Risalah Redaksi

Mempertimbangkan Kembali Dwi Fungsi Kiai

Jumat, 22 Agustus 2003 | 11:00 WIB

Jakarta, NU.Online
Gelombang reformasi digerakkan bertujuan untuk menegakkan system demokrasi, sementara penghalang utama politik demokrasi adalah adanya kelompok bersenjata dalam lembaga politik baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif, yang disebut dengan doktrin kekaryaan tentara yang kemudian disebut dengan dwi fungsi ABRI atau TNI. Karena itu sasaran penting yang dibongkar dalam reformasi adalah menghapus dwifungsi TNI, yang secara bertahap menyingkirkan tentara dari kancah politik, dan semua ini telah ditetapkan dalam undang-undang.

Tidak hanya itu di lingkungan pegawai negeri sipil juga diberlakukan larangan rangkap jabatan, sehingga mereka yang aktif di politik tidak diperkenankan lagi tetap memegang jabatan akademis atau birokratis. Semua telah diproses secara clear. Karena itu banyak kita lihat para dosen, pejabat yang mengundurkan diri dari jabatannya karena lebih memilih karir politik dan sebaliknya ada yang hanya memilih karir di birokrasi atau perguruan tinggi. Ini agar tidak terjadi tarik menarik kepentingan dan agar kedua bidang kerja itu tidak saling mengganggu.

<>

Tetapi hingga saat ini belum pernah terpikirkan adanya penertiban berpolitik di lingkungan kiai, padahal menurut pengalaman sejarah politik pesantren, ketika kiainya berpolitik maka pesantrennya berantakan, ini terjadi tahun 1960-1970 an, sebelum ada revitalisasi pesantren, akhirnya pesantren bangkit kembali di era 80-90-an. Ketika kembali terjadi politisasi pesantren belakangan ini kembali kiai pesantren berbondong masuk politik, ternyata hal  itu tidak hanya mengancam keberlangsungan hidup pesantrennya. Sementara di DPR misalnya mereka  sering mangkir tidak mau sidang, bahkan ada di antaranya yang tidak pernah hadir di persidangan sama sekali. Sementara di pesantrennya juga sudah tidak bisa aktif lagi mengaji.

Karena itu pernah seorang anak muda NU ketika memberikan briefing pada para politisi NU di partai bahwa, dalam berpolitik demokratis mengandaikan adanya suasana dialog yang setara, dan semua pendapat bisa didialogkan dikritik dan dievaluasi, sebab dalam demokrasi tidak dikenal otoritas kebenaran, sebagaimana di dunia pesantren. Karena itu dia menyarankan agar para kiai yang memasuki wilayah politik diharap meninggalkan surban kekiaiannya agar bisa duduk sama sederajat, tidak ada lagi yang paling menangan, paling berkuasa, semua pendapat dan usul harus diuji secara kritis, termasuk kiai harus siap menerima pengujian ini. Tetapi biasanya para kiai yang jadi politiisi tidak cukup betah duduk mendiskusikan suatu masalah, sebab mereka terbiasa monolog. Menanggalkan jubah tidak hanya berarti mau duduk sederajat, tetapi juga meu mendengan pikiran orang lain.
Sama halnya kenapa tatanan demokratis melarang militer berpolitik, sebab mereka ini kelompok besenjata, yang dengan senjatanya itu ia bisa menentukan apa saja, sehingga musyawarah dan dialog tidak mungkin berjalan. Apa lagi disertai klaim bahwa militer yang paling nasionalis dan paling bisa dipercaya dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan negara ini. Demikian juga para kiai, maka kelompok bersorban ini  memiliki klaim bahwa mereka kelompok paling bermoral, paling jujur dan paling amanah, tanpa kehadiran mereka di kancah politik negara akan mengalami  dekadensi, karena itu pendapat merekalah yang perlu didengar, diinstruksikan sebagai keputusan.

Berbeda dengan kalangan tentara yang secara bertahap telah keluar dari kancah politik, sebaliknya para kiai justeru berbondong menjadi politisi, tanpa pernah meningggalkan jubah kekiaiannya. Kalau selama ini masyarakat melihat kekiaian atau keulamaan sebagai status yang terhormat, baik karena kapasitas intelektualnya, maupun integritas moralnya. Maka kelihatannya kalangan ulama dan kiai sendiri tidak cukup bangga dan percaya diri dengan status kekiaian  yang mereka miliki, sehingga masih perlu melengkapi dengan jabatan politik formal, menjadi ketua partai, anggota parlemen atau pejabat pemerintahan dengan dalih mereka akan memperbaiki system dari dalam.

Tetapi akibatnya fungsi utama kiai sebagai pembimbing dan pengayom umat menjadi terabaikan, sementara system politik yang hendak diperbaiki sudah sangat rusak, ibarat lapangan becek, siapapun yang masuk baik hendak merusak atau memperbaiki semuanya ikut gelepotan. Dan yang jelas bermain di lapangan becek akan menghancurkan struktur lapangan, karena lapangan akan semakin berlumpur, masuk lapangan becek untuk tujuan apapun sudah merupakan pengrusakan. Dalam suasana begitu, justeru perlu perbaikan dilakukan diluar lapangan, seperti menciptakan drainase, baru kondensasi atau perpadatan lapangan bisa dimulai, selanjutnya penyemaian rumput bisa dilakukan. Ketebalan rumput ini tidak hanya sebagai system pengaman bagi pemain, tetapi juga sekaligus pelindung bagi keamanan struktur lapangan.

Kalau dibaca secara konkret, bila seseorang ingin memperbaiki system politik, tidak perlu semuanya masuk pada system politik yang sudah sangat korup, sebab kalau masih begitu, dengan tidak korupsipun akan tetap kecipratan lumpurnya. Belum lagi belum ada tradisi politik perjuangan rakyat yang ada baru perjuangan priba


Terkait