Jakarta, NU.Online
Sebagaimana diberitakan berbagai media bahwa seluruh anggota JSC Internasional kini sudah meninggalkan Aceh. Dengan demikian semakin tipis peluang penyelesaian konflik Aceh melalui jalan dialog. Perang sebagai pilihan terakhir penyelesian konflik ini sebenarnya amat merugikan proses demokratisasi yang tengah berlangsung sejak lima tahun terakhir. Mambangun sistem demokrasi adalah upaya meletakkan dasar-dasar politik untuk pengelolaan kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan cara-cara damai. Dengan demikian penyelesaian berbagai permasalahan politik -- seperti dalam menghadapi konflik Aceh atau Papua - melalui jalan damai dan dialog merupakan keniscayaan. Pengutamaan resolusi damai dengan sendirinya akan membedakan kebiasaan antara pendekatan keamanan yang umumnya dilakukan oleh Orde Baru di masa lalu.
Dalam tarik-menarik antara aspirasi penyelesaian dengan damai dan tindakan militer, masyarakat pada umumnya lebih menghendaki pilihan pertama. Terdapat beberapa hal yang bisa dipertimbangkan. Pertama, cara militer dalam rangka penyelesaian masalah Aceh selama sepuluh tahun terakhir ini terbukti tidak menyelesaian masalah. Sebaliknya, banyak menimbulkan dendam dari kalangan rakyat karena banyak anggota masyarakat non combatan yang menjadi korban, baik yang menjadi sasaran TNI maupun GAM. Kedua, tindakan militer itu telah meninggalkan luka-luka yang mendalam di kalangan masyarakat Aceh. Ketakutan dan trauma sebagaimana dirasakan masyarakat Aceh selama ini begitu membekas. Ketiga, terdapat bukti-bukti di lapangan bahwa tindakan militer dalam mengatasi persoalan Aceh ini juga telah mempersubur simpatisan GAM. Pertama-tama bukan karena mereka secita-cita dengan GAM, akan tetapi lebih sebagai konpensasi atas kebencian terhadap kekejaman TNI.
<>Dengan lahirnya COHA yang diprakarsai The Henry Dunant Center, sebenarnya, sudah membersitkan harapan untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai. Kemungkinan penyelesaian damai menjadi redup akibat dari ketersinggguan pemerintah RI, terutama TNI, terhadap ulah GAM yang mempermainkan waktu dengan mengubah-ubah jadwal pertemuan JSC sebagaimana direncanakan di Jenewa beberapa waktu lalu. Jelaslah bahwa keseriusan RI sudah mendapat pujian dari masyarakat internasional. GAM sendiri memperoleh kecaman beberapa negara besar berpengaruh atas ulahnya mengingkari jadwal pertemuan Jenewa itu. Tetapi dengan ulahnya itu GAM berhasil memancing emosi dan memperkeras sikap RI, yang menawarkan pertemuan JSC di Jakarta, yang kemudian ditolak GAM. Tidak bertemuanya masalah pertemuan JSC ini dengan sendirinya mempersempit peluang terjadinya dialog dan mendorong situasi genting setelah TNI mengirim pasukan besar-besaran ke Aceh. Sementara pada saat yang sama GAM menggembar-gemborkan perlunya penyelesaian konflik Aceh melalui dialog. ini merupakan taktik GAM untuk menarik simpati internasional dan menunjukkan bahwa pihak RI / TNI-lah yang cenderung menyelesaikan konflik Aceh melalui kekerasan. Taktik ini dimainkan GAM dalam rangka menggiring penyelasaian konflik Aceh ke fora internasional
Di sisi lain, untung-rugi operasi militer mestinya dihitung betul secara cermat. Kalau pemerintah / TNI enggan untuk memperhitungkan segi-segi posisitif negatif bagi masyarakat Aceh dan masyarakat dalam negeri Indonesia sendiri, perlu dipertimbangkan pula secara cermat untung-ruginya di masyatakat internasional. Operasi militer, yang dibungkus dalam suatu rencana operasi terpadu, boleh jadi akan menyeret penyelesaian Aceh dengan melibatkan masyarakat internasional, suatu internasionalisasi penyelesaian Aceh yang selama ini justru dihindari RI. Beberapa pertanyaan yang patut diajukan adalah: apakah pemerintah sama sekali sudah tidak melihat kemungkinan penyelesaian Aceh melalui dialog ? Diluar HDC apakah sudah tidak ada lagi bentuk atau lembaga mediasi lain? Apakah lembaga-lembaga adat, ulama atau lembaga-lembaga masyarakat domestik sama sekali tidak dilirik potensiya untuk dapat dijadikan mediator penyelasian konflik Aceh ini? Semua pertanyaan ini sebenarnya merupakan varian saja dari pertanyaan besar : Seberapa besar peran masyarakat sipil Aceh sudah dilibatkan dalam penyelesaian konflik politik ini?
Masalah Aceh pertama-tama tentu akan terkait langsung dengan kepentingan masyarakat Aceh sendiri. Tetapi persoalan konflik Aceh adalah bagian dari persoalan nasional, yang terkait dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, meski selama ini tak ada upaya serius pemerintah untuk melibatkan potensi-potensi yang ada di luar masyarakat Aceh untuk dimanfaatkan/dilibatkan dalam penyelesaian konflik politik ini. Atas dasar itu, masyarakat di luar Aceh memiliki hak untuk ikut terlibat dalam penyelesian konflik Aceh ini, setidaknya untuk didengar pendapatnya. Selama ini pemerintah cenderung melangkah sendiri. Jangankan mempedulikan pendapat masyarakat Indonesia pada umumnya, tokoh-tokoh masyarakat sipil Aceh sendiri tidak dilibatkan. Sehingga persoalan konflik Aceh ini seolah-olah hanya dilihat sebagai persoalan RI-GAM semata yang tak terkait dengan masyarakat Aceh secara keseluruhan.
Sejak pengiriman pasukan besar-besaran dengan sendirinya sudah tercipta situasi perang di tanah rencong. Setelah seluruh anggota JSC internasional meninggalkan Aceh, operasi militer kemungkinan besar akan segera diumumkan pemerintah. Seandainya perang tak dapat dihindari beberapa hal perlu disarakan. Pertama betapapun tindakan militer ditempuh, tetapi di dalamnya seharusnya tetap melibatkan tokoh-tokoh masyarakat sipil. Kedua pisahkan antara GAM yang termasuk kategori combatan dengan masyarakat sipil non-combatan. Artinya, selama dalam pengungsian segala sesuatu mengenai hajat hidup rakyat Aceh menjadi tanggungjawab pemerintah RI. Ketiga, selama berlangsung perang antara TNI - GAM perlu didesakkan diberlakukannya Konvensi Jeneva Geneva [Co