Penulis: Dr Mujiburrahman
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, Desember 2008
Tebal: 438 Halaman
Peresensi: Puji Hartanto
Keseluruhan gagasan yang terkandung dalam buku berjudul Mengindonesiakan Islam yang ditulis Mujiburrahman ini adalah bahwa umat Islam sebagai penghuni mayoritas bangsa yang multiagama, multi etnis, dan multi ideologis ini perlu menghayati ajaran Islam. Tujuannya mendorong terciptanya persatuan dan perekat bagi bangsa Indonesia yang tengah menghadapi ancaman disintegrasi. Mujiburrahman sesungguhnya ingin menyeru kepada kita bahwa kenyataan pluralistik mengenai politik Islam di Indonesia harus diterima dengan lapang dada, terutama jika kita mengakui bahwa ajaran Islam, termasuk politik, bersifat multitafsir.<>
Permasalahan yang hingga kini masih menjadi perdebatan mayoritas umat Islam Indonesia adalah terkait dengan persoalan Islam kaitannya dengan kebijakan-kebijakan negara dan Islam sebagai wacana dan gerakan. Kedua kelompok masalah ini saling terkait dan berinteraksi satu sama lain. Menyangkut persoalan pertama, ada anggapan bahwa seseorang tidak mungkin menjadi muslim yang baik sekaligus menjadi warga bangsa Indonesia yang baik. Untuk menjadi warga dan apalagi pemuka bangsa yang sejati, seorang muslim mesti terlebih dahulu melampaui batas-batas ke-Islam-anya. Tentu saja situasi semacam ini sangat menyulitkan karena kita dipaksa untuk memilih hanya satu dari dua pilihan yang idealnya harus diambil keduanya sekaligus.
Tapi, itulah realitas ideologis-politis kita sejak sejak awal lahirnya negara bangsa. Bertolak dari kondisi sulit ini, lahir dari kita sikap dan pendirian politik yang sesungguhnya tidak masuk akal. Yang paling mencolok adalah keputusan ideologis kita untuk memperlakukan agama sebagai institusi yang subordinatif terhadap negara. Dalam kasus ini, menarik dengan apa yang pernah dikatakan Ruslani (2004) bahwa negara dan politik seharusnya dijadikan sebagai instrumen dan bukan keharusan membentuk negara ideal bernama Islam. Alasannya, pokok ajaran dari segala yang dikehendaki dalam Islam adalah takwa kepada Tuhan. Jadi, pemerintah atau negara diwujudkan untuk menciptakan ruang dan waktu sebagai tempat bagi setiap manusia untuk dapat mengembangkan takwanya kepada Tuhan.
Dalam Islam, masalah seperti di atas termasuk kategori masalah etika. Dan, kalau seseorang betul-betul mengikuti etika yang bersumber dari ketaatan dan tauhid, hasilnya adalah sikap demokratis. Karena itu, terjadinya keputusan ideologis menjadikan Islam sebagai subordinat dari negara tidak lain karena "Islam" sebagai sistem ajaran yang kita pahami dan yakini serta kita pakai menangani negara adalah ke-Islam-an yang sebenarnya tidak ada urusannya apapun dengan negara. Yaitu ke-Islam-an individual-personal, dan paling jauh Islam untuk urusan rumah tangga. Sementara, Islam publik, Islam sebagai basis moral dan etik bagi kehidupan publik, telah disisihkan. Sebaliknya, jika pandangan ke-Islam-an publik yang kita kedepankan, kesulitan dalam hubungan ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an akan bisa diatasi.
Kemudian pada permasalahan kedua yakni Islam sebagai wacana dan gerakan. Penulis buku ini berpendapat bahwa di era reformasi, permasalahan internal yang dihadapi umat Islam pertama adalah menyangkut pluralisme. Penting digarisbawahi bahwa yang dimaksud pluralisme di sini bukanlah pluralisme teologis sebagaimana yang difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2005 silam yang menganggap semua agama sama dan dapat membawa keselamatan. Tetapi, pluralisme di sini diartikan sebagai sikap yang positif terhadap keragaman, dan upaya sungguh-sungguh untuk mengelola keragaman itu secara damai dan keadilan (halaman xv)
Mujiburrahman mengingatkan bahwa dalam mengkaji sebuah wacana dan gerakan ke-Islam-an yang kini begitu melimpah di ruang publik, yang perlu perhatikan adalah dari mana datangnya wacana-wacana itu. Sebab, wacana dan gerakan ke-Islam-an seringkali tidak terlepas dari gerakan-gerakan Islam yang tumbuh berkembang. Sebagai misal, gerakan-gerakan ke-Islam-an arus utama seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), biasa menawarkan wacana-wacana ke-Islam-an tertentu, yang berbeda dengan wacana-wacana ke-Islam-an lain seperti Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin, dan lain sebagainya. Demikian pula dengan gerakan-gerakan mahasiswa Islam seperti Himpunan Mahasiswa Islam, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, dan sebagainya, mungkin akan mengusung wacana-wacana yang berbeda, baik dalam diskusi terbuka atau aksi di jalan.
Dengan mengetahui asal-usul wacana dan gerakan Islam yang hadir di ruang publik itu, maka akan tersingkap mengenai bagaimana kiranya ruang publik yang menjadi ranah kehadiran beragam kelompok Islam dan kelompok lainnya dapat menjadi suatu kekuatan dalam mendewasakan demokrasi bangsa kita (halaman 60). Berkaitan dengan itu, merupakan sebuah kewajaran jika dalam sebuah wacana atau gerakan dari aliran Islam tertentu ada kepentingan-kepentingan yang harus diperjuangkan. Namun, yang jadi masalah adalah ketika penggunaan strategi dan intrik yang tidak beradab demi kepentingan kelompoknya semata, sehingga tujuan universal berupa pengembangan masyarakat yang demokratis, berkeadilan menuju kemaslahatan bersama menjadi hilang.
Karena itu, kajian-kajian mendalam di bidang wacana dan gerakan ke-Islam-an diharapkan juga dapat mengungkapkan apa saja kendala-kendala sekaligus peluang-peluang dari kemungkinan terbentuknya sebuah konsensus bersama tentang isu publik tertentu, khususnya yang berkaitan dengan agama, secara damai dan berkeadilan didasari sikap saling pengertian, menerima, dan bahkan kerja sama tanpa harus menjatuhkan kebenaran klaim teologisnya. Berkaitan dengan buku ini, satu kelemahan yang barangkali cukup menganggu pembacaan yaitu adanya pengulangan penyebutan fakta dan argumen di beberapa bagian buku ini. Tetapi, kekuarangan ini dapat juga bermanfaat karena pembaca dapat melompat dari satu bab ke bab lainnya tanpa harus membaca keseluruhan buku ini.
Peresensi adalah pecinta buku sekaligus pengamat sosial keagamaan