Korban-Korban Negara Adikuasa: Palestina, Afghanistan, hingga Ukraina
Ahad, 6 Maret 2022 | 19:15 WIB
Serangan Rusia ke Ukraina yang dilancarkan pada 24 Februari 2022 mendapat kecaman keras hingga dijatuhkannya berbagai sanksi dari negara-negara Barat. Korban tewas terus berjatuhan, infrastruktur mengalami kerusakan. Rakyat sipil terus mengungsi ke negara tetangga untuk mengamankan diri sebelum menjadi korban. Entah sampai kapan perang yang dapat dianalogikan sebagai pertarungan antara Daud dan Goliat ini berakhir, namun yang pasti korban terbesar adalah rakyat.
Sekalipun tidak menerjunkan pasukan ke Ukraina, NATO, Aliansi Pertahanan Atlantik Utara ini memberikan bantuan militer untuk mendukung perlawanan Ukraina. Tak ada satu negara pun yang berhak menginvasi negara lain, demikian alasan untuk mencari dukungan internasional.
Memang betul bahwa tak ada hak satu negara untuk menginvasi negara lainnya, namun jika kita menengok sejarah yang terjadi di Timur Tengah, di mana Israel menduduki Tepi Barat atau ketika Amerika Serikat menyerang Irak dengan tuduhan adanya senjata kimia yang kemudian tak terbukti, menjadi jelas sekali adanya perbedaan sikap blok negara-negara Barat tersebut dalam menggunakan konsep kemerdekaan negara lain. Ratusan ribu orang Irak meninggal sebagai dampak langsung atau tidak langsung perang yang diinisiasi oleh Amerika Serikat dan didukung para sekutunya. Tak ada presiden AS atau PM Inggris yang diseret ke Mahkamah Internasional atas tuduhan kejahatan perang.
Yang paling menderita adalah Afghanistan yang berusaha ditaklukkan oleh Uni Soviet pada 1979 dan Amerika Serikat pada 2001. Dua-duanya pulang dengan tertunduk malu karena kekalahan yang ditimbulkannya. Namun yang paling menderita tetaplah rakyat Afghanistan yang dari dekade ke dekade berikutnya selalu hidup sengsara. Mereka tak sempat mengembangkan potensinya karena masih menghadapi persoalan mendasar tentang hidup dan mati di hari esok, sementara negara-negara maju sudah berpikir bagaimana pergi ke Mars atau menginisiasi teknologi digital paling canggih seperti Metaverse.
Perang bukan hanya soal pertarungan senjata paling canggih, tetapi juga bagaimana mempengaruhi wacana publik untuk mendapat dukungan bahwa perang tersebut bertujuan untuk menyejahterakan rakyat, menggulingkan penguasa tiran, menciptakan demokrasi, hingga memperjuangkan kemanusiaan. Namun, apa yang disampaikan oleh media pendukung dan apa yang terjadi di lapangan bisa jauh berbeda. Penjara Abu Ghraib menjadi saksi kekejaman tentara Amerika Serikat di Irak.
Tak banyak negara yang berani menentang Amerika Serikat ketika negara tersebut melakukan invasi ke negara lain secara tidak sah. Banyak yang diam, sebagian bahkan memberikan dukungan terhadap aksi tersebut. Negara ini terlalu kuat dan bisa memberikan pembenaran atas apa saja tindakan yang dilakukan. Rusia tak sekuat AS. Sekalipun punya senjata nuklir, kekuatannya secara keseluruhan dalam bidang militer dan ekonomi tak sebanding dengan seluruh anggota NATO.
Setelah sepanjang sejarahnya selalu dilanda perang, usai Perang Dunia I, sejumlah negara membentuk Liga Bangsa-Bangsa untuk menciptakan perdamaian dan keamanan dunia. Namun hal tersebut ternyata tidak berhasil mencegah terjadinya Perang Dunia II yang menimbulkan korban lebih dari 50 juta jiwa. Sebagai perbaikan atas kegagalan tersebut, maka dibentuklah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lima negara pemenang Perang Dunia II memiliki hak veto yang sangat istimewa dalam Dewan Keamanan PBB.
Prinsip perdamaian dan keamanan dunia memang penting, namun ketika dihadapkan pada kepentingan nasional, bisa saja kepentingan perdamaian dan kemanusiaan dikalahkan oleh kepentingan yang lebih kecil. Para politisi pemimpin negara dipilih oleh rakyat. Jika ada kebijakan yang merugikan rakyat, sekalipun untuk kebaikan yang lebih besar demi kepentingan dunia, hal tersebut tidak akan dilakukan. Para politisi kemungkinan besar akan lebih memilih kepentingan nasionalnya, yang dengan demikian juga kepentingan pribadinya untuk tetap populer di mata rakyat, untuk tetap terpilih kembali di periode berikutnya.
Konflik-konflik besar dunia yang hingga kini tidak selesai atau yang muncul belakangan terjadi karena negara pemilik hak veto melakukan veto keputusan penting yang dianggap merugikan negaranya atau negara yang didukungnya. Amerika Serikat selalu memveto keputusan yang merugikan Israel. Terakhir, seperti sudah diduga, Rusia memveto DK PBB soal invasinya ke Ukraina.
Sanksi ekonomi, zona larangan terbang bagi pesawat asal Rusia, atau larangan tim Rusia ikut kompetisi internasional sepak bola yang dikelola oleh FIFA terkesan heroik bagi publik bahwa dunia telah melakukan sesuatu untuk Ukraina, namun sesungguhnya hal tersebut tidak berdampak banyak. Dunia membutuhkan sebuah perubahan sistem yang mana tidak ada negara yang mendapat hak istimewa, yang bisa melakukan apa saja sesuai kehendaknya. Siapa yang bisa menjamin bahwa di masa depan Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan China tidak melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Rusia.
Tak ada jalan mudah untuk mengubah sistem PBB dengan hak veto tersebut. Siapa yang dengan suka rela hak istimewanya dicopot? Mereka punya kekuatan ekonomi untuk menekan negara-negara kecil dan lemah yang membutuhkan bantuan dan akses pasar. Mereka bisa memboikot teknologi penting. Mereka punya nuklir yang dapat membuat negara lain takut jika berbuat macam-macam. (Achmad Mukafi Niam)