Pustaka

Mengenal 6 Kitab Tasawuf untuk Mengantarkan Cinta kepada Allah

Kamis, 27 November 2025 | 15:00 WIB

Mengenal 6 Kitab Tasawuf untuk Mengantarkan Cinta kepada Allah

Ilustrasi mengambil kitab dalam lemari. (Foto: NU Online/Freepik)

Tasawuf adalah jalan panjang yang ditempuh para pencari Tuhan, sebuah perjalanan batin yang memadukan ilmu, amal, dan kehalusan akhlak. Di sepanjang jalan itu, para ulama sufi telah meninggalkan jejak berupa kitab-kitab agung yang membimbing generasi demi generasi untuk lebih dekat kepada Allah. Karya-karya mereka menjadi semacam kompas moral yang menuntun hati agar tetap berjalan pada jalur yang benar, selaras dengan syariat dan akidah Ahlussunnah wal Jamaah.

 

Di antara sekian banyak karya klasik yang mewarnai khazanah tasawuf, terdapat enam kitab penting yang layak dikenal oleh siapa saja yang ingin memahami dunia penyucian jiwa. Nah berikut 6 kitab tasawuf yang mengantarkan cinta kepada Allah. 

 

1. Ar-Risalatul Qusyairiyah

Imam Abu Qasim al-Qusyari (986–1072 M) menulis kitab Ar-Risalatul Qusyairiyah sebagai panduan ringkas tentang ilmu tasawuf dan akhlak sufi. Kitab ini termasuk karya klasik penting yang menjelaskan bagaimana seorang salik (penempuh jalan menuju Allah) membangun hubungan spiritual yang benar, berlandaskan syariat dan akidah yang lurus.

 

Kitab ini terdiri dari tiga bagian utama:

 

Pertama, daftar dan biografi para guru sufi, yang menggambarkan keteladanan dan perjalanan spiritual mereka.

 

Kedua, penjelasan istilah-istilah tasawuf, seperti taubat, wara‘, zuhud, khalwah, khauf, raja‘, tawakkal, dan lainnya.

 

Ketiga, pembahasan tentang maqamat (tingkatan spiritual) dan aḫwal (keadaan hati), serta adab seorang salik dalam menempuh jalan menuju Allah.

 

Melalui susunan ini, Imam Al-Qusyairi berhasil menyajikan sintesis yang padat dan jelas antara biografi para sufi, konsep-konsep tasawuf, serta etika dan tahapan spiritual. Karena itulah kitab ini sering dijadikan referensi awal bagi siapa pun yang ingin memahami dasar-dasar tasawuf secara benar.

 

Pada bagian awal kitab, Imam Al-Qusyairi, membahas konsep taubat (التوبة), yang disebutnya sebagai tahapan pertama dalam perjalanan spiritual seorang salik.

 

Ia menulis:

 

التوبة أول منزلة من منازل السالكين وأول مقام من مقامات الطالبين وحقيقة التوبة فِي لغة العرب الرجوع يقال تاب أي رجع فالتوبة الرجوع عما كَانَ مذموما فِي الشرع إِلَى مَا هُوَ محمود فِيهِ وَقَالَ النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "النَّدَمُ تَوْبَةٌ"

 

Artinya, “Taubat adalah tingkatan pertama dari tingkatan para salik (penempuh jalan menuju Allah), dan merupakan maqam pertama dari maqamat para penempuh (ṭālibīn). Hakikat taubat dalam bahasa Arab berarti ‘kembali’. Dikatakan: tāba (ia bertaubat), artinya ia kembali. Maka taubat adalah kembali dari sesuatu yang tercela dalam pandangan syariat menuju sesuatu yang terpuji. Nabi bersabda: ‘Penyesalan adalah taubat.’” (Imam Abu Qasim al-Qusyari, Ar-Risalatul Qusyairiyah, (Kairo: Darul Ma’arif, tt), Jilid I, halaman 207)

 

Imam Qusyari menjelaskan bahwa taubat merupakan awal dari setiap perjalanan menuju Allah. Tidak mungkin seseorang menapaki jalan spiritual tanpa terlebih dahulu membersihkan diri dari dosa dan kesalahan. Menurutnya, taubat sejati bukan hanya meninggalkan dosa-dosa lahiriah, tetapi juga membersihkan hati dari keterikatan kepada selain Allah yakni dari kelalaian (ghaflah), hawa nafsu, dan cinta dunia. Dengan taubat inilah seorang salik memulai langkah pertamanya menuju kedekatan dengan Allah.

