Al-Manufi menjadi teladan bagi generasi setelahnya bahwa untuk menjadi ahli ilmu tidak disyaratkan lahir dari orang kaya dengan terpenuhinya semua kebutuhan finansial. (Ilustrasi: madina365.com)
Namanya tidak terlalu masyhur di Indonesia, tidak begitu populer (popular) sebagaimana nama Imam Nawawi, Imam ar-Rafi’I, Ibnu Hajar dan ar-Ramli, namun sumbangsih dan kiprahnya dalam mempertahankan pemikiran-pemikiran Islam begitu besar, khususnya dalam mazhab Syafi’iyah. Kehadirannya mampu memberikan warna baru dalam perkembangan Islam, dan bahkan menciptakan citra baru dalam sebuah diskursus ilmu tertentu.
Ia memiliki kelahiran agak akhir jika dibandingkan dengan ulama-ulama salaf yang keilmuannya menjulang langit era sebelumnya, bahkan masuk dalam daftar ulama kontemporer. Namun, lahir di akhir abad tak meniscayakan ilmunya tidak manfaat, bahkan ia menjadi salah satu imam yang mendapatkan gelar zainul abidin (hiasan orang-orang ahli ibadah).
Imam Abul Abbas as-Sa’udi, begitulah namanya dikenal banyak orang. Para ulama menggunakan nama tersebut ketika mengutip beberapa pendapatnya dalam hukum-hukum fiqih khususnya, serta beberapa diskursus ilmu yang lain.
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ismail bin Ibrahim bin Musa bin Sa’id bin Ali as-Syihab Abul Abbas Abu Sa’ud al-Manufi al-Qahiri asy-Syafi’i. Ia dilahirkan pada bulan Syawal tahun 814 H, di Kota Kairo, ibu kota dan kota terbesar di Mesir, sebagaimana yang disematkan pada namanya al-Qahirah (Kairo).
Sedangkan afiliasi Imam Abul Abbas dalam fiqihnya adalah mengikuti metodologi yang dicetuskan oleh Imam Syafi’i. Oleh karenanya, di akhir namanya ia menyebutkan nama Imam Syafi’i (asy-Syafi’i), sebagai bukti bahwa dirinya adalah pengikut mazhab tersebut dalam masalah fiqih. (Abdurrahman as-Sakhawi, ad-Dlau’ul Lami’ li Ahlil Qurun at-Tasi’, [Maktabah al-Hayah: tanpa tahun], juz I, halaman 148).
Anak Yatim dan Rihlah Intelektualnya
Imam Syamsuddin as-Sakhawi (wafat 902 H) dalam salah satu kitabnya mengatakan, bahwa Abul Abbas adalah seorang anak yatim, ayahnya meninggal di usianya yang masih bayi, setelah beberapa tahun kemudian, sang ibu juga pergi meninggalkannya. Ia tidak merasakan senyum dan semangat kedua orang tua saat usianya menginjak dewasa. Bahkan, keduanya tidak meninggalkan harta yang cukup untuk membiayainya.
Oleh karena itu, ia hidup bersama kakak kandungnya. Ia diasuh dan dididik dengan penuh kesungguhan. Kekurangan materi tidak lantas menghilangkan semangat kakaknya untuk menyekolahkan adiknya. Sejak kecil, keduanya hidup dengan penuh derita dan serba pas-pasan, jauh dari kata sempurna.
Kendati demikian, semangat belajar untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dalam diri Abul Abbas tetaplah mengembara. Ia tidak ingin mengecewakan kakak kandungnya yang berusaha untuk menjadikannya sebagai adik yang paham ilmu. Bagi Abul Abbas, tidak adanya semangat dari kedua orang tua tidak membuatnya patah semangat. Kegigihan dan keseriusannya dalam menuntut ilmu sangat luar biasa. Masa mudanya dihabiskan untuk mendalami berbagai cabang ilmu, seperti fiqih, hadits, tafsir, dan lainnya.
Dan benar saja, di usia yang masih sangat muda, ia telah berhasil menghafal Al-Qur’an, hal ini sebagaimana disampaikan oleh Imam as-Sakhawi,
مَاتَ وَالِدُهُ وَهُوَ صَغِيْرٌ فَشَأَ يَتِيْماً وَحَفِظَ الْقُرْآنَ وَالْمِنْهَاجَ وَبَحَثَ فِيْهِ
Artinya, “Ayahnya mati di saat ini masih kecil, kemudian ia tumbuh sebagai anak yatim. Setelah itu, ia menghafal Al-Qur’an dan kitab Minhaj (Minhajut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin fil Fiqh, karangan Imam Nawawi), dan mendiskusikannya.” (as-Sakhawi, ad-Dhaw’ul Lami’ li Ahlil Qurun at-Tasi’, 1/148).
