Pendidik dan pejuang, itulah mungkin gelar yang pas disematkan kepada Kiai Shodiq. Nyaris sepanjang hidupnya diisi dengan aktifitas pendidikan. Namun sebagai warga yang cinta tanah air, ia tak rela Indonesia dijajah. Iapun bergerilya memimpin pasukan rakyat dengan nama samaran Pak Jampir.
<>
KH Shodiq Mahmud, SH., nama lengkapnya. Ia lahir ketika kalender menunjuk pada angka 3 Maret 1925 di Ponpes Sabilut Thoyyibah, Bugur Lor, Pasuruan dari pasangan KH. Mahmud Shiddiq dan Nyai Hj. Jauharoh Makmunah. Ayah Kiai Shodiq adalah saudara lain ibu dari KH Ahmad Shidiq, tokoh nasional NU.
Beberapa tahun kemudian, Shodiq kecil pindah ke Jember karena ikut ayahnya sebagai penghulu agama. Di Jember ia belajar di pesantren Talangsari asuhan KH Mahfudz Shiddiq. Saat umur sekitar 10 tahun, Shodiq dikirim ke Pesantren Tebuireng yang diasuh KH Hasyim Asy’ari.
Setelah cukup lama di pesantren tersebut, Kiai Shodiq pulang ke Jember. Namun situasi Indonesia yang masih dalam cengkeraman Belanda saat itu, membuat Shodiq muda sulit beraktifitas. Jiwa juang Shodiq terpanggil untuk mengusir penjajah dengan memimpin pasukan rakyat. Ia menyamar dengan nama Pak Jampir. Wilayah gerilyanya meliputi Mangli, Rambipuji, Ajung, Curahmalang dan sekitarnya. Kerabat sekaligus kawan seperjuangan Kiai Shodiq adalah KH Abdullah Shiddiq, memakai nama samaran Pak Jibun.
Kendati situasi serba sulit, namun Kiai Shodiq tak mengabaikan hasratnya untuk menikah. Ia pun menyunting Elok Mu’awanah (1948).
Rupanya Pak Jampir sudah menjadi target operasi Belanda, dan keberadaannya terus diendus. Belum genap setahun setelah menikah, ia ditangkap serdadu Belanda, dan ditahan di Lapas Kalisosok, Surabaya.
Medio 1949, Kiai Shodiq bebas. Pengapnya penjara tak membuat semangat juang Kiai Shodiq mengendur. Ia kemudian memimpin Gerkaan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Sedangkan istrinya, Elok Mu’awanah juga aktif di GPII putri.
Tahun 1955, Kiai Shodiq diangkat menjadi anggota Pusrah Rawatan Rohani Angkatan Darat (imam tentara), bertugas di Kodim Jember. Pada saat yang hampir bersamaan Universitas Tawang Alun (kini Universitas Jember) didirikan. Sambil bertugas di Kodim, Kiai Shodiq menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jember, dan lulus tahun 1964.
Pada tahun itu juga, NU Jember menggelar konferensi, yang salah satu rekomendasinya adalah mendirikan perguruan tinggi, dengan nama Institut Agama Islam Djember (IAID). Setahun kemudian, IAID resmi berdiri, dan Kiai Shodiq ditunjuk sebagai dekannya. IAID kemudian dinegerikan menjadi Fak. Tarbiyah, dan sekian tahun kemudian diresmikan menjadi IAIN Sunan Ampel oleh Menteri Agama RI, Prof. KH. Saifuddin Zuhri.
Jiwa kependidikan Kiai Shodiq terus menggelora. Di sela-sela tugasnya sebagai dekan, ia bersama KH. Muchit Muzadi dan beberapa kiai lain mendirikan Sekolah Persiapan IAIN (kini MAN 1 Jember). Saat itu kepala sekolahnya diserahkan kepada KH. Muchit Muzadi.
Ketokohan Kiai Shodiq terus meroket. Ketika NU Jember menggelar konferensi (1971), Kiai Shodiq terpilih sebagai ketua. Sedangkan kursi Rais Syuriah diraih KH. Dhofir Salam. Kendati sibuk di NU, tidak berarti ia abai di bidang pendidikan. Tahun 1984, Kiai Shodiq ikut mendirikan Universitas Islam Jember (UIJ), dan mengajar di Fak. Hukum dan Tarbiyah UIJ hingga tahun 1996.
Kiai Shodiq akhirnya pensiun dari PNS. Pensiun sebagai abdi negara, bukan berarti pensiun sebagai abdi umat. Salah satu bentuk pengabdiannya adalah mendirikan pesantren mahasiswa “al-Jauhar” di Jl. Nias III/5 Jember, tanggal 15 September 1991. Kiai Shodiq juga masih meluangkan waktu mengajar di Universitas Islam Malang (UNISMA) dan menjadi anggota senat.
Bagaimanapun kegigihan Kiai Shodiq dalam mengabdikan dirinya kepada umat, namun ia tidak bisa melawan takdir. Usia yang menua, membuatnya harus istirahat dari beragam aktifitas, sebelum ajal menjemputnya 4 April 1998. Ayah 6 anak itu dikubur di pemakaman umum Cukil Gebang, bersebelahan dengan istirinya yang meninggal lebih dulu. Selamat jalan wahai jiwa yang tenang.
Aryudi A. Razak
Kontributor NU Online Jember