 

2. Ihya’ ‘Ulumiddin

Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin merupakan karya monumental Imam Abu Hamid al-Ghazali yang menggabungkan ilmu fiqih, akidah, dan tasawuf dalam satu kitab. Al-Ghazali menulisnya sebagai upaya menghidupkan kembali nilai-nilai ruhani dalam Islam yang mulai pudar pada masanya. Ia membagi kitab ini menjadi empat bagian besar: ibadah, adat (kebiasaan hidup), muhlikat (penyakit hati), dan munjiyat (penyelamat jiwa).

 

Kelebihan utama kitab Ihya’ Ulumiddin terletak pada keseimbangannya antara aspek syariat dan hakikat. Lewat kitab ini, Imam Al-Ghazali memberikan pedoman, bahwa tasawuf sejati tidak boleh terlepas dari syariat, karena tujuan utama tasawuf adalah menyucikan niat dan hati dalam setiap amal perbuatan. Ia juga mengingatkan bahwa ilmu tanpa amal tidak akan membawa manfaat, sementara amal tanpa keikhlasan akan kehilangan maknanya di hadapan Allah.

 

Melalui pandangan ini, Ihya’ Ulumiddin menjadi karya yang mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Kitab ini membahas tentang ibadah pribadi, adab dan etika sosial, penyakit hati, serta jalan penyucian diri menuju Allah. 

 

Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin terbagi menjadi empat bagian besar yang disebut rub‘. Bagian pertama adalah Rub‘ al-‘Ibadat, yang membahas hubungan manusia dengan Allah. Di dalamnya dijelaskan berbagai hal seperti ilmu, akidah, thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, tilawah Al-Qur’an, zikir, dan doa. Fokus utama bagian ini adalah menanamkan makna ibadah secara lahir dan batin agar setiap amal menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah.

 

Bagian kedua adalah Rub‘ al-‘Adat, yang menguraikan adab dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Tema yang dibahas meliputi cara makan, menikah, mencari rezeki, bergaul, serta bermuamalah dengan sesama. Melalui bagian ini, Imam al-Ghazali menekankan pentingnya menjadikan kegiatan duniawi bernilai ibadah dengan niat yang tulus dan akhlak yang baik.

 

Selanjutnya, Rub‘ al-Muhlikat membahas penyakit hati yang dapat membinasakan, seperti riya’, hasad, marah, cinta dunia, dan ujub. Sedangkan Rub‘ al-Munjiyat berisi penjelasan tentang sifat-sifat yang menyelamatkan, seperti taubat, sabar, syukur, tawakal, cinta kepada Allah, dan ridha. Dua bagian terakhir ini berfokus pada pembersihan jiwa dari sifat tercela dan penumbuhan akhlak mulia agar seseorang mencapai kebersihan hati dan kedekatan spiritual dengan Allah.

 

3. Sirr al-Asrar

Kitab Sirr al-Asrar wa Mazhar al-Anwar ditulis oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Karya ini membahas sisi batin yang sangat mendalam dalam ajaran tasawuf, seperti rahasia ruh, maʿrifah (pengenalan kepada Allah), hakikat, serta amalan ibadah yang menghubungkan antara syariat dan hakikat.

