Risalah Redaksi

Revitalisasi Khittah NU

Rabu, 30 April 2003 | 08:59 WIB

KURANG-lebih  lima tahun sudah terjadinya perubahan politik di republik ini. Sudah tiga presiden  saling menggantikan setelah  dilengserkannya Soeharto. Namun tidak ada satu pun  yang berhasil meletakkan dasar-dasar politik yang  memperjelas arah mengenai bentuk sistem politik dan pemerintahan Indonesia yang sesuai dengan tujuan pembentukan negara ini, yakni menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan bangsa dan ikut menciptakan perdamaian dunia. Hal ini terjadi, terutama, karena yang terjadi di pentas politik kenegaraan dalam empat atau lima tahun terakhir ini tak kurang tak lebih dari pertarungan kekuasaan dan perebutan akses pada kepentingan-kepentingan jangka pendek. Terutama kepada sumber-sumber  ekonomi, yang setelah tumbangnya Orde Baru, semakin tertumpuk di lembaga-lembaga pemerintah sebagai salah satu sumber dana untuk mendukung kegiatan partai.

Apa yang dilakukan, terutama mereka yang kini memegang kekuasaan, adalah mempertahankannya mati-matian yang semata-mata untuk kekuasaan itu sendiri; sementara mereka yang menjadi  lawannya mencoba mengganggunya dengan tujuan –semata-mata -- untuk memperoleh keuntungan-keuntungan politik dan ekonomi. Dengan sendirinya  persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi bangsa ini, krisis multidimensi yang berakar pada krisis  kelembagaan politik, social dan ekonomi; masalah penegakan hukum, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme karenanya amat memprihatinkan.

<>

Garis besar corak politik yang dimainkan para politisi itu bisa dijadikan merupakan bahan untuk mempertegas perbedaan politik yang harus dimainkan oleh Nahdlatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan. Dengan merebaknya corak-corak  politik yang semakin praktis-pragmatik sebagaimana mewarnai kehidupan nasional beberapa tahun terakhir ini, maka khittah NU semakin relevan.  Makna yang terkandung dalam pokok-pokok pikiran tentang khittah NU adalah membedakan antara langkah atau kegiatan politik [praktis] dengan kegiatan bersifat kemsayarakatan (jam’iyah). Dalam hal ini NU diposisikan sebagai organisasi social keagamaan yang berkiprah dalam masalah keagamaan dan kemasyarakatan (keumatan).   Politik praktis adalah kegiatan  berikut langkah-langkah taktisnya untuk mengejar posisi-posisi kekuasaan. Dengan kata lain politik praktis adalah politik untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Sedangkan kebalikannya, adalah kegiatan  politik kemasyarakatan, yakni politik yang dilakukan tidak untuk mengejar kekuasaan tetapi untuk mempengaruhi dan memandu kekuasaan [katakanlah kekuasaan negara] agar digunakan secara benar dan untuk mendorong proses perubahan untuk menciptakan sebesar-besarnya  kemaslahatan rakyat (mashalih al-ra’iyyah). Di kalangan organisasi non-pemerintah (LSM), yang terakhir itu biasa disebut sebagai politik nilai (the politics for values), sedangkan yang pertama adalah politik untuk mengejar kekuasaan (the politics for power).

Dengan demikian ada distingsi yang jelas antara dua jenis kegiatan politik tersebut. Politik praktis sebagaimana dilakukan atau dimainkan para politisi lebih didasari motif-motif merebut atau mempertahankan kekuasaan negara dan mengambil keuntungan-keuntungan ekonomi daripadanya. Sedangkan yang kedua untuk mendorong perubahan social-politik. Keputusan politik NU tahun 1984 merupakan keputusan strategis, dan amat tepat untuk kondisi masyarakat Indonesia, yang menempatkan NU pada posisi sebagai organisasi social keagamaan. Konsekuensinya NU membuat batas yang jelas dengan organisasi-organisasi social politik, tidak subordinat terhadap organisasi politik seperti partai politik. Dengan posisi tersebut posisi NU menjadi semakin strategis. NU, dengan demikian, dapat memainkan peran-peran politik yang didasari kepentingan umat secara keseluruhan tanpa membeda-bedakannya dengan pilihan politik masyarakat. Dengan fungsi ini NU dapat mendorong terjadinya perubahan social dan politik. Dalam konteks politik kenegaraan, maka organisasi kemasyarakatan seperti NU dapat memainkan fungsi sebagai penjaga dan memeliharan keutuhan negara Indonesia  dari kemungkinan dampak terburuk akibat perilaku  para politisi. Dengan sendirinya NU akan menjadi  kekuatan moral yang mengatasi berbagai kepentingan sempit kelompok-kelompok politik.

Sekitar lima tahun sebelum kejatuhan Orde Baru NU sudah membuktikan efektivitas peran-peran kemasyarakatan dan politiknya dalam posisi dengan visi seperti itu. Setelah berlangsung proses perubahan politik setelah dilengserkannya Soeharto memang belum ada evaluasi dan refleksi serius mengenai perjalanan NU sebagai kekuatan jam’iyah atau sebagai kekuatan masyarakat sipil itu.  Sudah waktunya kalangan NU di mana pun melakukannya untuk semakin memantapkan  visi khittah tersebut. Reaktualisasi dan revitalisasi   amat diperlukan supaya menjadi NU betul-betul menjadi kekuatan politik yang efektif dalam menjaga dan memelihara keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk itu kiranya  perlu dipetakan persoalan-persoalan internal NU yang harus diatasinya,  persoalan-persoalan mendesak dan mendasar bangsa yang terabaikan oleh kalangan politisi, dan persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi jam’iyah nahdliyin sendiri, agar komunitas NU dapat melakukan langkah-langkah dan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan perkembangan dan tantangan di bidang social, ekonomi dan politik mutakhir.  Tentu saja langkah-langkah dan kebijakan NU untuk mangatasi masalah-masalah  internalnya merupakan bagian penting yang harus ditempuh sebagai  upaya NU untuk memainkan peran-p


Terkait