Risalah Redaksi

Menumbuhkan Semangat Kekerabatan

Senin, 11 Agustus 2008 | 22:00 WIB

Sejalan dengan perkembangan modernitas nilai-nilai sosial lama seperti kebersamaan, kekeluargaan dan kekerabatan cenderung dinafikan, karena dianggap tidak relevan dengan modernitas yang mengandalkan individualitas, progresivitas dalam rangka sebuah kompetisi. Masyarakat modern berpijak pada nilai kompertisi, sementara masyarakat tradisional mengandaikan harmoni.

Di tengah masyarakat yang ultra modern ini justru nilai kekerabatan didambakan kembali. Nilai-nilai tersebut tidak begitu saja bisa didikotomikan antara modern dan tradisional, yang berkembang secara linier dalam proses yang pasti, keduanya merupakan pilihan rasional. Orang bisa menjadi modern tanpa harus meninggalkan nilai kekerabatan, ketika bisa membangun hubungan keluarga dan bertetangga serta relasi sosial yang harmonis.<>

Pendidikan modern yang lahir dari spirit of progress memang sejak dini mengajarkan bahwa tipe masyarakat paguyuban (tidak teratur, suka rela) sebagai bentuk primitif, masyarakat modern harus hidup dalam sistem masyarakat patembayan (tertib, rasional, programatis). Dengan spirit itu segala bentuk kekerabatan dipreteli sehingga tumbuh manusia individual, rasional, progresif yang tidak memliki komitmen sosial. Bertindak hanya untuk kepentingan individu. Pengetahuan, kekayaan dan kekausaan tidak memiliki dimensi sosial, tetapi sepenuhnya sebuah urusan pribadi.

Tentu saja nilai-itu berbeda bahkan bertentangan dengan adat ketimuran dan keagamaan pada umumnya yang sangat menjunjung nilai kekerabatan. Komunitas agama, komunitas adat sendiri merupakan bentuk kekerabatan dengan pola hidup yang sangat komunitarian, di mana setiap orang bertanggung jawab kepada yang lain, saling percaya dan saling membantu. Dalam Islam sendiri dijelaskan prinsip komunitarianisme itu dalam sebuah sabda Nabi bahwa seorang Muslim terhadap Muslim yang lain ibarat satu tubuh, apabila seorang Muslim sakit, maka Muslim yang lain ikut merasa sakit, sedih, karena itu saling menolong.

Prinsip sosologi Islam yang berwatak komunitarian itu kemudian dianggap oleh para teoretisi akademik sebagai salah satu bentuk dari “darwinisme sosial”, karena menganggap masyarakat sebuah organisme. Sebagai bagiaan dari positivisme yang otoriter dan anti humanisme. Karena itu tidak sedikit kalangan Muslim yang terpengaruh sosiologi humanistik itu meragukan prinsip sosial Islam itu, kemudian secara perlahan meninggalkan prinsip komunitarian sebagaimana diajarkan oleh Nabi SAW.

Saat ini kita memerlukan bangsa yang kuat negara yang kuat agar bisa melindungi kedaulatan rakyat. Rakyat menciptakan negara dan membentuk pemerintahan adalah untuk kepentingan sendiri agar bisa menjalankan tugas buidaya, tugas sosial dan termasuk bebas menjalankan ajaran agama yang mereka yakini. Untuk membangun bangsa yang kuat mesti diawali dari elemen yang paling kecil yaitu keluarga, kemudian masyarakat. Bila sistem sosialnya komunitarian maka solidaitas sosial akan hidup subur, dan integrasi sosial akan terjadi.

Dengan terjadinya integrasi sosial itulah integrasi nqsional dengan sendirinya akan terjadi secara alami, tanpa paksaan dari aparat negara, justru integrasi yang alami itu akan melahirkan tidak hanya integrasi nasional yang kuat tetapi juga akan melahirkan negara yang tangguh. Inti negara adalah pada rakyat dan bangsanya, bila bangsanya tangguh akan mampu melahirkan pemerintahan yang tangguh pula, kepemimpinan yang tangguh itulah yang kana menampilkan negara dengan piawai tanpa rasa rendah diri di hadapan bangsa yang lain.

Keluarga dan sistem kekerabatan bukan persoalan sepele yang bisa diremehkan, karena nilai dasar itu memiliki pengaruh makro di tingkat bangsa dan negara. Karena itu ketika hendak melakukan nation building persoalan keluarga dan persoalan sosial mesti memperoleh perhatian yang utama. Agama telah menyediakan perangkat seta tata nilai yang mengatur semua itu. Di situlah agama merupakan salah satu mendorong dalam national building dan state building, melalui nilai kekerabatan dan nilai kesetiakawanan yang diajarkan. Antara lain dikatakan bahwa dalam harta benda kaum hartawan terdapat hak kaum fakir miskin. Hak fakir miskin ini disalurkan melalui mekanisme zakat atau sedekah, untuk membantuk masyarakat dan bangsa yang sejahtera. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait