Jakarta, NU.Online
Ketika agenda demokratisasi dikembangkan dan kemudian dielaborasi dalam berbagai gagasan, seperti pluralisme, multikulturalisme, egalitarianisme, yang kesemuaanya akan mengarah pada sikap toleransi dan solidaritas kemanusiaaan , maka hampir semua komunitas berebut menerima gagasan baru itu. Penerimaan tersebut bukan karena gagasan tersebut dianggap sebagai nilai tertinggi, tetapi juga dijadikan sebagai identitas kemodernan, karena itu mereka berbondong menerima gagasan itu, walaupun bertentangan dengan basis teologi (keimanan) dan ideologi ( sikap politik) mereka.
Sejak awal penerimaan terhadap ide demokrasi dan ide turunannya itu dalam beberapa kasus cukup mengherankan, bagaimana sebuah kelompok yang selama ini sangat puritan doktrin teologinya, dengan implikasi menolak eksistensi yang lain, tiba-tiba berbicara lantang tentang pluralisme dan multikulturalisme, yang jelas-jelas berbenturan dengan doktrin teologi mereka, yang hingga saat ini belum kelihatan direkonstruksi secara mendasar. Sikap itu membuat beberapa orang sangsi, mana sikap yang benar, apa yang termaktub dalam doktrin teologi mereka atau apa yang terucap dalam berbagai kesempatan belakangan ini. Pasalnya semua komunitas dan ideologi apapun punya kesempatan untuk berubah bahkan merevisi pandangan mereka.
<>Memang sebuah sikap tidak bisa diuji hanya melalui pengakuan (klaim), tetapi benar-benar diuji dalam sikap itu sendiri. Dan sikap yang otentik itu hanya akan muncul di saat yang genting, di saat harus memilih, maka akan kelihatan sikap asli, apakah sesorang atau komunitas itu pluralis, toleran atau tidak. Ketegangan yang diakibatkan oleh adanya RUU Sisdiknas ini merukapan arena pengujian yang sangat valid, siapa pluralis dan toleran akan kelihatan dan siapa yang sektarian juga akan ketahuan, di sini tidak berlaku lagi klaim, karena semua nilai mesti diwujudkan dalam sikap. Dengan demikian akan ketahuan siapa yang menjadikan isu demokrasi sebagai taktik menaklukkan lawan, dan siapa yang menjadikan demokrasi sebagai sikap hidup.
Mengerasnya ketegangan persoalan Sisdiknas ternyata telah meruncing menjadi persoalan relasi antar agama, dan selanjutnya telah menciptakan polarisasi antara Muslim dan Non Muslim. Sayangnya persoalan krusial bangsa ini tidak diselesaikan melalui rembukan yang saling pengertian, melainkan diselesaikan dijalanan, melalui pengerahan masa, adu kekuatan masa. Kemudian kelompok itu mencoba menekan kekuatan politik formal di Parlemen. Sementara dalam kehidupan kita seolah telah kehilangan kata kecuali, sehingga semua ditentukan secara semua, tanpa melihat kekhasan dan kondisi serta situasi setiap komunitas, semua dipandang sesuai dengan kepentingan dan cara pandangnya sendiri. Inilah hakekat otoritaritarianisme.
Saat ini bangsa kita menghadapi banyak persoalan, baik krisis politik, maupun gerakan sparatisme, serta kondisi perekonomian yang belum pulih, tetapi sebelum kita bisa menyelesaaikan berbagai problem dengan baik, malah menciptakan persoalan baru, yaitu ketegangan antar kelompok yang diakibatkan RUU Sisdiknas yang bernuansa sektarian itu. Sebuah kesepakatan dibangun guna memperbaiki Indonesia di masa depan, tetapi karena langkah yang ditempuh gegabah, maka bukan kearifan yang diperoleh, melainkan kegundahan, dan ini merupakan langkah berbahaya bila tetap dipaksakan.
Jalan dialog dan musyawarah kelihatan belum maksimal ditempuh, tetapi kelihatan lebih mengutamakan cara formal, dengan harapan UU tersebut bisa segera disahkan Parlemen, sehingga memiliki daya paksa pada semua pihak, termasuk pihak yang menentang, atas nama demokrasi dan konstitusi. Kehidupan memang tidak seluruhnya dibangun melalui hukum dan perundang-undangan, tetapi ada yang namanya relasi persaudaraaan berdasarkan faktor emosional, yang ini sangat menentukan relasi fomal. Ketika relasi informal yang emosional itu sudah terganggu, maka relasi formal akan sulit berjalan, walau ada pemaksaan. Di tengah berkembangnya isu otonomi, baik otonomi daerah atau otonomi kelembagaan, sudah semestinya negera memberikan otonomi pada semua lembaga, termasuk lembaga pendidikan mengatur dirinya, sendiri tanpa ada intervensi dari pemerintah, maupun satu agama aterhadap agama lain. Sementara RUU Sisdiknas itu ada kecenderungan intervensi negara yang sangat besar terhadap lembaga pendidikan dan lembaga agama.
Ironi dari bangsa ini adalah, bila ada suatu masalah atau perkara bukannya diselesaikan akan persoalan berkurang, sehingga bisa bekerja secara normal, sebaliknya perkara tidak selesaikan agar berkurang, melainkan malah ditambah. Seperti pembuatan RUU Sisdiknas yang menimbulkan perkara baru itu, padahal persoalan lama seperti soal Aceh, persoalan Papua, persoalan penanganan korupsi yang belum selesai. Belum lagi perkara konflik social baik berdasarkan etnis atau agama juga belum, selesai, Menumpuknya persoalan itu akan membuat bangsa ini tidak bisa melangkah ke depan, karena berbagai pesoalan dasar belum selesai. Sehingga antar sesama elemen bangsa tidak bisa saling membahu dalam membangun masa depan, solidaritas dan kerukunan tidak tercipta, maka yang tersisa hanya kecurigaan .
Masa transisional semacam ini memang membuka berbagai kemungkinan, sayangnya peluang itu muncul di saat relasi social berkembang tidak sehat, tidak ada rasa saling percaya melainkan rasa saling curiga. Karena itu peluang ini digu