Selama ini pensantren dianggap sebagai benteng perlindungan tradisi, sehingga orang pesantren maupun kaum Nahdlyin yang berbasis pada pendidikan pesantren itu disebut sebagai kaum tradisional. Atas sebutan itu ada yang bersikap bangga ada juga yang merasa terhina, ada pula yang bingung tidak tahu ucapan itu sebagai pujian atau cercaan, sebab tradisi sering disalah pahami, disalahletakan dan disalahgunakan.
Tradisi merupakan aspek kebudayaan yang tidak hanya diterapkan dalam kehidupan, tetapi terus-menerus diwariskan, baik berupa tata nilai, cara berpikir dan perilaku. Karena itu pola pikir serta tata nilai yang diperoleh dari warisan masa lalu disebut tradisi. Sementara sebagai sebuah elemen kebudayaan, maka tradisi walaupun diwariskan, tetapi juga terus mengalami perkembangan, tetapi perkembangannya bersifat gradual dalam sebuah garis kontinum, tidak terputus. Karena itu kebudayaan maju biasanya memiliki akar yang kuat dalam tradisi dan sejarah bangsa itu sendiri.
<>Gelombang modernisme yang disambut antusias oleh kalangan terpelajar, terutama yang memperoleh pendidikan Barat (AS), sehingga mereka tidak berusaha mengembangkan modernitas dengan berbasis pada tradisi, atau melalui seleksi atau adaptasi dengan tradisi, tetapi berusaha menerapkannya secara letterlijk, secara puritan, sehingga ide yang dibawa dari Barat itu sama sekali tidak dicoba padukan dengan gagasan serupa yang sudah muncul di negeri ini. Akhirnya modernisme menjadi lawan tradisionalisme, dianggap modern bila berhasil meninggalkan bahkan memutus tradisi.
Keterputusan dengan tradisi itu yang membuat bangsa ini mengalami gamang, limbung dan disorientasi, mau ke tradisi sudah hilang, mau menjangkau barat masih terlalu jauh, akhirnya tercipta kebudyaan Indonesia yang tidak jelas, menjadi bangsa yang tidak jelas. Yang tega menggadaikan diri dan bangsanya pada bangsa lain secara hina, sebagai budak, baik di tingkat politik intelektual hingga pekerja kasar, semuanya bermental budak, sebab tidak memiliki tradisi berpikir, dan tradisi bersikap mandiri. Hanya membebek pada bangsa lain.
Ketika semua aspek kehidupan telah terserap ke dalam logika modernisme yang werternized, dengan segala implikasi positif negatifnya, maka dunia pesantren terus bertahan pada cara berpikir lama, dan terus mengadakan penyesuaian dengan kemodernan yang ada, tetapi masih merujuk pada sumber tradisi, sehingga dinamikanya relatif lambat, sebab segala sesuatu harus diseleksi, ditakar menurut budaya dan tradisinya sendiri secara mandiri.
Dari situlah Abdurrahman Wahid menilai pesantren sebagai subkultrur dari kultur nasional, karena ia memiliki tradisi sendiri yang unik dan independen, terbebas dari tekanan modernisme yang hegemonik. Dan terus bertahan walaupun mendapatkan cacian sebagai konservatif, terbelakang, jumud dan sebagainya, tetapi karena daya dukungnya kuat, maka tradisi pesantren tetap bertahan sesuai dengan kultur dan iramanya sendiri namun terus berkembang sesuai dengan logika tradisinya sendiri.
Munculnya era post modernisme membuat tradisi yang selama ini dilecehkan, dilupakan, mendapatkan tempat kembali, tidak hanya di ranah kebudayaan, tetapi juga mendapat pengakuan akademis. Era ini akhirnya juga berimbas pada NU yang selama ini diabaikan karena dianggap tradisional, kembali menemukan relevansinya, tradisionalisme yang selama ini dianggap sinkretik, kemudian mendapatkan pemaknaan baru sebagai multi kulturalisme. Sikap itu yang mencegah terjadinya radikalisme dan berbagai tindak kekerasan yang lain yang dipicu oleh semangat puritanisme.
Pendidikan pesantren, merupakan kelanjutan dari system pendidikan sebelum Islam, yang kemudian dimodifikasi para wali, yang diteruskan oleh para ulama berikutnya. Dengan adanya mata rantai dengan segala pergumulan historisnya dengan berbagai kebudayaan, baik pra Hindu, Budha, Islam dan Kejawen, maka pesantren memiliki keluwesan hubungan dengan agama dan kultur yang ada, sebab semua kultur diadopsi sebagai rujukan, berdasarkan prinsip maslahah yang dikembangkan. Watak dasar dari pendidikan pesantren adalah pluralis, tidak puritan, sehingga bisa hidup berdampingan dengan komunitas apapun.
Pesantren tardisional memiliki geneologi yang jelas, baik asal usul pemahaman keagamaan, tradisi keilmuan, serta basis social para pengajar dan santrinya. Dan jenis pesantren ini telah hidup secara berabad tanpa menimbulkan kegaduhan, karena mereka muncul dari rahim masyarakat sendiri. Sementara belakangan ini muncul institusi yang namanya juga pesantren, tetapi tidak memiliki kaitan sejarah dengan pesantren tradisional, dan memang mereka mengklaim sebagai pesantren modern. Dari segi paham keagamaan, paradigma keilmuan serta asal usul pengajarnya sangat berbeda, pesantren ini tidak memiliki geneologi yang jelas dengan masyarakat setempat, sebab mereka dicangkokkan dari kultur lain yang bersifat retorik dan agresif.
Kedatangan pesantren jenis baru itu selalu menimbulkan kegaduhan, atas nama penegakan Islam yang murni, atas n