KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebut pesantren sebagai subkultur. Ya, memang, kehidupan santri, meskipun pada umumnya sama dengan komunitas lain, tapi memiliki ciri khas tersendiri. Dan tentu saja memiliki cara pandang tersendiri pada dunia dan kehidupan yang digelutinya. Hal itu karena mereka menerima pelajaran dan pendidikan dari bimbingan kiai atau ajengan yang bersumber dari naris naskah-naskah klasik Islam atau kitab kuning.
Pandangan hidup seorang santri bisa tergambar pada cerpen-cerpen karya Usep Romli HM yang pernah mengalami kehidupan pesantren di Garut, Jawa Barat. Misalnya pada cerpen dalam bahasa Sunda Ceurik Santri (tangisan santri). Cerpen tersebut berada di dalam buku kumpulan cerpen dengan judul sama yang diterbitkan pertama kali oleh Rahmat Cijulang tahun 1985. Kemudian diterbitkan ulang oleh Geger Sunten 2007.
Dari kisah yang berada di cerpen tersebut, terutama Ceurik Santri tidak lepas dengan situasi Indonesia pada masa itu, yaitu Orde Baru, terutama pada isu pembangunan yang digalakkan Presiden Soeharto. Bahkan kemudian ia mendapat sebutan bapak pembangunan. Pada masa itu, setiap orang harus bahu-membahu dalam pembangunan, tanpa kecuali. Semua harus produktif.
Nah, persoalannya, sebagaimana ditulis dalam beberapa artikel penulis NU kawakan, H Mahbub Djunaidi, kalangan santri dianggap tidak turut serta dalam pembangunan itu dan tidak produktif. Namun anehnya, kata Mahbub, kalangan siswa dan mahasiswa tidak disoroti sebagaimana santri. Padahal kedua-duanya dalam taraf tertentu, sama, sebagai pelajar.
Nah, karena itulah, sebagaimana dalam cerpen tersebut, kalangan pemerintah mengirimkan bibit ayam ras dan alat-alat pertanian untuk sebuah pesantren di sebuah desa. Ajengan di pesantren tersebut tidak menolaknya. Namun, ia pergi ke luar kota, dengan alasan menghadiri haul di Jawa selama empat hari. Begitu juga kedua putranya, tidak bisa hadir. Keduanya pergi ke Jakarta hendak mengambil kitab kiriman dari Tanah Suci Mekkah.
Serah terima benda tersebut dipercayakan ajengan kepada para santrinya.
Pada saat musyawarah kepanitiaan serah terima, terjadi perdebatan sengit tentang manfaat dan mudaratnya jika menerima benda sumbangan tersebut. Namun, pada akhirnya mereka sepakat menerima sesuai permintaan ajengan. Disusunlah kepanitiaan. Salah seorang santri yang mendapat tugas dalam kepanitiaan tersebut adalah Sarip. Dia sebagai pembawa acara. Namun, saat waktu acara dimulai, Sarip menghilang.
Santri vs Ateis
Sarip menghilang dari acara karena yang datang adalah orang yang sangat dikenalinya, yaitu Gunawan. Gunawan adalah temannya saat di Sekolah Menengah Atas. Keduanya berselisih paham tentang agama Islam yang menurut Gunawan sangat ketinggalan zaman, tidak cocok dengan zaman modern karena agama melarang pergaulan bebas dan minum-minuman keras. Sarip menentang keras pendapat Gunawan tersebut.
"Euh ana kitu, lain Islam anu teu modern atawa teu luyu jeung norma-norma jaman moderen, tapi silaing anu tinggaleun jaman. Tapi silaing anu teu luyu jeung jaman moderen."
Terjemahan bebasnya:
"Bukan begitu, bukan Islam tidak sesuai dengan kondisi kekinian dan norma-norma zaman modern, tapi kamu ketinggalan zaman. Kamu yang tidak sesuai dengan zaman modern".
"Naha?"
Terjemahannya:
"(Kenapa)?"