 

Ulasan mengenai kitab ini menjelaskan bahwa Sirr al-Asrar termasuk karya tingkat lanjut dalam dunia tasawuf. Syekh al-Jailani tidak hanya mengajarkan ibadah lahiriah atau latihan spiritual, tetapi juga mengajak pembaca memahami rahasia batin di balik setiap amal. Misalnya, melalui praktik penyebutan asma (nama-nama Allah) dan zikir yang dilakukan secara tersembunyi (sirr).

 

Karena isinya bersifat mendalam, kitab ini disarankan dibaca oleh mereka yang sudah memiliki pemahaman dasar tentang syariat, akhlak, dan tasawuf. Hal ini penting agar pembaca tidak keliru dalam menafsirkan makna simbolik atau pengalaman batin yang dibahas dalam kitab tersebut.

 

Syed Ali Ashraf, Direktur Jenderal The Islamic Academy, dalam pengantar buku Secret of the Secrets (Hakikat Segala Rahasia Kehidupan), menulis bahwa kitab ini menyajikan prinsip-prinsip tasawuf secara jelas dan lugas.

 

Meskipun banyak sufi menulis karya serupa, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan jalan spiritual dan istilah-istilah sufistik dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga menjadi rujukan penting dalam kajian tasawuf.

 

Dalam buku ini, ia membahas ajaran dasar Islam, shalat, puasa, zakat, dan haji, dari sudut pandang sufistik. Karena itu, karya ini dianggap sebagai jembatan antara dua kitab terkenalnya, Ghunyat al-Thalibin (Bekal Para Pencari) dan Futuh al-Ghaib (Penyingkapan Kegaiban).

 

Tanpa memahami Sirr al-Asrar, seseorang sulit mengerti isi ceramah Syekh dalam Futuh al-Ghaib. Kitab ini adalah pintu gerbang menuju kota ilmu tersebut. Insyaallah, karya ini akan menerangi hati dan membimbing banyak jiwa menuju puncak pengetahuan spiritual.

 

4. Madarijus Salikin 

Kitab Madarijus Salikin merupakan salah satu karya monumental Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Kitab ini ditulis sebagai syarah (penjelasan) atas karya Syaikh Abu Isma‘il Abdullah al-Anshari al-Harawi Al-Hambali (w. 481 H) yang berjudul Manazil al-Sa’irin, sebuah karya klasik tentang tahapan-tahapan spiritual (manazil as-suluk) dalam perjalanan seorang hamba menuju Allah.

 

Ibnul Qayyim membangun kitab ini di atas ayat penting dalam Surah Al-Fatihah:

 

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ 

 

Artinya, “Hanya Kau yang kami sembah, dan hanya Kau yang kami mintakan pertolongan.”

 

Dari ayat inilah, ia menguraikan tiga dimensi besar perjalanan spiritual manusia, yaitu: pertama, taqarrub (kedekatan kepada Allah) melalui ibadah yang benar; kedua, isti‘anah (permohonan pertolongan kepada Allah) dalam seluruh urusan hidup; dan ketiga, suluk (perjalanan spiritual) menuju kesempurnaan iman dan tauhid.

 

Ketiga konsep ini menjadi kerangka dasar bagi seorang salik (penempuh jalan menuju Allah) untuk melangkah menuju makrifat dan ridha Ilahi. Ibnul Qayyim kemudian menguraikan bahwa perjalanan spiritual ini memiliki tahapan atau tingkatan yang disebut manazil as-sa’irin, yaitu stasiun-stasiun ruhani yang harus dilalui oleh seorang hamba.

 

Perjalanan itu dimulai dari taubat (التوبة) sebagai langkah pertama untuk kembali kepada Allah, dan berpuncak pada tauhid dan ridha (التوحيد والرضا) sebagai derajat tertinggi kedekatan dengan-Nya.

 

Lebih jauh, dalam proses suluk ini, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa hakikat dari seluruh amal dan perjalanan spiritual tersebut berpangkal pada akhlak. Menurutnya, inti dari agama adalah budi pekerti. Siapa yang lebih baik akhlaknya, maka lebih tinggi pula derajat agamanya. Prinsip ini juga berlaku dalam tasawuf, sebab tasawuf sejati bukan sekadar ibadah lahiriah, tetapi upaya menyempurnakan akhlak batin.

