Jika kita tidak mampu memberi bantuan kepada orang lain, minimal kita tidak ikut memperkeruh suasana dengan menyebarkan hoaks yang merugikan masyarakat.
Tahun ini merupakan kali kedua peringatan hari raya Idul Adha dalam situasi pandemi. Kondisi semakin parah dengan munculnya varian Delta yang lebih gampang menyebar dengan tingkat bahaya lebih tinggi. Pemerintah kembali melakukan pembatasan sosial dalam bentuk PPKM Darurat untuk mencegah meluasnya Covid-19. Keinginan untuk merayakan Idul Adha secara meriah kembali tertunda.
Berita duka berlalu lalang menginformasikan kematian saudara, kerabat, dan teman-teman yang sebelumnya masih segar-bugar. Jumlah korban meninggal setiap harinya semakin bertambah, yang kini mencapai angka di atas seribu orang per harinya. Rumah sakit yang semakin hari semakin penuh; tabung oksigen sulit diakses. Banyak di antara kita yang harus menjalani isolasi mandiri, dengan mengurung diri di kamar selama 14 hari yang menimbulkan tekanan psikologis.
Bencana ikutan lain siap menunggu jika situasi seperti ini tidak segera dapat diselesaikan, apalagi wacana perpanjangan PPKM Darurat mengemuka. Akan ada banyak pemutusan hubungan kerja (PHK), padahal mereka menjadi tulang punggung keluarga.
Idul Adha secara substansi mengajarkan kepada kita untuk menolong dan peduli kepada sesama. Kita dapat mengambil spirit pengorbanan Nabi Ibrahim yang diuji oleh Allah untuk menyembelih putranya Ismail, seorang anak yang sangat dicintainya, yang begitu lama dinantikan kelahirannya. Anak adalah darah daging terkasih yang tak dapat ditukar dengan apa pun. Kita juga dapat melihat pengorbanan Ismail, yang rela menyerahkan nyawanya, sesuatu yang tak ada yang lebih berharga selainnya, demi ketaatan kepada Allah. Keduanya insan ini lolos menjalani ujian yang mahaberat, dan prosesi mengalirkan darah manusia pun batal, diganti dengan domba. Inspirasinya kita rayakan setiap tahun dalam bentuk memotong hewan kurban untuk dibagikan kepada yang membutuhkan.
Dalam konteks itu, inilah saatnya bagi kita semua untuk berkurban bagi para korban pandemi Covid-19. Inilah saat yang paling tepat bagi kita untuk meningkatkan kepekaan sosial dengan memberikan pertolongan kepada orang-orang yang sangat membutuhkan bantuan dan dukungan. Uluran tangan kepada orang-orang yang sedang tertimpa bencana ini memberikan pahala yang tak kalah besarnya dengan menyembelih hewan kurban. Bahkan secara substansi, dapat memiliki nilai yang lebih tinggi.
Manusia adalah makhluk sosial yang mampu menghadapi tantangan alam yang keras dari kepunahan karena kemampuannya berpikir dan bekerja sama. Secara fisik, manusia kalah dengan beberapa hewan seperti harimau, gajah, banteng, dan lainnya, namun kelebihan inilah yang akhirnya membuat kita mampu mengelola alam ini.
Sayangnya, sisi manusia sebagai makhluk sosial yang suka bekerja sama ini semakin tergerus oleh individualisme. Sikap mementingkan diri sendiri semakin menonjol ketika banyak orang merasa bahwa segala sesuatu dapat dibeli dengan uang, yang kini tampaknya menjadi tujuan pencapaian dan prestasi tertinggi yang dicita-citakan.
Pekerjaan menuntut manusia menjadi semakin sibuk dan tak memiliki banyak waktu memikirkan orang lain. Hubungan manusia semakin didasarkan atas pendekatan kontraktual, hubungan kepentingan yang mana satu pihak menerima jasa sementara yang lainnya membayarkannya. Hubungan berakhir ketika kesepakatan selesai. Sisi sebagai manusia telah tergerus oleh materialisme yang menjadikan manusia sekadar komoditas yang bisa dipertukarkan dengan uang.
Pandemi yang tidak kenal status sosial ini sesungguhnya mengingatkan untuk kembali kepada fitrah kita sebagai makhluk sosial yang harus saling peduli dan bekerja sama. Kepedulian bukan sekadar memberikan berbagai makanan, minuman, atau bingkisan lain kepada orang yang sedang isolasi mandiri atau sedang di rumah sakit, tetapi memberikan perhatian dengan menyapa atau menanyakan kabar perkembangan sakit yang sedang dialaminya. Ini akan sangat membantu psikologi orang yang sedang sakit, bahwa mereka mendapat dukungan sosial.
Jika kita tidak mampu memberi bantuan kepada orang lain, minimal kita tidak ikut memperkeruh suasana dengan menyebarkan hoaks bahwa Covid-19 ini merupakan konspirasi, tidak mau divaksin, mengampanyekan tidak perlu pakai masker, dan tindakan lain yang kontraproduktif terhadap upaya mengatasi pandemi yang secara total di seluruh dunia telah membunuh lebih dari 4 juta jiwa.
Dengan mematuhi protokol kesehatan, kita sesungguhnya telah membantu menjaga situasi tidak menjadi lebih buruk. Jika sikap ini menjadi kesadaran banyak orang, menjadi pemahaman yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka penyebaran penyakit ini akan bisa dibatasi. Sekalipun ini bentuk pengorbanan yang rendah, namun untuk itu pun, masih banyak orang yang tidak mampu. Mereka tidak mau diam di rumah, meskipun tidak ada keperluan mendesak, mereka tidak mau menggunakan masker karena tidak nyaman, bahkan mereka tidak mau divaksin, sekalipun secara ilmiah terbukti mengurangi risiko.
Ada banyak alasan mereka tidak mau berkorban. Bisa jadi karena sikap cuek dan tidak nyaman dengan segala pembatasan. Bisa karena faktor politik karena pemerintah yang berkuasa bukan kelompok yang didukungnya, bisa juga pemahaman agama, yang menganggap takut pada penyakit mengalahkan ketakutan kepada Allah.
Kita tidak tahu sampai kapan pandemi ini akan berakhir. Berbagai varian baru muncul, sehingga sangat mungkin varian-varian lain dengan tingkat penyebaran yang lebih tinggi dan kemampuan membunuh lebih ganas bisa muncul. Dunia menjadi semakin tidak stabil. Dengan kembali kepada fitrah kita sebagai makhluk sosial yang bersedia untuk berkorban untuk kepentingan sesama, situasi berat ini akan dapat kita lalui lebih mudah. (Achmad Mukafi Niam)