Risalah Redaksi

Ironi Di Negeri Para Doktor

Jumat, 20 Juni 2003 | 13:24 WIB

Jakarta, NU.ONline
Doktor sebagai gelar akademik tertinggi telah banyak dimiliki oleh rakyat negeri ini, kalau zaman kolonial hanya anak bangsawan dan pamong praja yang bisa memperoleh gelar terhormat itu, maka pada saat ini siapa saja bisa mendapat gelar tersebut, soalnya cara juga sudah semakin terbuka. Baik yang ditempuh secara formal, ada yang honoris, dan ada juga yang bersifat plagiaris, semuanya tumplek blek memenuhi di republik ini.

Untuk itu anda jangan berharap menjadi sesuatu tanpa gelar itu, maka dengan cara apapun harus dimiliki, sebab tidak lama lagi akan keluar keputusan menjadi politisi, anggota DPR, menteri apalagi presiden harus seorang sarjana, dan tanda kesarjanaan paling top ya doctor itu. Nampaknya walaupun itu belum menajdi keputusan, tetapi masyarakat politik telah siaga untuk itu, sehingga sebagian besar politisi sudah bergelar doctor.

<>

Mengomentari keadaan itu Kiai Sahal Mahfud ketika dianugerahi gelar doctor oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah mengatakan dengan keras bahwa krisis yang terjadi di republik ini bukan karena kekurangan doctor, melainkan karena kurangnya orang yang berperilaku jujur. Ketika banyak doctor tetapi tidak diiringi banyaknya sifat jujur maka berarti kedoktoran tidak ada korelasinya dengan kejujuran, ini berarti telah terjadi pengkhianatan dari kaum cendekiawan. Itulah sebenarnya yang hendak dikritik oleh Kiai Sahal dalam forum akademik itu. Gambaran sebuah ironi di negeri para doctor.

Dalam khazanah masyarakat Indonesia kata politik telah begitu tercemar, sehingga sering didentikkan dengan menipu, menjegal dan persekongkolan. Ini bukan kesalahpahaman, sebab saat ini politik diberi muatan semacam itu. Karena itu dipelukan kekuatan untuk mengubah realitas politik, sehingga pemaknaan politik pun dengan sendirinya akan berubah.

Dahulu pernah ada impian, rendahnya kualitas politik akibat rendahnya tingkat pendidikan para politisi. Tetapi kenyataannya ketika tingkat pendidikan rata-rata para politisi telah sangat tinggi, realitas tidak hanya semakin baik, tetapi semakin buruk. Jangankan mengubah kultur politik yang adaa menjadi sebagai sebuah perjuangan pembebasan kelompok tertindas dan untuk memanusiakan manusia. Sebaliknya  sebagai sarana  korupsi dan manipulasi yang lebih sarkas.

Semuanya itu berkaiatan dengan system pendidikan yang ada, pendidikan kita memang berkembang sangat cepat dan menyentuh hampir semua lapis masyarakat, dan berhasil memobilisasi masyarakat secara vertikal, bagaimana anak seorang peti kampung bisa menjadi profesor atau pejabat tinggi. Tetapi karena pendidikan kita berorientasi demikian pragmatis yaitu menciptakan tenaga kerja untuk mengisi pembangunan. Pendidikan hanya mengajarkan pengetahuan teknis, tetapi tidak disertai pemikiran filosofis, dengan demikian tidak berkembang pemikiran kritis.

Karena tidak diperkenalkan pada sikap kritis, dan hanya dibiasakan menerima instruksi saja, maka produk pendidikan saat ini  sangat pintar dengan technical know how (kemampuan teknis), tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang know why (mengapa sesuatu terjadi) dan dikerjakan, maka akhirnya banyak orang pintar tetapi tidak bermoral, banyak orang pintar tetapi tidak kreatif untuk mencari terobosan agar bisa mengatasi krisis ini. Tyetapi ironinya berbagai pertemuan diselenggarakan untuk mencari solusi bagi krisis ini, anehnya pertemuan itu diselenggarakan dan dihadiri oleh orang-orang yang turut menciptakan krisis ini. Dan sampai sekarang juga belum berhenti membuat krisis, dengan cara korupsi dan manipulasi asset rakyat dan negara.

Suasana ini memang kelihatan muram, tetapi kemuraman bukan alasan untuk pesimis, sebab kalau ada yang mengatakan politik sebagai seni kemungkinan, maka politik sangat mungkin dijadikan sarana untuk kejahatan. Karena politik masih sebagai seni kemungkinan, maka politik bisa dijadikan sarana untuk perjuangan keadilan, kerakyatan dan kemanusiaan.  Optimisme mesti terus dijaga, sebab kalau pesimisme yang terjadi maka seseorang akan bersikap pragmatis, pasrah dengan keadaan, lalu ikut larut.

Sementara optimisme juga tidak begitu saja bisa dibangun ditengah kemuraman, hanya orang yang mengerti sejarah yang punya optimisme, sebab dengan mengerti sejarah nalar seseorang dan jagat rohaninya menjadi luas dan dalam, sehingga luas cakrawala berpikirnya, termasuk cakrawala harapannya. Orang semacaam itu yang tidak tunduk pada keadaan, tetapi mampu mengarahkan keadaan, sehingga  diharapkan mampu menyelamatkan keadaan. (MDZ)

 

 


Terkait