Risalah Redaksi

Imprealisme Kebudayaan

Jumat, 7 November 2003 | 18:25 WIB

Imprealisme sebagai puncak dari kolonialisme terus menggejala baik dalam bentuk paling kasar imperialisme politik, dan ekonomi hingga dalam bentuk yang lebih halus yaitu imprealisme kebudayaan, walaupun ketiganya tidak bisa dipisahkan, satu bentuk selalu mengandaikan yang lain, karena itu kesemuanya merupakan makhluk jahat, yang menyebarkan kesesatan dan kejahatan ke seluruh koloni yang dikuasai.

Kebudayaan besar selalu mempengaruhi kebudayaan yang lebih kecil, sementara kebudayaan menjadi besar, juga karena memiliki dukungan politik dan ekonomi yang kuat. Dengan adanya dukungan politik dan ekonomi yang kuat itulah kebudayaan negara besar akan menggilas kebudyaan lebih kecil. Dalam era penjajahan konvensional, banyak terjadi negara besar menghancurkan tidak hanya kekuasaan politik bangsa yang dijajah, melainkan juga menghancurkan pusat-pusat kebudayaan, sehingga bangsa yang semula maju berubah menjadi terbelakang.

<>

Bangsa Indonesia sejak zaman Belanda setidaknya mengalami penjajahan budaya secara intensif, karena pada masa sebelumnya baik masa Hindu, Budha atau Islam kebudayaan dikembangkan melalui proses tawar menawar yang panjang, sehingga diterima secara suka rela bukan secara terpaksa. Akhirnya poses itulah yang mebentuk kebudayaan Indonesia yang pluralis, toleran sesuai dengan kondisi tempat dan keseuaian etnis serta zaman.

Sebaliknya Belanda ketika mulai merebut sentra-sentra perdagangan, kemudian dilanjutkan dengan sentra-sentra kekuasaan, maka perdagangan nasional serta kekuatan politik bangsa ini mulai dihancurkan. Ketika menciptakan pendidikan sebenarnya juga dalam rangka imperialisme, sebab mereka bukan ingin mencerdaskan bangsa ini, melainkan butuh tenaga penjajah dari kaum pribumi, maka tidak jarang dari situ muncul Belanda coklat, yakni orang pribumi yang telah terbelandakan, yang akhirnya tercerabut dari akar kebudayaannya sendiri.

Ketika Belanda hendak menyatukan pendidikan dengan mengeluarkan kebijakan Ordonansi sekolah liar, maka banyak sekolah yang diangap illegal ditutup, sementara pesantren yang juga digolongkan liar terus berjalan, sebab institusi tradisional ini tidak ada kaitannya dengan Belanda, ada jauh sebelum Belanda datang. Dan Belandapun tiak kuasa untuk mencampuri lembaga tradisional itu, karena independensi pesantren sangat tinggi, lagian mereka karena kemandiriannya secara ekonomi juga mandiri secara poliotik dan kebudayaan, sehingga penguasa kolonial itu tak bisa berbuat apa-apa.

Maka sangat ironis sebuah negara baru yang masih kurang beradab seperti Amerika Serikat hendak mengubah system pendidikan pesantren, sebuah lembaga pendidikan yang lahir dari sebuah peradaban yang sangat matang, yang penuh dengan kearifan tradisional dan mengakar dengan kedewasaan bangasa ini. Sebuah imperialisme kebudayaan yang norak itu tidak lain muncul dari kepanikan sebuah negara besar yang mulai limbung, yang sudah  tidak mampu lagi menahan kekuasaannya sendiri, sehingga tidak bisa membedakan masa sebab mana akibat. Ini tidak hanya dialami para politisi, tetapi para ilmuwan Amerika menderita penyakit yang sama, rabun dengan realitas Indonesia. Mestinya bisa membedakan mana pesantren yang menjadi basis kelompok Islam radikal, dengan pesantren NU yang telah berabad menciptakan kerukunan social.

Tentang toleransi dan pluralisme, Amerika tidak perlu mengajari pesantren, melainkan harus belajar pada pesantren. Sebab mesti diingat ketika pesantren mengembangkan ajaran pluralisme dalam berkebudayaan, menerima segala spectrum pemikiran dan keyakinan dituduh para ilmuwan yang didikan Amerika sebagai sinkretis. Membela dan menghormati keanekaragaman dianggap keterbelakangan. Baru ketika puritanisme Islam gaaya puritanisme kebudayaan Amerika itu berkembang Amerika justeru kelabakan, sementara pesantren tradisional yang umumnya berafiliasi ke NU tidak tergoda dengan cemoohan akademis itu. Karena pluralisme dan toleransi telah dianggap sebagai keharusan dalam sebuah bangsa yang serba jamak ini.

Terhadap kehendak sebuah bangsa yang tak tahu diri dan mengintervensi sebuah lembaga keagamaan tradisional yang terhormat itu, maka layak kalangan kiai pesantren tradisional tersinggung. Sebab sikap itu dianggap campur tangan yang keterlaluan. Belanda sendiri yang secara politik hadir dan menjajah negeri ini tidak segegabah Amerika, demikian rezim represif Soeharto selama 32 tahun berkuasa, tidak berarni mengubah system pendidikan pesantren, paling hanya mempengaruhi beberapi kiai yang bisa ia taklukkan. Sementara pendidikan pesantren tetap independen dengan sistemnya sendiri, karena itu bisa memberi keanekaragaman pendidikan nasional.

Pendidikan pesantren memang mengutamakan moralitas, karena itu ia menolak segala kemungkaran dan ketidakadilan, karena itu selalu ada dalam posisi rakyat, terutama dalam kaitan dengan masuknya perdagangan bebas yang melibas ekonomi rakyat. Apakah pesantren juga mau dihalau di komitmennya terhadap umat yang dilayaninya itu. Padahal itu merupakan tugas profe


Terkait