Pustaka

Memaknai Ulang Peran NU

Ahad, 3 Agustus 2008 | 23:00 WIB

Judul Buku: Sarung & Demokrasi, dari NU untuk Peradaban ke-Indonesia-an
Penulis: Abu Dzarrin Al-Hamidy, dkk
Pengantar: KH Miftachul Akhyar
Penerbit: Khalista
Cetakan: Juli 2008
Tebal: xiv+288hlm; 14,5 x 21cm
Perensi: Ahmad Shiddiq Rokib

Peran Nahdlatul Ulama (NU) bagi perjalanan peradaban ke-Indonesia-an tidak bisa dipandang sebelah mata. Sikap akomodatif terhadap kebudayaan lebih diletakkan dalam rangka menunjukkan bahwa agama (Islam) selalu memberi peluang bagi tumbuh kembangnya kebudayaan yang memang menjadi “naluri” masing-masing komunitas. Itu sebabnya, NU selalu merawat kebudayaan (lokal) sebagai alat untuk mengembangkan tradisi keagamaan yang berpahamkan Ahlussunnah wal Jamaah. Wajah agama (Islam) yang ditawarkan NU adalah agama yang berwajahkan ke-Indonesia-an. Sikap akomodatif ini tidaklah diambil berdasar kalkulasi opurtunistik, melainkan eksternalisasi paradigma keagamaan yang terbuka dan tidak memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang hitam-putih.<>

Peradaban ke-Indonesia-an yang kemudian hendak dibentuk NU adalah peradaban kebangsaan kebebasan yang dilandasi moral keagaman (Islam). Nilai-nilai Islam memberikan inspirasi sekaligus menggerakkan kehidupan kebangsaan indonesia, meski hal tersebut tidak diletakkan untuk mendirikan negara agama, melainkan negara beragama. NU sadar bahwa realitas empirik kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang plural, yakni yang dibangun dengan mensinergikan secara adil suku bangsa yang berbeda dan agama yang berlainan, bahkan paham agama yang yang lain pula, baik ekonomi, hukum, dan sebagainya.

Buku hasil lomba karya tulis ilmiyah (LKTI) yang diselenggarakan Pengurus Wilayah NU Jawa Timur ini banyak menjelaskan NU dan ke-Islam-an, politik, pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan. Ada yang menarik untuk direnungkan dan diaplikasikan dalam mengaktualisasikan peranan NU sebagai organisasai sosial keagamaaan, sehingga tidak hanya menjadi macan podium, tapi juga bermanfaat bagi warganya, terutama yang berada di pinggiran dan terjepit kapitalisme dan neokolonialisasi.

Tulisan M. Suhaidi R.B. berjudul NU dan Transformasi Keaswajaan Revitalisasi Gerakan Pembebasan Sosial NU dalam Memberdayakan Umat Secara Kaffah, misal, mencoba menghadirkan sebuah kritik tentang dinamika (politik) NU yang terlalu dominan. Akibat dominanasi politik tersebut, peran serta NU dalam berbagai bidang mengalami pasang surut dan cenderung acuh tak acuh terhadap realitas yang dihadapi umat. Stadi kasus pada mayarakat Madura yang menanam tembakau dan petani garam adalah warga Nahdliyin, selalu mengalami nasib tidak beruntung. Tembakau yang dianggap daun emas dan merupakan penghidupan tersendiri, ternyata tidak seindah namanya. Rata-rata harganya antara 5000-8000 per kilogram. Harga sedemikian murah, sulit kiranya petani tembakau untuk mencicipi hasil manis, sebab modal yang dikeluarkan tak sebanding dengan hasil dan harga tembakau, cenderung dipermainkan pemilik modal. (hal 7)

NU sebagai institusi tempat mengadu berbagai persoalan yang hadapi dan tempat bernaung warganya, menurut Koordinator Forum Studi Agama dan Demokrasi (ForSAD) ini, harus melakukan langkah-langkah amaliah (praksis) yang nyata, dan tidak hanya kata-kata (qaul). Dan menjadikan pendiri NU contoh serta teladan dalam merespons realitas yang dihadapi masyarakat dengan senantiasa merasakan penderitaan warganya. Sehingga prinsip pokok mabadi khairul ummah dan amar ma’ruf nafi munkar, yang betul-betul membumi.

Dalam mempertegas gambaran di atas, sekaligus menjadikan evaluasi ulang terhadap peran NU pada warganya, ada beberapa pilar yang bisa dijadikan komitmen untuk memasyarakatkan dan mempertegas politik kebangsaan NU, seperti yang ditulis Fathor Rahman Jm, dengan judul Revitalisasi Gerakan Politik Kebangsaan NU untuk Pemberdayaan Bangsa. Di antaranya pesantren, semangat politik NU, Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Tujjar, Tasywirul Afkar, dan basis ajaran tasawuf NU, bisa menjadi instrumen untuk mewujudkan komitmen dan pembelaan terhadap warganya. Misal, di antara salah satu dari pilar-pilar di atas, diberdayakan atau dijadikan sebagai sumber kekuatan terutama dalam menopang ekonomi dan memperbaiki kehidupan umat.

Pesantren yang merupakan pusat pendidikan tertua di Indonesia dengan keunikan dan kekhasan tersendiri, di dalamnya terdapat interaksi di antara orang-orang, pascakemerdekaaan menjadi pusat pemberdayaan masyarakat secara sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam hal ini, pesantren Sidogiri bisa menjadi cerminan. Dengan memanfaatkan alumni dari berbagi daerah untuk jaringan ekonomi dalam mendirikan kopersai simpan pinjam, BPRS, dan baitul mal wattanwil. Jika semua pesantren yang ada di Indonesia mengikuti langkah Pesantren Sidogiri, maka komunitas NU dan yang berada di berbagai daerah pelosok negeri, bisa jadi masyarakat yang seperti kasus tembakau di Madura di atas, cukup diselesaikan oleh pesantren. Serta tidak dibayangi neokolonialisme lagi. Sedangkan NU sendiri membangun dan memberikan jaringan disertai penambahan modal bagi pesantren dalam mengelola ekonomi kerakyatan atau NU menghidupkan Nahdlatul Tujjar yang digagas KH Wahab Chasbullah dengan Tujuan memperkuat modal pedagang dan pertanian warga NU. Hal ini, sesuai statuten dari perkumpulan NU di Surabaya pada 1930 pasal 3 mengenai usaha-usaha yang mesti dilakukan NU, item f berbunyi: ”Memperhatikan Perekonomian Umat Islam”. (hal 68-75)

Buku setebal 288 halaman ini, sangat penting dibaca akademisi, politisi, peneliti, pemerhati, dan warga nahdiyin, untuk memberikan wawasan baru tentang ke-NU-an dan langkah apa saja yang menjadi pekerjaan rumah NU untuk melangkah lebih maju. Namun, sayang bukan buku utuh yang ditulis satu tim atau satu orang (perorangan), akan tetapi hasil LKTI yang dimungkinkan terdapat tumpang tindihnya gagasan.

Dari gasasan di atas, adalah upaya penyegaran memori dan memberikan motivasi bagi elit NU dari tingkat pengurus besar sampai pengurus ranting untuk selalu berkomitmen dan ikhlas dalam mengerakkan NU sesuai semangat khittah, agar benar-benar membela kepentingan umat secara praksis dan tidak lagi terjebak politik praktis.

Peresensi adalah mantan aktivis Ikatan Pelajar NU Gapura, Sumenep, Jawa Timur, dan saat ini menjadi pengelola Taman Baca Surabaya


Terkait