan obat untuk satu bulan. Mohon diminum sesuai anjuran, ya. Kalau tidak, penyakit ini akan semakin parah."
Suliyem menerima bungkus obat itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Bu. Saya akan mencoba."
Namun, setibanya di rumah, obat-obatan itu hanya diletakkan di bawah tempat tidurnya. Setiap malam, Suliyem melihatnya tanpa pernah menyentuhnya. Dalam hatinya, ia merasa sudah tidak ada harapan lagi. Ia lebih memilih membiarkan penyakitnya menggerogoti tubuhnya perlahan.
Di luar, suara tawa dan teriakan keras terdengar dari kejauhan. Di kalangan judi, Munir, suami Suliyem, sedang asyik mengadu keberuntungan. Uang hasil kerjanya sebagai buruh serabutan habis begitu saja untuk minuman keras dan taruhan.
"Munir! Pulanglah, istrimu sakit parah!" seorang tetangga yang iba mencoba membujuknya.
Munir melirik sekilas, lalu tertawa sinis. "Ah, dia cuma lebay. Aku masih ingin bersenang-senang!"
Tetangga itu menghela napas panjang dan pergi dengan kecewa. Di rumah, Suliyem semakin melemah. Batuknya semakin parah, dada sesak, dan tubuhnya mulai menggigil. Ia tahu waktunya tak akan lama lagi. Dengan suara lirih, ia berbisik kepada tetangga yang menemaninya.
"Bu, tolong... jaga anak-anakku... Saya tidak sanggup lagi..."
Tetangga itu menitikkan air mata dan menggenggam tangan Suliyem erat-erat. "Kamu harus kuat, Suliyem. Demi anak-anakmu."
Tapi Suliyem hanya tersenyum tipis. Air matanya menetes perlahan. Ia tak ingin terus bertahan dalam penderitaan yang tiada akhirnya. Ia telah lelah menghadapi sikap Munir dan hidup dalam kelaparan. Dalam kepasrahannya, ia menarik napas panjang untuk terakhir kalinya. Tubuhnya melemah, dan matanya perlahan tertutup selamanya.
Tangisan bayi dan anak sulungnya menggema di rumah kecil itu. Tetangga-tetangga berdatangan, beberapa menangis melihat kondisi Suliyem yang telah pergi. Saat mereka hendak mengurus jenazahnya, mereka menemukan beberapa bungkus obat TBC yang masih teronggok di bawah tempat tidur. Semua tersadar, Suliyem sengaja tak meminumnya, membiarkan dirinya menyerah pada keadaan.
Ketika kentongan kematian ditabuh, barulah Munir pulang dengan sempoyongan. Bau alkohol masih menyengat dari tubuhnya. Begitu melihat keranda istrinya, ia tersentak.
"Suliyem...?!" teriaknya seraya jatuh tersungkur di tanah.
Tidak ada satu pun yang peduli padanya. Warga sibuk mengurus pemakaman Suliyem, membawa jenazahnya ke peristirahatan terakhir. Isak tangis terdengar di sepanjang jalan, sebagai tanda kesedihan mendalam atas nasib tragis seorang istri yang setia, seorang ibu yang berjuang hingga akhir hayatnya.
Namun, kematian Suliyem tidak membuat Munir sadar. Ia tetap berkubang dalam dunianya sendiri, mabuk-mabukan dan berjudi tanpa peduli pada anak-anaknya. Warga semakin geram dengan sikapnya, terutama ketika melihat kedua anak yang ditinggalkan semakin terlantar.
Suatu malam, para tetangga berkumpul di rumah Pak RW untuk membahas nasib anak-anak Suliyem.
"Kita tidak bisa membiarkan mereka terlantar seperti ini," kata Pak RW dengan suara tegas. "Bayi ini butuh perawatan dan kasih sayang. Saya sudah bicara dengan saudara jauh Suliyem, mereka bersedia mengasuh bayi ini karena mereka belum punya anak."
"Bagaimana dengan anak sulungnya?" tanya Bu Nani.
Seorang tetangga lainnya angkat bicara, "Kita bisa mengurusnya bersama. Untuk kebutuhan sekolah dan makan sehari-hari, kita akan patungan. Yang penting, anak ini tidak jatuh ke tangan Munir. Dan Pak Lukman sebagai pengurus lembaga zakat siap untuk memberikan donasi setiap bulan untuk kebutuhan Si Sulung."
Semua warga setuju. Keesokan harinya, bayi Suliyem dibawa ke rumah keluarga angkatnya. Sementara anak sulungnya tetap tinggal di kampung, diasuh oleh tetangga yang peduli. Ia tumbuh dalam kasih sayang yang lebih tulus daripada yang pernah diberikan ayahnya. Munir, yang sudah kehilangan segalanya, tetap tenggelam dalam kebiasaan buruknya. Tak ada lagi yang peduli padanya. Warga hanya berharap suatu hari nanti, ia menyadari betapa besar dosanya sebelum ajal menjemputnya.
Samudera Dwija, nama pena dari Siswanto, Kepala Sekolah SDN 1 Bangsri Nganjuk, Jawa Timur. Ia juga Sekretaris MWCNU Kertosono 2022-2027. Ia tengah menyiapkan karyanya dalam bentuk buku berjudul Samudera Guru Terjepit hingga Melejit dan Pitutur Luhur Intisari Ngaji para Kiai.
Terpopuler
1
Ketua PBNU Nilai Kebijakan Prabowo Relokasi 1.000 Warga Gaza sebagai Langkah Blunder
2
Khutbah Jumat: Rahasia Rezeki Lancar dan Berkah dari Amalan yang Sering Diabaikan
3
Khutbah Jumat: Mendidik Anak ala Luqman Al-Hakim
4
Khutbah Jumat: Gaji Halal, Pahala Maksimal—Kerja Keras Bisa Jadi Tiket Surga!
5
Ketika Mertua dan Menantu Selingkuh: Review Film 'Norma' Perspektif Qur'an dan Hadits
6
Khutbah Jumat: Gemar Berutang, Silaturahmi Putus
Terkini
Lihat Semua