Jakarta.NU.Online
Arus politik bangsa ini pasca gerakan reformasi berjalan sangat deras, seperti air bah yang menerjang apa saja. Tetapi hal itu dianggap wajar karena diidorong oleh semangat perubahan yang sangat tinggi. Tetapi kadang arus itu menyentuh persoalan sensitif, sehingga menimbulkan reaksi balik bagi yang merasa terancam, dari situ muncullah ketegangan di kalangan sesama elemen bangsa, seperti peristiwa Aceh, Pemilu dan yang terakhir soal Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Arus deras semacam itu sering kali menghanyutkan dan mengaburkan orientasi warga NU, kalau tidak benar-benar berpegang pada Khittah.
Perdebatan tentang Sisdiknas, yang telah melebar menjadi arena adu kekuatan massa di seluruh penjuru tanah air itu, telah mengarah pada ketegangan nasional yang hampir tak terlerai, bahkan semakin hari semakin memuncak tensinya. Dalam situasi begini yang diperlukan bukan mengeblok ke satu pihak, tetapi dibutuhkan penengah yang bisa mendamaikan. NU sebagai kelompok Islam yang berorientasi kebangsaan yang menjunjung tinggi pluralisme dituntut perannya untuk melakukan mediasi agar ketegangan yang terjadi ini reda, tidak memuncak menjadi konflik terbuka. Bila ini terjadi sangat membahayakan sebab kalau selama ini konflik horizontal terjadi pada skala lokal. Sementara kalau konflik muncul dari isu Sisdiknas ini akan berskala nasional.
Peran itu sebenarnya tidak sulit diambil oleh NU, sebab dengan jelas Khittah menegaskan bahwa NU memiliki sikap tawasut (moderat) dan tawazun (menjaga keseimbangan). Khittah ini bagi warga NU merupakan pedoman, tidak hanya dalam berpikir, teratapi juga dalam bersikap dan bertindak. Karena itu dalam situasi genting ketika kelompok lain tidak berani bersikap secara proporsional maka berdasarkan prinsip tawasuth dalam upaya menciptakan tawazun. NU bisa melakaukan peran mediasi antara kelompok politik Islam yang gigih merumuskan dan mendukung Sisdiknas dan dengan kelompok minoritas yang dengan gigih menentang Sistem Pendidikan tersebut. Peluang NU untuk mengambil peran ini besar sebab selama ini NU bisa menciptakan tawazun (keseimbangan) antara kelompok Muslim dan non Muslim. Bila NU tidak mampu melakukan mediasi dan gagal menciptakan suasana tawazun dalam kehidupan bangsa NU, maka berarti NU gagal menjalankan khitah.
Tradisi berfikir reflektif dan kelaziman melakukan tahqiq (berpikir mengakar) maka persoalan nasional ini bisa dicari jalan keluarnya, tanpa melalui cara-cara zero same game (hitungan kalah-menang) tetapi bisa diatasi melalui dialog yang intensif dan setara tanpa hegemoni dan intimidasi, sehingga bisa diselesaikan dengan win-win solution (tanpo ngasorake, tanpa ada pihak yang dipermalukan), jauh dari cara akal-alkalan dan menang-menangan seperti kecenderungan selama ini. Bila ini terjadi, maka republik ini akan semakin kacau dan semakin jauh dari tujuan semula dalam melakukan pembaruan Sisdiknas.
Perlu diingat bahwa sesungguhnya Sisdiknas disusun sebagai tindak lanjut dari gerakan reformasi nasional, yang dirinci menjadi reformasi pendidikan nasional. Sebab selama ini pendidikan nasional telah dipolitisir untuk kepentingan orde baru, sehingga pendidikan dijalankan dengan penuh indoktrinasi, mengutamakan etiket dengan mengabaikan etika, memasung kreativitas atas nama kedisiplinan, membungkam sikap kritis siswa atas nama sopan-santun dan lain sebagainya, sehingga hasilnya pendidikan orde baru banyak melahirkan generasi yang tidak kreatif, tidak kritis, berpikir mekanis, sehingga mereka tidak peduli pada persoalan sosial dan problem bangsa ini, tetapi sibuk mengurusi karir dan kepentingannya sendiri, kalau perlu dengan melakukan korupsi.
Sisdiknas disusun dalam rangkan merombak sistem pendidikan lama yang koruptif, tetapi sayang cita-cita luhur itu tidak banyak disoroti dan dikelola secara proporsioanl, malah terjebak pada persoalan sampingan dilihat dari tugas negara yakni melakukan pendidikan agama, sebab hal itu merupakan kewajiban keluarga dan ormas atau agama yang bersangkutan. Aturan bahwa setiap lembaga pendidikan harus menyediakan pengajar sesuai dengan agama peserta belajar memang diatas kertas sangat ideal, tetapi dilapangan bisa sangat memilukan. Karena dalam kenyataanya jarang sekali sekolah Islam yang menampung siswa non Muslim, tetapi sebagian besar sekolah non Muslim menampung siwa Muslim bahkan tidak sedikit yang jumlahnya mayoritas.
Kewajiban itu tidak hanya memberatkan dari segi financial cost biaya penyediaan guru baru, tetapi juga sangat memberatkan dari segi psychological cost, karena ini bisa dirasakan sebagai intervensi satu agama terhadap agama lain. Kalangan NU yang selama ini telah dekat dengan kelompok non Muslim tentunya sangat paham dengan keberatan mereka itu, karena bisa berpikir dalam perspektif mereka, tidak hanya berpikir sesuai dengan titik tolaknya sendiri. Kalangan NU bisa membayangkan seandainya madrasah atau pesantren memiliki murid non muslim, lalu mendatangkan guru non muslim di pesantren, selanjutnya mendirikan sarana ibadah agama lain di situ, tentu akan mengalami kemasgulan. Di sisi lain memang siswa berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan yang dibutuhkan, problem ini yang perlu dicarikan jalan keluar bersama.
Pemaksaan pelaksanaan Sisdiknas ini akan memakan social cost yang sangat tinggi, sebab walaupun secara politik bisa diputuskan secara mayoritas di DPR, tetapi