 

Sebagaimana dikatakan al-Kinani: “Tasawuf adalah akhlak. Maka siapa yang lebih unggul darimu dalam akhlak, berarti ia lebih unggul darimu dalam tasawuf.” Untuk itu, akhlak yang baik, mencakup sifat dermawan, menahan diri dari menyakiti orang lain, serta bersabar terhadap gangguan. Akhlak juga berarti menyebarkan kebaikan dan menjauhi keburukan, serta membersihkan diri dari sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat mulia.

 

Dengan demikian, dalam pandangan Ibnu Qayyim, tasawuf yang benar adalah upaya menyucikan jiwa dan memperindah akhlak hingga seseorang mencapai kedekatan dengan Allah melalui kebersihan hati dan kemuliaan budi pekerti.

 

فَصْلٌ ; الدِّينُ كُلُّهُ خُلُقٌ. فَمَنْ زَادَ عَلَيْكَ فِي الْخُلُقِ: زَادَ عَلَيْكَ فِي الدِّينِ. وَكَذَلِكَ التَّصَوُّفُ. قَالَ الْكِنَانِيُّ: التَّصَوُّفُ هُوَ الْخُلُقُ، فَمَنْ زَادَ عَلَيْكَ فِي الْخُلُقِ: فَقَدْ زَادَ عَلَيْكَ فِي التَّصَوُّفِ. وَقَدْ قِيلَ: إِنَّ حُسْنَ الْخُلُقِ بَذْلُ النَّدَى، وَكَفُّ الْأَذَى، وَاحْتِمَالُ الْأَذَى. وَقِيلَ: حُسْنُ الْخُلُقِ: بَذْلُ الْجَمِيلِ، وَكَفُّ الْقَبِيحِ. وَقِيلَ: التَّخَلِّي مِنَ الرَّذَائِلِ، وَالتَّحَلِّي بِالْفَضَائِلِ.

 

Artinya, “Fashl (Bagian): Agama seluruhnya adalah akhlak (budi pekerti). Maka siapa yang lebih unggul darimu dalam akhlak, berarti ia lebih unggul darimu dalam agama. Begitu pula halnya dengan tasawuf. Al-Kinani berkata: “Tasawuf adalah akhlak. Maka siapa yang lebih unggul darimu dalam akhlak, berarti ia lebih unggul darimu dalam tasawuf.” Dan telah dikatakan: “Akhlak yang baik adalah: bersikap dermawan, menahan diri dari menyakiti orang lain, serta bersabar atas gangguan.” Dan juga dikatakan: “Akhlak yang baik adalah menebarkan kebaikan dan menahan diri dari keburukan.” Dan ada pula yang mengatakan: “(Akhlak yang baik) ialah membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dan menghiasi diri dengan sifat-sifat mulia.” (Ibnu Qayyim Al-Jauzi, Madarijus Salikin, (Beirut: Darul Kutub al-Araby, 1997 M) Jilid II, hlm, 294).

 

5. Al-Ta‘arruf li-Madzhab Ahl al-Tashawwuf 

Kitab ini merupakan salah satu karya awal yang paling signifikan dan sistematis dalam menjelaskan ajaran tasawuf secara akademis dan moderat. Pengarangnya, Abu Bakar Muhammad bin Ishaq al-Kalābāzhī (w. 380 H/990 M), dikenal sebagai seorang ulama ahli fikih mazhab Hanafi dan ahli hadis.

 

Kitab ini ditulis pada akhir abad ke-4 H, sebuah periode penting di mana tasawuf telah mencapai kematangan dan kesempurnaan metodologi, namun juga menghadapi banyak kritik dan tuduhan bid'ah. Tujuan utama Al-Kalābāzhī adalah untuk membela ajaran tasawuf dan para sufi dengan menunjukkan bahwa praktik dan keyakinan mereka sejalan dan tidak bertentangan dengan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah.

