Rahadi T Wiratama beberapa waktu lalu seperti dikutip NU Online menyatakan bahwa melemahnya bangsa ini dalam segala aspeknya disebabkan karena tidak adanya karakter dan komitmen kebangsaan yang tegas. Hilangnya karakter itu celakanya dilakukan oleh para elite Orde Baru sendiri yang kemudian dikenal dengan Angkatan 66. Kalau dulu sangat jelas gerakan character building (pemebentukan kepribadian) rakyat sebagai langkah untuk melakuakan nation building (pembangunan bangsa).
Pada adasawarsa 1960 sebagai konsekwensi dari Proklamasi, maka seluruh elemen masyarakat melakukan pembentukan watak atau karakter bangsa melalui berbagai forum, sekolah, pesantren, pengajian, penataran, paguyuban. Bahkan sandiwara, seni suara, seni rupa dan satra digunakan sebaik-baiknya sebagai sarana membangun kepribadian bangsa, sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang disegani oleh dunia. Para tokohnya dan rakyatnya dihormati bangsa lain, baik karena kepribadiannya maupun karena karyanya.
<>Sejak masa Orde Baru bangsa ini mengalami degradasi. Kalau dulu dilakukan chrachter building maka Orde Baru melakukan character assassination (pembunuhan karakter) dengan menuduh bahwa para tokoh yang hidup pada masa itu sebagai Orde Lama, yang berpikir nasionalis, chaufinis, kolot dan dogmatis. Tokoh-tokoh itu dituduh kiri, anti kemajuan, tradisional dan sebagainya.
Gagasan tentang nasionalisme atau kebangssaan pelan-pelan juga dikikis, pertama dengan memperkenalkan nasionalisme baru, yang tidak lagi berdasarkan ikatan etnik atau geografis. Tetapi kemudian secara pelahan nasionalisme juga didelegitimasi, karena dianggap bentuk dari chuvinisme dan fanatisme. Apalagi dengan munculnya isu globalisme pada 1990-an, nasionalisme dianggap tidak lagi relevan bahkan kuno.
Di sinilah bangsa ini mengalami dua tahap, pertama dilakukan character assassination. Kemudian dilakukan nation assassination (pembunuhan spirit nasionalisme). Akhirnya orang tidak berani lagi bicara nasionalisme, bahkan ikut meremehkan nasionalisme, ketika kesadaran dan semangat nasionalisme telah dibunuh. Aktor pembunuhan ini mulai dari kelompok intelektual modernis, kalangan pejabat, kalangan professional dan aktivis prodemokrasi, sebagai kepanjangan tangan dari imperialisme global.
Ketika kepribadian dianggap tidak penting, maka kehidupan orang menjadi sangat pragmatis, sehingga tidak ada lagi rasa pengabdian apalagi perjuangan. Padahal untuk membangun sebuah gerakan apalagi berskala nasional perlu pengabdian dan perjuangan. Tanpa itu semua orang akan kehilangan rasa pengabdian dan cenderung berlomba untuk mencari keuntungan pribadi, kebersamaan hilang, ego sendiri yang dibesarkan. Itulah yang membuat bangsa ini besar menjadi bangsa kecil, karena seluruh asetnya dijarah oleh rakyat dan pemerintah.
Dengan tidak adanya rasa pengabdian itu maka komitmen pada bangsa apalagi negara menjadi sirna. Persis yang terjadi saat ini, orang berlomba menjarah uang negara, baik dengan cara korupsi atau melalui penetapan gaji yang sangat tinggi sehingga menguras dana negara. Ketika semangat nasionalisme tidak lagi ada karena telah dibunuh maka, semua pengusaha asing dibiarkan masuk berdagang di sini, bertani di sini, sehingga menggeser semua usaha rakyat pribumi. Rakyat pribumi semakin kehilangan lapangan pekerjaaan, sementara pemerintah bersama aparatnya lebih membela kepentingan kapitalis asing, untuk menumpas usaha pribumi. Rakyat menjadi semakin miskin, kriminalitas meningkan dan konflik sosial semakin memanas. Akibatnya integrasi sosial menjadi makin pudar.
Bagaimana bangsa ini kembali bermartabat dan sekaligus sejahtera, maka tidak ada lain harus dimulai dari awal, yaitu dengan cara membangun kembali kepribadian mereka dengan melakukan character building. Agar mereka bangkit dari mental terjajah menjadi mental bebas. Demikian juga perlu dilakukan nation building, agar bangsa ini menajdi bangsa yang besar dan disegani, sehingga tidak dijadikan sasaran pemerasan dan penjajahan oleh bangsa lain.
Memang agenda itu butuh persiapan matang dan butuh kesabaran karena membutuhkan waktu lama. Yang terpenting harus sabar menghadapi kritik dari kelompok oportunis, keleompok pragmatis yang sinis. Mereka yang tidak peduli terhadap pembentrukan kepribadian masyarakat dan bangsa akan meremehkan agenda ini. Tetapi ini langkah strategis yang harus dijalankan untuk membangun kembali bangsa dan negara ini agar menjadi negara merdeka, berdaulat bermartabat dan sejahtera.
Pemebentukan karakter atau kepribadian itu sebenarnya adalah penanaman moral dan motivasi. Itu semua merupakan tugas dan tanggung jawab agama. Karena itu tidak aneh kalau sejak awal persiapan kemerdekaan lembaga agama khususnya pesantren aktif melakukan pembentukan karekter bangsa ini. Bahkan pada saatnya dibutuhkan juga melakukan pembentukan bangsa dan ikut berjuang dalam membentuk negara ini. Dalam kaitan inilah NU dan pesantren tidak pernah berhenti melakukan pembentuka kepribadian dan pembangunan bangsa. Mengingat semuanya ini merupakan tugas profetik dari agama. (Abdul Mun’im DZ)