Zaman revolusi, walaupun lembaga pendidikan kacau, tetapi zaman itu menempa orang dalam berbagai kesulitan dan tekanan, yang merupakan proses pembentukan mental seseorang. Oleh karena itu kita bisa melihat beberapa kader zaman itu. Walaupun pendidikannya terbatas tetapi cara berpikir, cara mengambil tindakan dan cara menjalankan kebijakan sangat matang, sehingga hasilnya bisa dirasakan sampai saat ini.<>
KH Idham Chalid yang baru saja meninggal, seorang Ketua Umum PBNU, anak seorang Kiai Kampung di pedalaman Kalimantan yang mampu berprestasi menjadi wakil Perdana menteri, Ketua MPR dan Ketua Dewan Pertimbangan Agung serta menjabat di berbagai kementerian. Pada saat yang sama, di NU juga lahir tokoh-tokoh dengan kualitas dan kapasitas setara, seperti Ahmad Syaichu, Djamaludin Malik, Nuddin Lubis, Saifuddin Zuhri dan K Masykur, termasuk Subchan ZE. Kebesaran Kiai Wahab dan K Idham Chalid tidak menutupi kebesar kader yang lain, mereka berjalan seiring, sehingga NU menjadi organisasi yang besar dan disegani.
Pemimpin yang muncul pada saat itu benar-benar primus inter pares (paling menonjol di antara orang-orang yang kemampuannaya rata). Ini tidak lain menunjukkan adanya pembagian peran yang sama, pada semua kader sehingga semuanya bisa maju bersama. Luasnya spectrum kegiatan NU, apalagi saat menjadi partai politik, tidak memungkinkan terjadinya monopoli akses dan peran karena semua lini harus dijaga. Dalam mengemban amanah menjaga lini itulah, mereka berkesempatan meningkatkan kualitas dan kemampuan individualnya.
Berbeda dengan generasi NU berikutnya, kapasitas dan kualitas tidak merata, baik di jajaran syuriah maupun tanfidziyah. Ini terjadi akibat tidak adanya sistem kaderisasi yang merata, dalam arti pemberian wewenang dan peran yang merata, sehingga yang satu terlalau menonjol yang lain kurang menonjol, bahkan surut.
Karenanya, kini kita harus mulai memperhatikan sistem penempatan kader. Pemberian wewenang yang proporsional dan merata merupakan langkah yang penting. Sehingga, dengan pengalaman yang merata, diharapkan akan muncul kader yang memiliki kapasitas yang merata. Dengan demikian, maka akan mudah bagi NU untuk mencari calon pemimpin yang diunggulkan.
Bagaimanapun NU adalah sebuah organisasi besar yang tidak mungkin hanya diurus oleh beberapa orang saja dengan kualitas dan kapasitas seadanya. Dibutuhkan kader yang mumpuni dalam menggerakkan roda organiasasi. Peran organisasi sangat diharapkan oleh warga Nahdliyin yang besar jumlahnya, bahkan juga oleh bangsa ini sebagai pencipta keseimbangan kehidupan berbangsa.
Hal ini dengan sendirinya, NU membutuhkan kader yang bisa ditempatkan di semua sektor kehidupan, karena itu dibutuhkan banyak kader yang mumpuni untuk menjalankan tugas keumatan dan kebangsaan ini.
Zaman Revolusi telah berlalu tempaan dan paksaan zaman tidak terjadi lagi, tetapi kaderisasi perlu dilakukan secara lebih sistematis dan programatis. Kelapangan pikiran di kalangan pemimpin diharapkan mampu memberikan peran dan peluang yang sama, sehingga ke depan kita tidak mengalami krisis kader. JIka tidak, maka kita akan kesulitan mencari pemimpin yang layak untuk memimpin organisasi yang besar ini.
Dari pemimpin terdahulu seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab, kita lihat mampu berbagi peran sangat rapi sehingga NU menjadi organisasi besar dan disegani. Begitu juga kelihatan bagaimana Kiai Idham Chalid bermain begitu piawai dan berbagi peran dengan Ahmad Sjaichu, Syaifuddin Zuhri, Zainul Arifin dan sebagainya, sehingga NU mampu memberi pengaruh besar pada bangsa yang besar ini. (Abdul Mun’im DZ)