Mendidik, Mengembangkan, hingga Mendistribusikan Kader NU
Ahad, 7 November 2021 | 08:00 WIB
Pada masa lalu, para kader Nahdlatul Ulama (NU) sebagian besar terkonsentrasi kepada orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Mereka belajar di pesantren atau perguruan tinggi jurusan agama seperti syariah, dakwah, ushuluddin, dan sejenisnya. Kini, generasi baru NU tersebar dalam keahlian dan keterampilan yang semakin beragam. Mulai dari keuangan, teknologi informasi, hingga nuklir. Tantangannya adalah bagaimana memberi ruang bagi kelompok baru ini untuk dapat berkiprah dan berkontribusi kepada NU.
Seiring dengan perubahan tantangan zaman, NU juga membutuhkan keahlian-keahlian yang semakin beragam untuk mengembangkan program dakwah dan sosialnya. Dakwah tak lagi cukup ceramah di panggung atau pengajian rutin. Perkembangan ini bisa dilihat dari munculnya berbagai platform media sosial yang kemudian dimanfaatkan untuk menjalankan dakwah. Namun, dibutuhkan kreativitas yang semakin tinggi. Untuk itu diperlukan kerja tim yang melibatkan orang-orang dengan keahlian dan keterampilan yang semakin beraneka.
Sebagai contoh, di balik sebuah akun video dakwah yang memiliki pengikut atau subscriber yang tinggi ada banyak orang yang terlibat di dalamnya. Tidak cukup seorang dai atau daiyah yang memiliki kemampuan orasi yang baik, namun dibutuhkan pula peralatan yang memadai, kamerawan yang cakap, editor yang andal, copywriter yang bisa memberi judul yang menarik dan paham search engine optimizer (SEO), hingga digital marketer yang bisa mempromosikan video tersebut di berbagai platform media sosial sehingga bisa menjadi viral.
Bidang-bidang lain pun sama. Kehidupan masyarakat semakin kompleks dan keahlian semakin terspesialisasi. Ada sektor ekonomi, pertanian, perikanan, pendidikan, dan berbagai aspek kehidupan sosial lainnya. Semuanya telah menjadi garapan NU. Semuanya menuntut sumber daya manusia yang kompeten agar terkelola dengan baik. Semuanya dituntut untuk meningkatkan kapasitasnya mengingat standar kehidupan masyarakat yang semakin tinggi.
Tantangannya adalah bagaimana menjembatani dua pihak yang saling membutuhkan ini. Para pengurus NU di berbagai tingkatan membutuhkan orang-orang yang ahli dalam bidang tertentu, namun kadang kala mereka kesulitan menemukan orang yang tepat. Di sisi lain, ada banyak orang bersedia atau bahkan ingin berkontribusi dengan keahliannya untuk kegiatan dakwah dan sosial NU, namun mereka tidak tahu harus ke mana atau bertemu dengan siapa. Atau mungkin ada orang yang jika diajak, bersedia berkontribusi kepada NU. Hanya saja, mereka perlu dicolek dahulu supaya bersedia bergabung dengan gerakan besar NU.
Kelompok yang ingin membantu NU tetapi belum terhubung ini biasanya orang-orang yang berlatar belakang keluarga NU sehingga secara kultural mereka mendefinisikan diri sebagai orang NU. Namun, mereka tidak terlibat dalam organisasi kader NU seperti IPNU, IPPNU, GP Ansor, atau Fatayat. Data digital dari pendaftaran aplikasi Kartanu menunjukkan keragaman keahlian warga NU. Jumlah mereka sangat banyak.
Belum lagi jika bicara orang-orang di luar jamaah NU, bahkan non-Muslim yang sepakat dengan perjuangan NU, seperti visi kebangsaan NU atau upaya menjaga dan merawat moderatisme Islam di Indonesia. Dengan adanya kesamaan tujuan, kelompok-kelompok luar NU ini ingin berkontribusi terhadap perjuangan NU.
Membangun jalur komunikasi memudahkan warga atau simpatisan NU dengan organisasi dapat menjembatani kebutuhan dari masing-masing pihak. Secara khusus belum ada yang membidangi atau mengatur hal tersebut. Bahkan jika perlu, dapat dibentuk divisi layaknya head hunter yang digunakan untuk mencari karyawan yang pas di perusahaan untuk posisi strategis. Divisi ini akan mencari bakat-bakat terbaik yang bersedia memberikan kontribusi keahlian dan keterampilannya kepada organisasi Nahdlatul Ulama, menempatkan mereka dalam posisi yang paling tepat.
Sebagai sebuah organisasi yang memiliki kekhasan tata nilai, ideologi, dan gerakan, tak semua yang ingin masuk atau terlibat dalam kegiatan NU dapat secara langsung diterima. Amaliahnya bisa sama, tapi hal ini tidak cukup karena banyak organisasi lain yang amaliahnya sama tetapi tujuannya berbeda. Memiliki keahlian dan keterampilan saja belum cukup untuk berkiprah di NU.
Untuk menyatukan fikrah atau pemikiran dan ideologinya serta harakah atau gerakan NU, kini sudah ada program pengaderan, yaitu Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) dan Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU). Proses ini untuk menyamakan visi dan nilai orang-orang yang berjuang di NU.
Selanjutnya perlu penegasah bahwa berkiprah di NU harus diniatkan untuk berkhidmah kepada ulama. NU bukanlah perusahaan yang tujuannya mencari keuntungan. Sebagai organisasi nirlaba, tujuan NU adalah membuat perubahan yang lebih baik. Di sini, waktu yang akan menguji sejauh mana seseorang akan bertahan. Apakah mereka hanya mampu bertahan dua atau tiga bulan, setahun dua tahun, atau mampu menunjukkan komitmen yang berkelanjutan yang tak terbatas oleh waktu.
Menjelang satu abad NU, tantangan yang dihadapi bukan keterbatasan sumber daya manusia, namun bagaimana memberi ruang kepada kader-kader terbaik NU dalam berbagai bidang keahlian untuk dapat memberi kontribusi dan bagaimana menempatkan mereka dalam posisi yang cocok. Momentum muktamar ke-34 NU menjadi saat yang tepat bagaimana merancang pengelolaan dan pendistribusian potensi SDM yang kini sudah sangat kaya dan beragam. Kepada merekalah masa depan NU ditentukan. (Achmad Mukafi Niam)