Setelah Abul Abbas berhasil menghafal Al-Qur’an dengan sempurna, dan mampu memahami ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya, seperti tempat keluarnya huruf (makhrajul huruf), tajwid, cara baca, dan lainnya, ia mulai menekuni beberapa ilmu yang lain, seperti gramatika Arab (nahwu), fiqih, hadits, tafsir dan yang lainnya.
Pada mulanya, Abul Abbas belajar ilmu nahwu kepada Syekh Burhan al-Karaki. Ia dengan tekun belajar kepadanya perihal cara baca kitab-kitab turats. Ia tidak menyia-nyiakan ilmu yang ada dalam diri gurunya, dan benar saja, selama belajar ilmu kepada Syekh Burhan, ia telah mampu memahami ilmu nahwu dengan segala cabang-cabangnya, bahkan ia telah berhasil menghafal Alfiyah Imam Ibnu Malik (wafat 672 H).
Setelah ilmu nahwu berhasil ia kuasai, ia melanjutkan rihlahnya dengan mempelajari ilmu lainnya, yaitu ilmu fiqih. Saat itu, Abul Abbas berguru kepada Imam Zain al-Qamani, Imam Syihab al-Mahmarah, Imam Alauddin al-Qalqasyandi, serta beberapa guru lainnya saat itu.
Di bawah bimbingan para ulama hebat pada masa itu, keilmuan Abul Abbas semakin matang dan semakin luas, bahkan mampu memberikan pengaruh besar dalam perkembangan Islam pada masa itu. Ia mulai diperhatikan dan sangat disegani oleh para ulama, dan saat itu pula semua pendapatnya menjadi rujukan dalam mazhab Syafi’iyah khususnya.
Setelah ia berhasil menguasai beragam cabang-cabang ilmu syariat, apakah ia lantas berhenti? Maka jawabannya tidak. Abul Abbas terus melanjutkan rihlah intelektualitasnya dengan belajar cabang-cabang ilmu syariat yang lain, seperti ilmu faraidh (ilmu yang membahas harta warisan, perihal siapa yang berhak mendapatkan waris dan tidak).
Saat itu, ia belajar ilmu yang satu ini kepada Imam Majdi dan al-Butaiji, hingga kemudian berhasil menguasainya. Selain itu, ia juga belajar ilmu kalam (aqidah, tauhid) kepada Imam asy-Syarwani, ilmu kedokteran kepada Imam Zain al-Jazari, ilmu sastra kepada Imam al-Hanawi, ilmu hadits kepada Imam az-Zarkasyi.
Prestasi Keilmuan Abul Abbas
Setelah Abul Abbas malang melintang dalam mencari ilmu, sejak saat itulah keilmuannya semakin melangit. Ia tidak hanya mampu mengombinasikan pendapat guru-gurunya, namun juga memiliki kepakaran dan kreativitas untuk mengeluarkan fatwa tersendiri melalui beragam ilmu yang ada dalam dirinya.
Dan saat itu pula, para gurunya memberikan izin Abul Abbas as-Sa’udi untuk menyampaikan ilmu yang ada dalam dirinya,
كَثُرَتْ مُلَازَمَتُهُ حَتَّى أَذِنَ لَهُ فِيْ الْإِفْتَاءِ وَالتَّدْرِيْسِ
Artinya, “(Abul Abbas) telah sering duduk (belajar) bersama (dengan gurunya), hingga ia memberi izin kepadanya untuk berfatwa dan mengajar.” (as-Sakhawi: I/149).
Selain alim dengan wawasan dan keilmuan yang luas, Abul Abbas juga sosok yang memiliki karakteristik yang luhur. Ia sangat cerdas, indah dan jujur dalam berucap, baik dalam bertingkah, amanah terhadap amanah yang diemban olehnya, istiqamah dalam melakukan ibadah-ibadah sunnah, seperti shalat dhuha, tahajud, puasa, membaca Al-Qur’an, dan beberapa kegiatan sunnah lainnya.
Demikian biografi Imam Abul Abbas as-Sa’udi. Ia telah menjadi suri teladan bagi generasi setelahnya, bahwa untuk menjadi ahli ilmu tidak disyaratkan lahir dari orang kaya dengan terpenuhinya semua kebutuhan finansial. Bahkan, ia tumbuh sebagai anak yatim, namun semangat dan kegigihannya mampu mengantarkan dirinya pada kesuksesan.
Abul Abbas telah menjadi jawaban, bahwa lahir dari sosok yang memiliki banyak kekurangan tak meniscayakan dirinya tumbuh menjadi orang yang buta akan ilmu pengetahuan. Semangat dan siap untuk mengembara-lah salah satu syaratnya. Ia telah membuktikan bahwa dengan semangatnya yang mengembara, mampu mengantarkan dirinya sebagai ahli ilmu yang diakui oleh banyak orang.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.