"Yeuh pamabokan, pergaulan bebas alias perjinahan teh kuno. Kuno pisan. Samemeh Islam gumelar, kabeh pangeusi dunya, di Arab, di Rumawi, di Persia, geus ngabaju kana inuman keras, ngabaju kana pergaulan bebas. Torojol datang Islam anu disebarkeun ku Nabi Muhammad SAW, bangsa inuman keras, bangsa lacur perjinahan, dicaram."
Terjemahan bebasnya:
"Mabuk-mabukan dan pergaulan bebas alias perzinaan itu adalah perilaku kuno. Sangat kuno. Sebelum Islam datang, kebanyakan di dunia ini seperti di Arab, Romawi, Persia, melakukan minum-minuman keras dan pergaulan bebas. Ketika datang Islam yang disebarkan Nabi Muhammad SAW, tindakan semacam itu dilarang."
Gunawan banyak teman yang kemudian mengamini pemikirannya karena ia memiliki uang banyak. Teman-temannya sering diajak makan bareng atau ikut berangkat atau pulang sekolah menggunakan mobilnya. Sementara teman-temannya yang lain banyak yang tidak mau tahu menahu perihal itu. bahkan gurunya sendiri. Padahal menurut sarip, Gunawan mengandung pemikiran ateisme.
ng."
Namun, menjadi pergolakan batin Sarip adalah ketika Gunawan justru datang ke pesantren untuk menyerahkan sumbangan ayam ras dan cangkul. Bahkan ia berpidato yang isinya memuji Islam, santri, pesantren. Sarip yang mengetahui masa lalunya, menyingkir dari pidato tersebut. Ia tak mau menemuinya. Dan di malam harinya, dalam doa-doa selepas tahajudnya, ia menangis. Ia ceurik. Ia telah meninggalkan tugas dan merasa terbebani dengan sikapnya yang berburuk sangka. Sebab, ia tidak bisa memastikan apakah pidato Gunawan itu kamuflase atau memang sudah berubah dari masa lalunya.
Ya Allah, mugia anjeun henteu nibakeun siksa ka abdi sadaya saupama abdi kaliru. Mugia anjeun henteu ngabeungbeurat sapertos anu ditibakeun ka jalmi-jalmi saheulaeun abdi. Mugia anjeun ngalebur dosa-dosa abdi, ngaping, ngajaring abdi sadaya sareng mugia Anjeun maparin rahmat ka abdi sadaya. Paparin abdi kakiatan sareng pitulung kangge ngungkulan reka perdaya jalmi-jalmi kapir. Amin ya rabbal alamain.
Terjemahan bebasnya:
Ya Allah, semoga Engkau tidak menimpakan siksa kepadaku seumpama aku keliru. Semoga Engkau tidak menimpakan hal itu sebagaimana yang menimpa orang-orang terdahulu. Semoga Engkau menghapus dosa-dosaku, menjaga dan memberi rahmat kepadaku. Berikan kekuatan dan pertolongan dari kejahatan orang-orang kafir. Amin.
Kumpulan cerpen ini, sebagaimana cerpen-cerpen Usep Romli HM, sangat enak dibaca, tentunya bagi orang yang memahami bahasa Sunda. Usep terampil menyisir batin orang pesantren. Di samping ia pernah ada di dalamnya, ia termasuk penulis kahot tidak hanya dalam bahasa Sunda, melainkan bahasa Indonesia. Hal itu bisa dibaca juga dalam novelnya Bentang Pasantren.
Namun, dalam Ceurik Santri ini ada sedikit kejanggalan, yaitu anak SMA yaitu Gunawan, telah terbiasa membaca pemikiran tokoh-tokoh Barat yang lumayan susah dipahami seperti Sartre, Nietzsche. Dan anak-anak itu mampu memahami isinya. Sementara di pihak Sarip juga sepertinya sudah memahami Al-Ghazali, Fazlur Rahman, Al-Maududi, dan lain-lain. Mungkin jika saat ini sangat mungkin, tapi ini terjadi tahun 1980-an. Namun demikian, sebagai satu kasus, anak SMA di masa itu yang mampu seperti itu bukanlah yang mustahil.
Peresensi Abdullah Alawi, Nahdliyin yang kini tinggal di Bandung
Data Buku
Judul : Ceurik santri
Pengarang :Usep Romli H. M.
Penerbit Rahmat Cijulang, 1985
Tebal 88 halaman