Lebaran terjadi setelah melakukan latihan fisik dan rohani selama sebulan, dengan latihan itu diharapkan manusia mendapatkan ketakwaan. Ketika manusia berhasil dengan puasanya untuk mencapai ketakwaan, barulah mereka akan memnemukan lebaran yang membawa kemenangan dan pembebasan. Sementara itu arti kemenangan dan pembebasan bagi kaum elite dan rakyat miskin tentu sangat berbeda.
Bagi kaum miskin dan umumnya bangsa Indonesia pembebasan adalah pembebasan DARI, bukan kebebasan UNTUK, yaitu bebas dari kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan. Semuanya itu merupakan kebutuhan dasar agar nmereka bisa hidup secara layak, sebagai manusia. Lain lagi arti kebebasan bagi masyarakat elite yang kaya, mereka memaknaia kebebasan bukan dari tapi kebebasan untuk, berekspresi, kebebasan berkreaasi, kebebasan pers, kebebasan berbicara, yang semuanya bersifat sekunder. Bahkan tidak jarang untuk memperoleh kebebasan itu mereka menjual agama, negara dan harga diri.
<>Itulah naifnya di masyarakat kita, di tengah jeritan rakyat miskin, para elite pemimpinnya lebih lantang menyuarakan kebebasan untuk berbicara, kebebasan pers, dan sebagainaya, yang sama sekali tidak mengacu pada amanat penderitaan rakyat. Tetapi melayani kepentingan kelompok elite yang ingin mendapatkan hak istimewa, karena itu undang-undang ketertiban umum dibuat, agar kelangan elite tidak terganggu munculnya rakyat dipinggiran jalan.
Kalau puasa yang penuh lapar dan dahaga bisa menghayati betapa beratnya kehidupan kaum miskin yang papa, sehingga mereka menaruh simpati dan splidaritas lalu membela dan membebaskan mereka. Itu baru namanya puasanya bisa mencapai tingkat takwa. Dan mereka itu yang memperoleh kemenangan, pembebasan dan kebebasan yang sesungguhnya. Bebas dari beban nafsu sendiri, sehingga meningkatkan kepedulian pada pihak lain yaitu mayoritas rakyat yang menderita.
Ibarat sebuah pertempuran, kemenangan yang diperoleh dalam Idul Fitri bukan kemenangan yang begitu saja diperoleh tanpa perjuangan. Perjuangan untuk meraih kemenagnan sangat berat dalam sebuah pertempuran yang dahsyat. Untuk mencapai kemenangan itu mereka tidak ahanya harus menahan nafsu, tetpi disertai banyak beramal, bertahajjud sepanjang malam, membaca ayat suci serta amalan lainnya, termasuk menyantuni fakir miskin dengan mendarmakan harta dan ilmunya.
Di tengah masyarakat modern yang individualis dan pragmatis, semua prinsip itu sangat susah dijalankan, terutama di lingkungan masyarakat kota yang lingkungan sosial dan suasana psikologis, bahkan secara kultural kurang mendukung. Semuanya itu membuat perjuangan menjadi berat. Belum lagi godaan syahwati yang terpampang sepanjang jalan, yang bisa merongrong hikmah puasa.
Tetapi perlu diingat bahwa pahala diperoleh sebesar perjuangan yang dilakukan, maka kalau perjuangan yang dilakukan berat maka pahala dan hikmah yang diperoleh juga sangat besar, bila tantangan dan perjuangannya ringan maka pahala yang diperoleh juga kecil. Ini merupakan harapan besar bagi masyarakat dewasa ini, beratnya perjuangan ini diharapkan mendapatkan imbalan yang setimpal. Dengan harapan ini masyarakat bisa memperoleh pembebasan dari berbagai macam penderitaan, baik yang diderita sendiri maupun penderitaan kolektif sebagai masyarakat atau bangsa.
Satu perkara lagi adalah masyarakat berkembang jadi masyarakat individualistik, yang dengan sendirinya solidaritas rendah, maka dengan sendirinya komunikasi dan kerjasama antara manusia menjadi sangat berkurang. Ini suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi proses pembebasan itu. Untuk satu hal ini agama mendorong terjadinya reintegrasi sosial melalui silaturrahmi pada hari lebaran, saling mencintai dan saling memaafkan. Kenal atau tidak kenal, apapaun ras dan sukunya dan strata sosialnya dipersatukan kembali.
Reintegrasi sosial itulah yang harus segera diakumulasi menjadi solidaritas sosial yang kokoh, sehingga dinamika masyarakat terjadi antar satu dengan yang lain bisa melakukan kerja sama, untuk suatu cita-cita bersama. Komunikasi dan komunalisme kembali terbentuk melalui reintegrasi sosial. Dengan adaanaya integrasi sosial masyarakat akan membebaskan dirinya dari belenggu nafsu ananiyah, egoisme. Selanjutnya mereka bisa menjadi kekuatan bembebas dari segala penderitaan sosial yang dialami, setelah ada komunikasi setara antar manusia. Inilah hakekat dan tujuan Idul Fitri. (Abdul Mun’im DZ)