 

Di dalam kitab ini, Al-Kalabazhi menjelaskan tentang hakikat tasawuf, bahwa tasawuf sejati adalah jalan menuju Allah. Ia mencakup akhlak yang baik, pengetahuan yang mendalam (ma’rifah), perilaku, ungkapan pengalaman spiritual, gambaran munajat, cita rasa terhadap tajalli (penyingkapan Ilahi),  serta rasa dekat kepada Allah. 

 

Semua ini membawa seseorang semakin mengenal dan mencintai Tuhannya, hingga akhirnya seluruh hidupnya hanya untuk Allah dan bersama Allah. Ia berdiri dengan-Nya, untuk-Nya, dan lenyap di dalam-Nya, Maha Suci Dia.

 

ومادة التصوف سَوَاء أَكَانَت أَخْلَاقًا أَو معرفه أَو سلوكا أَو تعبيرا عَن مُشَاهدَة اَوْ تصويرا لمناجاه أَو تذوقا لتجليات أَو تحليقا حول أشرافات فَهِيَ مَادَّة موصله بِاللَّه قَائِمَة بِهِ وَله فانية فِيهِ سُبْحَانَهُ

 

Artinya, “Dan hakikat tasawuf, baik berupa akhlak, pengetahuan, perjalanan spiritual, ungkapan tentang penyaksian, gambaran munajat, pengalaman rasa terhadap tajalli (penyingkapan Ilahi), maupun perenungan tentang puncak-puncak kemuliaan, semuanya merupakan hakikat yang mengantarkan kepada Allah, tegak karena-Nya, untuk-Nya, dan lenyap di dalam-Nya, Maha Suci Dia.” (Muhammad bin Ishaq al-Kalābāzhī, Al-Ta‘arruf li-Madzhab Ahl al-Tashawwuf, (Kairo: Darul Ma’arif, tt) halaman 3).

 

6. Qutul Qulub

Kitab ini merupakan karya ulama besar, sekaligus Maha Guru ulama tasawuf, yakni Syekh Abu Thalib al-Makki.  Ia hidup pada abad ke-3 Hijriah, di sebuah desa kecil tak jauh dari Baghdad. Bahkan, Imam al-Ghazali, pakar tasawuf, yang dikenal dengan hujjatul Islam, pun banyak menimba ilmu darinya saat menyusun Ihya’ Ulumuddin, terutama ketika membahas seluk-beluk hati dan dinamika jiwa manusia.

 

Keistimewaan kitab Qutul Qulub terletak pada bahasanya yang teduh dan persuasif, seakan mengajak pembacanya masuk ke ruang renungan yang sama dengan sang penulis. Abu Thalib al-Makki menyampaikan ajaran-ajarannya dengan kelembutan puitis, sehingga pembaca dari berbagai latar dapat menangkap pesannya tanpa merasa tersesat. 

 

Dalam penyusunannya, Abu Thalib al-Makki membagi Qutul Qulub ke dalam dua jilid yang merangkum 48 bab. Setiap bab memotret satu fase perjalanan spiritual seorang pencari, dari tauhid dan iman, dari niat yang jernih hingga kesabaran dan syukur, dari pergulatan batin hingga cinta kepada Allah.

 

Penyusunan yang runtut itu memungkinkan pembaca mengikuti alur perjalanan ruhani seorang salik, sembari merenungkan kembali langkah-langkah yang mungkin juga mereka tempuh dalam kehidupan batin masing-masing. 

 

Kitab-kitab tasawuf karya para ulama ini sejatinya adalah pedoman hidup bagi siapa saja yang ingin memperbaiki hati dan mendekat kepada Allah. Membacanya ibarat berjalan bersama para sufi, hingga akhirnya kita mengerti bahwa jalan menuju Allah selalu bermula dari hati yang bersih dan niat yang tulus. Wallahu a'lam.

 

Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman.